Oleh Ahmad Suryana
Jenis dan bentuk bisnis semakin berkembang di masa sekarang, namun praktik “gharar” masih bisa ditemukan di dalam transaksi komersial, bahkan sosial, baik disadari ataupun tidak, dan baik disengaja ataupun tidak. Jual beli yang bersifat gharar adalah transaksi yang mengandung ketidakjelasan.
Ketidakjelasan tersebut bisa melekat pada beberapa hal, yakni objek yang diperjualbelikan, harga, barang yang menjadi timbal balik pembayaran objek yang diperjualbelikan tersebut, atau transaksi yang mengandung spekulasi atau yang sifatnya taruhan.
Imam an-Nawawi rahimahullah dalam sarah shahih Muslim menyatakan, pelarangan terhadap praktik gharar dalam jual beli adalah prinsip yang agung dalam pokok-pokok kitab jual beli. Jadi jangan menganggap remeh gharar karena ini termasuk pelarangan yang tertulis dalam dalil bahwa bentuk jual beli seperti ini adalah terlarang.
Oleh karena itu Imam Muslim mengedepankan atau meletakkan hadis tentang gharar di depan atau di awal kitab jual beli, dan permasalahan-permasalahan yang masuk ke dalam bab gharar ini banyak ragamnya.
Dalam kaitan ini, dalam kitab-kitab fikih muamalah terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan objek jahala (ketidakjelasan), yaitu mukhadharah, qimar, dan maysir.
Dari ketiga istilah tersebut, maysir atau judi mungkin lebih umum dikenal di tengah masyarakat. Judi adalah semua transaksi yang mengandung mukhadharah atau spekulasi dan bersifat untung-untungan karena dilakukan secara bertaruh.
Sementara gharar adalah skema judi yang terdapat dalam transaksi jual beli atau pada pertukaran barang. Gharar ini sinonim dari judi, tapi khusus di sektor jual beli.
Adapun qimar adalah taruhan. Ini bentuk judi, tapi melekat pada petandingan dan perlombaan, seperti kuis atau permainan sepak bola, catur, sabung ayam, main kartu. Atau bisa juga tergabung unsur jual beli yang di dalamnya ada unsur taruhan dan permainan.
Beberapa praktik gharar yang sering ditemukan dalam kegiatan jual beli di tengah masyarakat mencakup aspek kualitas atau spesifikasi barang atau uang dan waktu pembayaran.
Saat berjual beli penjual harus menjelaskan barangnya apa, spec-nya bagaimana, berapa kilo kadarnya atau berapa meter panjangnya, atau apa warnanya. Jika ini tidak jelas, ini namanya gharar.
Lalu dari aspek pembayaran, antara penjual dan pembeli harus mengetahui berapa harga barang dan kapan harus dilakukan pembayaran. Ini harus jelas, dan kalau tidak, ini namanya gharar.
Jadi, mukhadharah atau spekulasi yang masuk dalam gharar, yaitu spekulasi yang sifatnya untung-untungan terhadap objek timbal balik (dari jual beli). Spekulasi semacam ini tidak sama dengan kemungkinan untung atau rugi dalam jual beli lainnya. Masyarakat banyak yang sering salah paham dalam hal ini.
Salah satu praktik spekulasi yang haram bisa ditemukan dalam jual beli saham yang harganya kadang-kadang naik drastis atau turun drastis. Spekulasi seperti ini diharamkan
Tapi, barang-barang seperti cabai, jengkol, sayur mayur yang tingkat volatilitasnya tinggi, kadang harganya melambung, kadang anjlok, sesuai situasi dan kondisi, ini tidak haram diperjualbelikan.
Apa yang dimaksud mukhadharah yang diharamkan adalah seseorang membayar sesuatu, atau membeli sesuatu, tapi tidak jelas mendapatkan apa. Ini termasuk gharar.
Jual beli gharar di zaman Rasulullah dipraktikkan dengan lemparan batu.
Cara ini mengharuskan pembeli melempar batu ke arah barang-barang yang hendak dibeli. Barang yang terkena lemparan batu adalah barang yang akan diperjualbelikan, dan harus diterima oleh pembeli dalam keadaan apa pun.
Jadi kalau seseorang menjual barang, maka barangnya harus ready (tersedia), dan tidak boleh menjual barang yang tidak ready, kecuali dalam transaksi salam atau transaksi istishna, atau melalui pemesanan terlebih dahulu.
