Hemmen

Titik Balik Advokat Indonesia

Ilustrasi

Oleh : Muhammad Yuntri *) Pendiri Indonesia Advocate Watch

Muhammad Yuntri

Secara fakta terdapat 8 Organisasi Advokat (OA) sebelum lahirnya UU Advokat (UUA) No. 18 tahun 2003, setelah lahirnya UUA muncul 2 OA yang disebut dalam putusan MK-RI, yaitu Peradi dan K.A.I, dan sejak terbitnya SKMA No.073 tahun 2015 (SKMA-073) muncul 52 OA baru, hampir semuanya berdiri tanpa berdasarkan Munas para Advokat. SKMA-073 dimulti tafsirkan untuk mengajukan pengambilan sumpah calon advokat dari OA yang berbadan hukum dan punya SK-AHU ke Pengadilan Tinggi (PT) setempat. Semua tahapan kegiatan hampir selalu terkait dengan pendanaan.

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Sudah ribuan Advokat yang diproduk OA baru, dan jadilah OA sebagai mesin uang bagi sebagian para elit OA nya. Bahkan di antaranya disinyalir ada yang memperlakukannya sebagai komoditi dengan paket khusus dengan suatu patokan harga tertentu puluhan juta rupiah tanpa harus mengikuti tahapan persyaratan menurut Undang-Undang yang berlaku dan langsung mengikuti sumpah profesi di PT setempat. Sehingga tidak tertutup kemungkinan kalau itu terjadi, akan adanya Advokat baru yang bukan bertitel S1 hukum, tetapi dari S.Sos, dokter gigi, Insinyur, termasuk para preman, dan lain-lain. Toh, semua berkas fotocopy-an calon Advokat pertanggung jawabannya dikembalikan kepada pimpinan OA yang mengajukan permohonan sumpah.

Instruksi dari pasal 28 UUA mengharuskan OA dibentuk dan dideklarasikan pada acara munas para Advokat, yang pendiriannya bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat melalui peran dan fungsi OA yang efektif mulai tahapan rekrutmen sesuai ketentuan pasal 2,3 dan 4 UU Advokat. Tahapan pembinaan dengan PKPA yang berkelanjutan dan magang kerja di kantor senior advokat selama 2 tahun. Tahapan pengawasan berikut pengenaan sanksi bagi Advokat yang melanggar kode etik. Dengan demikian adanya kepastian hukum dalam praktek profesi Advokat sebagai penegak hukum sekaligus terjaminnya perlindungan hukum bagi klien pengguna jasa Advokat.

Menuju Titik Balik

Awal Oktober 2019, segelintir elit OA yang peduli untuk perbaikan dari kesembrawutan dunia profesi advokat bertukar pikiran di STC Senayan Jakarta guna mengkritisi masalah di atas sebagai autokritik terhadap dunia Advokat. SKMA-073 sebagai pemicu lahirnya OA baru yang tidak bersandar pada pasal 28 UUA, terjadinya banyak pelanggaran kode etik oleh Advokat baru yang setiap saat bisa “kutu loncat” ke OA tetangga dan lain-lain. Pembicaraan mengerucut untuk diadakan pertemuan berikutnya. Akhirnya terlaksana acara “Diskusi dan Silaturahmi Advokat Indonesia” pada tanggal 11 November 2019 di gedung Komisi Yudisial (KY) Jakarta yang dimotori Advokat Senior Ahmad Yani dan kawan-kawan.

Pembahasan yang menonjol saat itu tentang adagium status sosial “officium nobile” advokat. Kemuliaan berprofesi ini mau tidak mau sangat terkait dengan masalah wadah OA dan personal Advokat yang berpraktek. Antara OA dengan Advokat dua hal yang harus saling terkait. Peran dan fungsi OA sangat menentukan kualitas rekrutmen, pembinaan dan pengawasan terhadap para Advokat yang menjalankan profesinya di hadapan klien.

Hampir semua peserta diskusi komited untuk pembenahan wadah OA kedepan walau ada juga yang menangapinya setengah hati. Tersebutlah ada 2 system pilihan wadah OA, system Singlebar atau Multibar. Kedua system tersebut punya kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Yang penting peran dan fungsi wadah profesi berjalan efekti dan terciptanya kepastian hukum untuk perlindungan hukum bagi klien pengguna jasa Advokat dari praktek para Advokat nakal yang bisa bersilat lidah membela dirinya.

