Opini  

60 Tahun Kompas: Di Persimpangan Sejarah Media 

Oleh Kemal H Simanjuntak Media Kompas
Kemal H Simanjuntak (Foto:Dok.Pribadi)

“Mampukah Kompas bertahan? Bisa. Tapi bukan dengan bertahan di tempat, melainkan dengan terus bergerak dan berubah tanpa kehilangan arah. Itulah tugas utama sebuah kompas.”

Oleh Kemal H Simanjuntak

Tepat pada 28 Juni 2025, Harian Kompas genap berusia 60 tahun. Usia yang panjang bagi sebuah media cetak di tengah derasnya arus disrupsi digital. Sejak edisi pertamanya pada 1965, Kompas telah menjadi saksi sejarah sekaligus aktor penting dalam perjalanan demokrasi, kebebasan pers, dan peradaban bangsa. Namun hari ini, pertanyaan yang mengemuka tak lagi seputar warisan melainkan masa depan: mampukah Kompas bertahan?.

Media ini dikenal luas sebagai institusi pers dengan kredibilitas tinggi, moderat, dan berimbang. Dalam dunia yang semakin gaduh dengan hoaks, manipulasi data, dan polarisasi opini, Kompas masih memegang teguh etika jurnalistik. Tapi justru di situlah ujian terbesarnya hari ini: bagaimana mempertahankan nilai dan mutu di tengah perubahan lanskap konsumsi media yang serba cepat, instan, dan visual?.

Secara global, tren media cetak terus menurun. Di Amerika Serikat, oplah koran harian turun dari 62 juta pada 1990 menjadi hanya 20 juta pada 2020 (Statista). Indonesia mengikuti tren ini. Data Serikat Perusahaan Pers menunjukkan bahwa oplah media cetak nasional telah menyusut lebih dari 60 persen dalam satu dekade terakhir. Kompas, yang dulu dicetak hingga setengah juta eksemplar per hari, kini disebut hanya bertahan di kisaran 100.000 – 150.000 eksemplar.

BACA JUGA  Bagaimana Puasanya?

Pendapatan iklan yang dulu menjadi tulang punggung kini beralih ke platform digital seperti Google dan Meta. Digitalisasi memang telah dijalankan melalui Kompas.id, namun menurut riset Reuters Institute (2023), hanya sebagian kecil media di Asia Tenggara yang berhasil menggantikan kerugian iklan cetak dengan pendapatan digital.

Kompas Gramedia sebenarnya memiliki fondasi bisnis yang cukup kuat dan terdiversifikasi. Selain Harian Kompas, mereka memiliki KompasTV, jaringan radio Sonora, Gramedia, hotel Santika, hingga sektor pendidikan dan pelatihan. Namun kekuatan ekosistem ini juga menuntut penyegaran dan sinergi ulang agar tidak menjadi beban di era efisiensi digital.

Yang paling krusial adalah perubahan perilaku pembaca. Gen Z dan milenial yang menjadi tulang punggung masa depan lebih memilih mengakses berita lewat TikTok, Instagram, dan YouTube Shorts. Hanya 4 persen dari mereka yang masih membaca media cetak sebagai sumber utama informasi, menurut survei Katadata Insight Center tahun 2022. Ini bukan sekadar soal kanal distribusi, tetapi juga soal pendekatan naratif, bahasa visual, dan relevansi konten.

BACA JUGA  Impeachment Presiden Jokowi

Kompas sendiri telah melakukan banyak penyesuaian. Mereka menghadirkan podcast, artikel premium, animasi berita, serta peliputan berbasis data. Liputan investigatif dan feature khas Kompas juga tetap dijaga mutunya. Namun pertanyaannya: cukupkah itu untuk mengubah persepsi generasi baru bahwa Kompas adalah “media orang tua”?.

Bertahan dalam badai digital bukan hanya soal teknologi, tapi soal kepercayaan. Dan justru di titik inilah Kompas punya peluang yang tidak dimiliki banyak media baru: kredibilitas. Ketika publik jenuh dengan konten viral yang dangkal, media yang punya integritas akan dicari kembali. Tetapi agar dapat menjangkau audiens masa kini, kepercayaan itu harus dikemas ulang: dalam narasi yang segar, gaya yang bersahabat, dan kanal yang relevan.

Di usianya yang ke-60, Kompas bukan hanya sedang mengingat sejarah, tapi sedang diuji relevansinya. Menjadi media tua bukanlah aib, jika mampu menjadi tua yang bijak dan lentur. Bukan nostalgia yang dibutuhkan, tetapi keberanian membaca zaman.

BACA JUGA  Diaspora Politik Muhammadiyah

Kompas bisa menjadi jangkar kepercayaan di era post-truth. Ia punya semua modal sejarah panjang, nilai yang konsisten, dan tim jurnalistik yang berpengalaman. Yang tinggal ditambahkan adalah satu hal: imajinasi baru.

Mampukah Kompas bertahan? Bisa. Tapi bukan dengan bertahan di tempat, melainkan dengan terus bergerak dan berubah tanpa kehilangan arah. Itulah tugas utama sebuah kompas.

*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Senior Consultant, Asesor LSP Tata Kelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)