Banyak kaum Muslimin yang mengabaikan hal ini karena takut risiko, sehingga mereka menawarkan barang yang belum ready dengan cara open P.O di grup WA. Atau si penjual sendiri ragu, tidak yakin apakah barang yang dia jual bisa diserahterimakan atau tidak. Dia tidak yakin, karena barangnya tidak ready. Biasanya barang yang dijual secara online. Ini tidak boleh.
Sistem jual beli seperti drop shipping dan open reseller bisa termasuk dalam gharar. Bahasanya reseller, padahal bukan. Misalnya, gambar produk casing ponsel yang sama dengan watermarks bisa muncul di beberapa toko berbeda di sebuah market place.
Lalu kalau si penjual di-chatting, responsnya lama karena dia harus tanya dulu ke supplier. Maka, barang ini dipastikan belum dimiliki oleh si penjual.
Jual beli salam atau istishna
Gharar berbeda dengan transaksi salam atau istishna, di mana si penjual bisa memastikan bahwa barang yang dipesan oleh pembeli bisa diserahkan di waktu kemudian.
Mengapa transaksi salam atau istishna itu boleh, padahal barangnya tidak ready atau tidak jelas. Ini karena si penjual bisa memastikan akan menyerahterimakan barang yang sudah dipesan.
Dalam transaksi salam, pembayaran dilakukan di muka secara tunai, sementara barang diterima di belakang. Kebalikan dari sistem ini adalah jual beli dengan cara kredit, yaitu barang diterima lebih dulu oleh pembeli, dan dibayarkan belakangan.
Transaksi kredit sendiri dibolehkan, karena secara dalil boleh mengambil harga atas waktu. Misalnya, harga seekor sapi limosin 20 juta rupiah, tapi si penjual menawarkan harga 15 juta rupiah karena pembeli mau membeli tunai. Ini dibolehkan karena ada nilai waktu terhadap uang.
Jadi, jual beli dengan transaksi salam adalah di mana harganya lebih murah karena keterlambatan penyerahan barang. Sedangkan jual beli dengan cara kredit itu sebaliknya. Harga barang menjadi mahal karena keterlambatan pembayaran.
Jual beli salam dibolehkan karena dua sebab. Pertama, yang dijual bukan barangnya. Misalnya ada pemilik pohon rambutan yang menawarkan rambutan dengan kualitas bagus ke toko buah saat ini. Tapi barang akan diantar bulan depannya saat panen. Biasanya satu ikat 10.000, tapi harga saat itu cukup 5.000 saja, dengan minimal pemesanan 100 kilogram.
Penjual dan pembeli menyepakati di awal bahwa pembayaran harus dilakukan tunai walaupun barang itu (rambutan) belum ready. Penjual menawarkan rambutan yang belum ready tapi bisa memastikan bahwa saat barang harus diserahkan kepada pembeli, dia bisa menyediakan rambutan dengan kualitas bagus, bahkan meskipun pohon rambutan miliknya gagal dipanen.
Dalam transaksi salam si penjual yakin bahwa barang yang ditawarkan banyak tersedia di pasaran. Terus kenapa orang mau beli ke dia? Tidak lain karena dijual dengan harga murah dengan timbal balik tertunda.
Transaksi salam juga bukan menjual barang muayan (yang ditunjuk), tapi barang dengan spesifikasi tertentu, dengan kondisi si penjual yakin barang dimaksud tersedia di banyak tempat.
Dia menjual barang dengan harga murah walaupun risikonya rugi. Ini karena jual beli salam terkadang bukan mengejar keuntungan dari harga tapi dari likuiditas, atau pinjaman lunak.
Kalau si penjual pintar dalam jual beli salam, uang yang diserahkan di muka bisa dipakai dan diputar di pasar. Dalam sistem salam, jual beli rugi tidak apa-apa karena uangnya bisa diputar.
Contoh lain, dalam sistem salam bisa ditemukan dalam jual beli ikan yang ada di laut. Kadang nelayan yang mau melaut tidak punya solar. Maka dia bisa menawarkan ikan tongkol kepada pembeli saat ini, meskipun barangnya belum ada. Jual beli ini bisa dilakukan dengan cara jual beli salam. Yang dijual spec-nya, dan bukan barangnya.
Namun, jual beli salam tidak sama dengan cara ijon, di mana penjual menawarkan hasil kebun saat ini yang belum tentu bisa dipanen di kemudian waktu.
Jual beli ijon seperti ini tidak boleh karena kebun belum tentu selamat, bisa jadi rontok, atau rusak kena hujan. Ini namanya jual beli barang muayan, yaitu beli barang tertentu yang ditunjuk. Kalau ada barang tertentu yang ditunjuk (menjadi objek jual beli), maka barangnya harus segera diserahterimakan saat transaksi.