Untuk menuju masa depan profesi Advokat yang diharapkan (das sollen), maka sudah saatnya profesi Advokat dikembalikan kepada marwahnya sebagai officium nobile (profesi yang mulia) dengan berbagai konsekuensi logis, juridis dan sosiologisnya. Secara logis tertib organisasi, maka harus ada standarisasi bersama tentang rekrutmen, standar materi kurikulum Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan pendidikan berkelanjutan, program magang 2 tahun di kantor senior Advokat, pengawasan melekat bagi para Advokat nakal yang harus diikuti dengan sanksi yang efektif pembuat jera, dan lain-lain.

BACA JUGA  Sengkarut AD/ART: Yusril Vs Partai Demokrat

Secara juridis, semua tahapan dan persyaratan sebagaimana ketentuan perundang-undangan haruslah diterapkan secara efektif tanpa toleransi. Dan secara sosiologis, status sosial “officium nobile” profesi Advokat ini harus tetap dipertahankan dan mendapat apresiasi pengakuan dari berbagai kalangan “catur wangsa” penegak hukum lainnya maupun dari semua lapisan masyarakat.

UU Belum Punya PP

Sejak terbitnya UUA tahun 2003 sampai saat ini, tercatat dalam ingatan kita mungkin sudah 22 kali dilakukan uji materil judicial review di MK-RI. Hampir semua uji materil tersebut ditolak atau ada satu diantaranya yang dikabulkan yang tidak begitu significant pengaruhnya. Sebagai UU sudah cukup memadai, walaupun saat diundangkan, Presiden Megawati tidak menandatanganinya, sehingga UUA berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari disahkan dalam rapat paripurna DPR. Sehingga dampaknya secara politis, sampai saat ini UUA tidak memiliki

Peraturan Pemerintah sebagai UU organik pelaksanannya yang secara teknis akan berfungsi untuk menyempurnakan UUA itu sendiri dari multitafsir semua pihak yang berkepentingan. Menurut pendapat Penulis, tidak ada bagian dari UUA tersebut yang perlu dirubah atau diganti, karena secara substansi sudah cukup memadai sebagai UU.

Penyempurnaannyapun cukup melalui PP saja yang harus segera diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM yang tentunya harus memperhatikan masukan dari komunitas para Advokat.

Tarik Menarik Model AO

Bagi Advokat senior yang pernah duduk sebagai legislator sering bercermin bahwa suatu institusi organisasi tentulah berkaitan dengan kekuatan dan kekuasaan agar bisa lebih eksis. Dan di alam demokrasi saat ini tidak ada lagi wadah tunggal dalam berbagai organisasi profesi. Atas pertimbangan tersebut maka memunculkan ide system multibar. Dan OA yang saat ini eksis haruslah memenuhi kriteria minimal punya 2/3 DPD provinsi di Indonesia untuk bisa diakui. Atas pendapat ini telah menimbulkan kesan bahwa harus adanya kuantitas massa anggota dalam jumlah minimal tertentu, yang sekaligus mencerminkan suatu kekuatan bargaining secara politik dalam hal voting sebagaimana yang berlaku pada rapat anggota DPR yang masing-masing anggota dianggap mewakili ratusan ribu pemilihnya agar bisa duduk di DPR.

Jika jalan pikiran ini diikuti, bisa terbayangkan semua OA baru akan berlomba-lomba merekrut anggota baru dengan menghalalkan segala cara tanpa peduli kualitas anggota maupun terpenuhinya syarat juridis calon anggota saat rekrumen. Nah hal itu akan menimbulkan masalah baru lagi. Sebenarnya cara-cara seperti itu lebih cenderung dan tepat jika diterapkan pada Ormas yang anggota berasal dari berbagai latar belakang dan dengan jumlah anggota yang dimilikinya itu seolah akan memperoleh legitimasi kekuatan untuk “bargaining position” di tengah masyarakat dalam menghadapi berbagai hal terhadap siapa saja yang dihadapinya.

Di sisi lain, semestinya kita harus memahami betul tentang organisasi profesi itu sendiri, yang mesti bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayananannya bagi klien penguna jasa Advokat. Yang tentunya juga harus berperan maksimal meningkatkan kualitas para anggotanya sendiri dari waktu ke waktu. Mengutamakan kualitas anggota pastilah berbeda penerapan strategi konsep manajerialnya dengan strategi konsep manajerial yang mengutamakan jumlah atau kuantitas anggota organisasi.

Selain itu profesi Advokat itu sendiri bukanlah hanya sebatas suatu “lapangan kerja” semata, melainkan lebih fokus kepada “tugas pengabdian untuk melayani pembelaan hukum untuk kepentingan kliennya yang dilaksanakan secara bebas dan bertanggung jawab serta bermoral yang harus didukung dengan suatu pendidikan yang terstruktur, berketerampilan yang diikat dengan suatu kode etik profesi dan harus berpraktek sesuai ketentuan UU yang berlaku.”

