Tri Indroyono

Menghadang Dumping: Perlindungan Industri Tekstil Indonesia dari Gempuran Produk China

Menghadang Dumping: Perlindungan Industri Tekstil Indonesia dari Gempuran Produk China
Foto:Dok.X@ThePogressives

“Harga impor yang lebih tinggi seharusnya dapat menurunkan volume impor produk tekstil dari China. Dengan begitu, daya beli masyarakat terhadap produk tekstil lokal akan meningkat dan dapat menyelamatkan industri tekstil.”

Oleh Darrell Fredella Defen

Kemenkumham Bali

China adalah mitra dagang terbesar di Indonesia. Peningkatan volume produk china yang masuk ke Indonesia tentu telah menghantam industri dalam negeri, salah satunya pengusaha garmen. Mereka kehilangan pembeli karena kalah saing dengan produk pakaian dan tekstil dari China yang murah. Maka, pemerintah menerapkan kebijakan Bea Masuk Anti Dumping. Bea masuk ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri di tengah melonjaknya produk China yang masuk ke Indonesia.

Dumping merupakan sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga sangat rendah yang bertujuan agar harga di dalam negeri tidak diturunkan sehingga dapat menguasai pasar luar negeri. Dumping disebut sebagai bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh eksportir harga atau badan. Hal ini dikarenakan penjualan barang di luar negeri dengan harga lebih murah daripada pasar di dalam negeri untuk mendapatkan keuntungan atas produk ekspor. The General Agreements of Tariffs and Trade (GATT) menyatakan bahwa dumping adalah sebuah kecurangan di perdagangan internasional apabila ada pihak yang dirugikan.

China sudah melakukan praktik dumping sejak lama. Hal ini terlihat pada berbagai produk dengan tulisan “Made in China” yang tersebar ke berbagai negara dan memiliki harga jauh lebih murah daripada produk yang diproduksi di dalam negeri. Ada beberapa alasan yang mendorong China untuk melakukan dumping. Pertama, harga bahan baku di China cenderung murah karena industri tekstil yang sudah terintegrasi dengan industri petrokimia sebagai penyedia bahan baku. Kedua, sering terjadi kelebihan produksi yang membuat turunnya permintaan domestik sehingga pemerintah China berinisiatif untuk mengsubsidi kepada pengusaha yang akan mengekspor. Tidak heran apabila barang yang sampai di Indonesia bisa sangat murah.

Dumping produk tekstil dari China menyebabkan industri tekstil di Indonesia mengalami keadaan yang gawat atau darurat. Pada Juni 2024, sejumlah buruh industri tekstil melakukan unjuk rasa dan mendesak pemerintah untuk membantu industri tekstil dari kebangkrutan dan PHK. Terjadi penurunan daya beli di dalam negeri karena produk tekstil China yang lebih murah dengan kualitas bagus. Namun, menurut Rizal Tanzil Rahman selaku pengamat industri tekstil, pemerintah Indonesia malah masih gencar impor tanpa mempertimbangkan kondisi industri tekstil di Indonesia.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menjanjikan akan mengenakan tarif bea masuk sebesar 200 persen untuk melindungi industri tekstil. Gawatnya industri tekstil juga disebabkan oleh perombakan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang aturan Pertimbangan Teknis (Pertek). Jadi, tidak ada lagi Pertek yang biasa digunakan sebagai syarat mendapatkan persetujuan impor. Padahal, Pertek digunakan sebagai alat untuk melindungi industri dalam negeri. Zulkifli berkata bahwa perombakan Permendag ini dilakukan karena terjadi penumpukan barang impor di pelabuhan. Kelebihan produksi tekstil di China berimbas ke Indonesia yang pada saat itu Indonesia lemah dalam penerapan trade barrier. Dari Januari hingga Juni 2024, sudah ada 13.800 pekerja yang sudah kena PHK.

Oleh karena itu, dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Kain dan PMK Nomor 49 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Karpet dan Tekstil Penutup Lantai Lainnya yang diundangkan pada 6 Agustus 2024. PMK ini mengatur tentang pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap produk kain, karpet, dan tekstil penutup lantai. BMTP adalah bea masuk tambahan jadi berbeda dengan bea masuk umum (Most Favoured Nation). Dengan PMK ini, produk yang disebutkan di atas yang berasal dari China otomatis dikenakan BMTP.

Untuk produk kain tenunan dari kapas BMTP dikenakan sebesar Rp1.657/m hingga Rp10.261/m. Untuk produk kain tenunan dari benang filamen sintetik dan artifisial BMPT dikenakan sebesar Rp1.507/m hingga Rp5.131/m. Untuk produk kain tenunan dari serat stapel sintetik dan artifisial dikenakan BMPT sebesar Rp1.832/m hingga Rp5.131/m. Kemudian, untuk produk kain tule dan kain jaring lainnya dikenakan BMPT sebesar Rp 6.414/m hingga Rp25.655/m dan produk kain rajutan dikenakan sebesar Rp8.285/m hingga Rp25.655/m. Sementara itu, untuk produk karpen dan tekstil penutup lantai lainnya sebesar Rp74.461/m2 untuk tahun pertama. Tahun kedua dan ketiga dikenakan sebesar Rp71.058/ m2 dan Rp 67.811/ m2.

Sebelumnya, sudah diatur juga mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor produk pakaian yang diatur pada PMK Nomor 176/PMK.010/2022 yang berlaku selama 5 tahun dan berakhir di Desember 2027.

Dengan kebijakan ini diharapkan dapat menjadi perlindungan dan pendorong daya saing industri tekstil di Indonesia untuk tiga tahun ke depan. Industri tekstil lokal setidaknya terlindungi dari ancaman kerugian akibat dumping dari China.

PMK ini juga diharapkan dapat menurunkan volume impor sehingga industri tekstil lokal dapat meningkatkan kapasitas produksinya. Harga impor yang lebih tinggi seharusnya dapat menurunkan volume impor produk tekstil dari China. Dengan begitu, daya beli masyarakat terhadap produk tekstil lokal akan meningkat dan dapat menyelamatkan industri tekstil.

*Penulis Darrell Fredella Defen adalah Mahasiswa Administrasi Fiskal/Universitas Indonesia

BACA JUGA  Menanti Kepastian Hukum, Ketika Presiden Dihina