Barang sedikit tidak gharar
Menentukan jual beli gharar juga bisa berdasarkan jumlah barang, di mana jika barang yang dijual tidak jelas namun jumlahnya sedikit, maka tidak masalah.
Contohnya menjual nasi uduk. Ada satu porsi yang isinya satu centong, ada yang satu setengah. Kalau gharar-nya sedikit, biasanya tidak ada yang complain. Tapi kalau ekstrem, misalnya yang satu dengan porsi nasi uduk berisi satu centong dan yang lainnya dua centong. Maka ini termasuk gharar.
Contoh lain adalah restoran “all you can eat“. Si penjual sudah menganalisis bahwa bila dia menjual tiga piring untuk satu orang dengan harga tertentu dan pasti akan memuaskan pembeli, maka dengan kemungkinan gharar yang kecil, hal ini tidak apa-apa.
Tapi kalau dijual tidak berdasarkan analisis atau hanya berdasarkan untung-untungan (spekulasi), maka gharar-nya menjadi besar. Ini tidak boleh.
Contoh-contoh jual beli lainnya yang mengandung sedikit gharar namun dibolehkan adalah menjual durian yang belum dikupas dengan kemungkinan buah busuk, atau jual beli bundling (paketan) barang yang isinya tidak jelas karena yang dijualnya paket, bukan isi per satuan.
Jual paket pernikahan, misalnya, ada makanan, ada souvenir, dan lainnya dalam satu paket, maka ini tidak masalah. Atau menjual sapi yang sedang hamil. Yang tidak boleh adalah kalau yang dijual janin dalam perut sapi karena ada kemungkinan lahir cacat atau mati.
Gharar dalam sosial hukumnya boleh
Kegiatan komersial yang mengandung gharar hukumnya haram. Ini karena asas komersial dalam Islam adalah fairness atau keadilan. Jadi kalau sudah membuat sebuah produk yang tujuannya bukan untuk kepentingan sosial harus jelas hitung-hitungannya.
Jangan sekali-sekali menyewa tenaga orang atau melakukan kerja sama atau transaksi jual beli yang tidak jelas perhitungannya karena merasa tidak enak dengan saudara, teman dekat, atau ustadz sekali pun karena dikhawatirkan memunculkan konflik di kemudian hari.
Namun, gharar dibolehkan dalam kegiatan sosial. Jadi jangan sampai tertukar karena sering ditemui adanya konsekuensi sosial bercampur komersial.
Seperti seorang guru. Guru sering menjadi korban. Guru bekerja di sebuah yayasan atau instansi atau lembaga dengan akad komersial atau sosial. Jelas, ini akadnya komersial karena ada kewajiban-kewajiban yang melekat.
Misalnya guru harus datang jam tujuh atau delapan pagi. Ini ada pengikatan waktu. Dia harus mengajar, membuat rencana pembelajaran, membuat soal-soal. Ada job description.
Terkadang pihak pemberi kerja abai. Timbal balik komersial tersebut dibayar dengan motivasi-motivasi yang sifatnya sosial. Misalnya dikatakan, “Antum sebagai guru harus semangat, harus ikhlas untuk dakwah, harus berjuang, harus bersusah-susah dahulu”. Ini sama saja dengan menipu orang dengan bahasa syariah.
Guru itu harus dibayar dengan ujrah (upah) sebagai timbal balik atas waktu-waktunya yang ditahan pihak sekolah selama beberapa jam per hari, sementara sang guru tidak bisa kerja di tempat lain, dan inilah waktu yang disewa sehingga dia harus mendapatkan ujrah (upah).
Jangan memasukkan iming-iming yang sifatnya sosial. Contoh, “Nanti kalau antum mengajar, Insya Allah pahalanya besar, dan antum berjihad di jalan Allah. Nanti kalau ada undian, antum bisa dapat hadiah umroh bagi yang berprestasi”.
Iming-iming tersebut bisa menjadi objek gharar, karena merupakan timbal balik yang belum jelas kapan waktu mendapatkannya, dan berapa kadar yang bakal diperoleh. Jadi, jangan mencampur-adukkan antara konsekuensi sosial dan komersial.
*Ustadz Ahmad Suryana adalah Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI). Materi ini disampaikannya pada kajian ilmiah berjudul ‘Aplikasi Gharar Dalam Jual Beli’ yang diselenggarakan oleh KPMI Korwil Bogor baru baru ini di Masjid Alumni IPB Bogor.