Dengan demikian mekanisme berorganisasipun juga lebih menonjolkan intelektual otak ketimbang kekuatan otot dan keras-kerasan tidak mau mengalah dalam merebut dan mempertahankan suatu jabatan dalam suatu organisasi. Sehingga wadah profesi bisa benar-benar efektif melakukan seleksi rekrutmen tanpa perlu jumlah target tertentu, melainkan harus menonjolkan target kualitas dan kualifikasi yang harus dimiliki masing- masing anggota dari waktu ke waktu, yang harus bisa dievaluasi secara berkala 2 tahunan misalnya. Dan jika anggota yang bersangkutan tidak memenuhi lagi kualifikasi atau menurunnya kualitas anggota maka sangat dimungkinkan akan adanya pengurangan/pemberhentian anggota secara terhormat.

BACA JUGA  Hotman Paris Bukan Contoh yang Baik Seorang Advokat

Wadah Profesi yang ideal

Tanpa bermaksud mengurui ataupun tanpa mengurangi rasa hormat pada ide singlebar ataupun multibar, dan tetap menghormati kebebasan berserikat sebagaimana diatur pada pasal 28 UUD’45 sebagai hak azazi manusia selaku makhluk sosial “zoon politicon,” penulis mengajak kita semua untuk menempatkan marwah profesi Advokat pada posisi yang tepat dalam suatu wadah profesi yang terhomat.

Advokat adalah profesi tertua di dunia setelah profesi dokter. Para Advokat tidak perlu malu jika harus melirik dan mencontoh ketenangan para dokter berorganisasi profesi. Jarang sekali kita mendengar para dokter saling ngotot untuk berebut guna mendapatkan atau mempertahankan jabatannya pada organisasi profesi. Bahkan yang terjadi lebih sering terlihat adalah saling mengalah di antara mereka yang senior, yang cukup mencerminkan rasa bijak dan ngukur diri sebagai seorang intelektual. Lain halnya yang terjadi pada OA seolah terjadi sebaliknya.

Halmana disinyalir adanya kepentingan ekonomi di balik fasilitas jabatan dan status sosial yang disandangnya selama menjabat pimpinan OA. Justru inilah yang disinyalir sebagai biang kerok dan penyebab selalu terjadinya ketegangan diantara para Advokat untuk segera disikapi dan diantisipasi secara systemik, agar memunculkan rasa malu jika seorang intelektual S1, S1 atau S3 Advokat harus berebut klien dan berebut jabatan pimpinan di wadah organisasi profesi Advokat.

Sebagai jalan tengah penulis menawarkan konsep, harus adanya satu induk wadah profesi Advokat yang akan mempunyai kewenangan untuk:

  1. Rekrutmen
  2. Menentukan standar kurikulum PKPA dan pendidikan
  3. Melaksananakan Ujian Profesi Advokat (UPA) serentak secara berkala tahunan.
  4. Mengangkat dan memberhentikan status Advokat pada diri seseorang jika melakukan pelanggaran hukum, etik, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Advokat.

Semua aktivitas OA harus dilaksanakan secara systemik (by system) dan berlaku protokoler (S.O.P khusus) yang secara teknis pelaksanaannya dibantu oleh Badan Pekerja Advokat yang terdiri dari para wakil-wakil OA yang saat ini eksis yang OA nya dibentuk melalui Munas. Sedangkan para wakil OA yang OA nya dibentuk tanpa melalui Munas (secara persekutuan perdata saja) akan bisa menempati posisi pada level kedua “Grup Supporting”  Badan  Pekerja” yang berada satu level di bawah Badan Pekerja.

GBHK (Garis-Garis Besar Program Kerja OA) ditentukan dalam rapat paripurna Badan Pekerja. Dalam hal teknis pelaksanaan PKPA akan bisa diberikan konsensinya kepada OA yang saat ini eksis di bawah pengawasan ketat induk OA, dan akan memberi kesempatan pada OA tersebut untuk mengisi kas OA nya serta menunjukkan reputasinya melaksanakan amanah PKPA dari induk OA.

Bentuk induk OA ini bisa saja berbentuk Federasi atau Konfederasi. Pimpinan tertingginya dijabat oleh seorang Sekjen sebagai administratur tertinggi yang bisa dijabat secara bergiliran di antara ketua-ketua divisi. Tugas-tugas organisasi akan didistribusikan Sekjen kepada ketua-ketua divisi. Kondisi ini mirip dengan organisasi PBB yang dipimipin oleh seorang Sekjen.

Dengan demikian tidak akan ada lagi seorang advokat dicitrakan sebagai Presiden yang berkuasa mutlak dan menentukan segala-galanya dalam induk OA, melainkan pimpinan induk OA hanyalah sebagai pelayan yang diberi kesempatan dalam menjalankan perintah OA yang telah ditetapkan dalam GBHK nya oleh Badan Pekerja termasuk fasilitas yang ada pada jabatannya.

BACA JUGA  Klarifikasi Otto Hasibuan soal Berita Dirinya Digugat Rp 110 Miliar
Struktur Organisasi

Keterangan Gambar :

  1. Bentuk Induk OA → FEDERASI , di tingkat pusat dan di tingkat organ nya tidak jauh berbeda sebagai perpanjangan tangan pusat.
  2. Organ Federasi terdiri dari unsur : Eksekutif, Legislatif, Yudikatif (Pembagian Kewenangan)
  3. Sek.Jen sebagai Kepala Administratur (Administratur tertinggi) dibantu oleh Badan Pekerja Advokat dan Supporting Grup yang akan menentukan GBHK OA dan keuangan serta system yang berlaku di Federasi
  4. Badan Pekerja Advokat diisi oleh wakil2 OA yang OA nya didirikan berdasarkan Munas para Supporting Grup diisi oleh wakil-wakil OA yang OA didirikan tidak berdasarkan Munas tapi dalam bentuk persetkutuan perdata biasa.
  5. Struktur Organisasi di tingkat Daerah hampir sama, tetapi merupakan perpanjangan tangan pusat di
  6. Semua aturan OA dilaksanakan by system
  7. Kepemimpinan bersifat Kolektif Kolegial dengan masa jabatan 3 (tiga) tahun.
  8. Profesional dan imunitas Advokat sbg penegak hukum (pasal 5 pasal 16 UUA) terjamin, dan adanya kepastian dalam perlidungan hukum bagi klien selaku pengguna jasa advokat dari perbuatan advokat nakal
  9. UUA 18 tahun 2003 saat ini hanya butuh Peraturan Pemerintah sebagai penyempurna, dan tidak butuh revisi/perubahan

 Saatnya Bar Association Indonesia diperhitungan Internasional

OA sebagai “auxiliarly own state” (institusi negara yang diperluas) sudah semestinya mendapat tempat yang sejajar dengan institusi “catur wangsa penegak hukum lainnya” (Polisi, Jaksa dan Hakim) di mata negara ataupun pemerintahan. Sehingga eksistensinya terlihat nyata dan diperhitungkan semua pihak.

Dengan bersatunya Advokat dalam suatu wadah profesi haruslah pula dianggap suatu asset negara yang berharga dan dipelihara dengan baik. Dan akan menjadi mitra kerja pemerintah dalam penegakkan hukum maupun sebagai oposisi jika adanya penegakkan hukum yang tidak pada tempatnya.Sebagai asset negara, sudah difasilitasi dengan “head quater” kantor pusat yang representatif di ibu kota negara, termasuk biaya pemeliharaan gedungnya, sebagaimana yang sering kita lihat megahnya gedung organisasi Lawyer di luar negeri. Sedangkan biaya operasional kantor FEDERASI tetap ditanggung oleh OA itu sendiri yang bisa diperoleh dari iuran anggota maupun sumbangan tidak mengikat lainnya. Jika jumlah anggota Advokat mencapai ratusan ribu orang dikalikan iuran masing-masing advokat sebesar Rp. 100.000,-/tahun, berarti terkumpul dana Federasi minimal Rp. 10 Milyar /tahun, yang dianggap cukup untuk menjalan operasional kantor Federasi selama setahun.

Kerjasama antar Bar Association di berbagai negara bisa diwujudkan dengan baik dan saling bertukar informasi maupun kerjasama program satu dengan lainnya baik di tingkat regional ASEAN maupun di tingkat Internasional sekalipun.

Kita berharap sudah saatnya Profesi Advokat di Indonesia menuju titik balik dari berbagai faktor yang kurang baik selama ini. Dan saatnya para Advokat Indonesia menentukan sendiri bentuk OA dalam AD/ART sebagaimana yang telah digariskan pada pasal 28 UUA No. 18 tahun 2003. Dan harus bangga dengan jati dirinya sendiri sebagai professional dalam melaksanakan tugas pengabdian di masyarakat dalam rangka memberi pelayanan bantuan jasa hukum untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-hak klien nya yang diciderai.Bravo Advokat Indonesia..!

*) Penulis : Praktisi Hukum di Jakarta sejak 1986.

 

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan