Opini  

‘Kisruh’ Muhammadiyah vs BSI, Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik?

Sidang Itsbat, Masihkah Relevan?. Muhammadiyah BSI. Ekonomi Islam
Dr. Muhammad Akhyar Adnan, MBA, Ak (Foto: Dok.Pribadi)

“Mestinya peristiwa ini dapat menjadi pelajaran penting terutama dalam industri perbankan syariah yang secara eksplisit membawa nama besar agama di dalamnya. Kejadian ini di sisi lain adalah sebuah ironi pula, apalagi dalam bisnis dikenal konsep KYC: Know Your Customers.”

Oleh Muhammad Akhyar Adnan

Kemenkumham Bali

Secara tiba-tiba saja industri perbankan Syariah dihebohkan oleh kejutan Muhammadiyah, organisasi massa (Ormas) Islam terbesar di negeri ini yang memutuskan untuk menarik dana mereka dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Dikabarkan bahwa jumlah dana Muhammadiyah yang ada di BSI mencapai angka Rp.15 Triliun. Sebuah angka yang cukup besar tentunya.

Ini berasal seluruh Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang terdiri dari 172 Perguruan Tinggi, 1143 SLTA sederajat, 1772 SLTP sederajat, 2604 SD sederajat, 7623 TK ABA, 6723 PAUD, 71 SLB, 82 Pesantren, 122 Rumah Sakit (ditambah 20 yang sedang dibangun) 231 Klinik, dan sejumlah AUM di bidang ekonomi seperti BMT, BPRS, Biro Umrah, dan lain-lain.

Berdasarkan berbagai informasi yang beredar, ada sejumlah alasan yang membuat Muhammadiyah ‘kecewa’ dengan BSI, dan berujung dengan sikap tegas untuk menarik seluruh dananya di bank syariah itu.
Konon ini berkaitan dengan pemilihan dan atau penunjukan salah seorang Komisaris di BSI.

Selain itu, kabarnya, kekecewaan itu juga disebabkan oleh kurang baiknya cara pelayanan BSI terhadap Muhammadiyah, dan kebijakan BSI yang kurang memperhatikan UMKM dalam pelayanan pembiayaan.

Ada indikasi bahwa BSI masih lebih mengutamakan nasabah-nasabah kakap dibandingkan nasabah-nasabah gurem dalam bentuk UMKM. Sesuatu yang tidak sejalan dengan kebijakan Muhammadiyah yang selalu mendorong dan meningkatkan UMKM, tanpa harus melupakan yang ‘kakap’.

Terlepas dari apapun penyebab utama atas retaknya hubungan dua lembaga besar ini, Akhyar Business Insititute (ABI) tertarik dan mencoba melakukan survey atas fenomena yang tentu menarik untuk dikaji dari beberapa aspek ini. Hasilnya adalah sebagai berikut.

Metode Survey dan Profil Responden

Survey dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner ke sejumlah responden. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan metode purposive sampling. Sejauh ini berhasil dijaring 129 responden yang menjawab kuesioner yang disebarkan. Secara gender responden terdiri dari 72,9 persen pria dan 27,1 persen wanita.

Dari segi umur, mayoritas responden (60,5 persen) berusia di atas 50 tahun, diikuti sebesar 20,2 persen berumur 41-50 tahun; 10,1persen berusia antara 21-30 tahun; dan 9,3 persen berusia antara 31-40 tahun. Ini dapat diartikan bahwa para responden adalah mereka yang sudah sangat dewasa.
Dalam hal pendidikan: 37,2 persen berpendidikan S2 atau sederajat, 34,9 persen S1, dan 20,9 persen S3.

Sisanya berpendidikan SMA ke bawah. Ini juga dapat dimaknai bahwa responden adalah kaum yang sangat terdidik. Artinya pandangan mereka bukanlah pandangan yang bersifat sekilas, tapi lahir dari pengamatan serius dan berbasis informasi yang relatif cukup.

Mengenai profesi responden dapat digambarkan sebagai berikut: 26,4 persen adalah dosen atau pendidik; 23,3 persen karyawan swasta; 21,7 persen professional (lawyer, akuntan, dokter, banker dan semacamnya), 14,73 persen pensiunan; 12,4 persen PNS/ASN dan 1,5 persen karyawan BUMN. Ini menggambarkan, secara rata-rata mereka berprofesi cukup terhormat.

Dalam hal kepemilikan akun di BSI: 56,6 persen memiliki akun di BSI dan 43,4 persen tidak memiliki akun/rekening di BSI.

Terakhir adalah keanggotaan responden di Muhammadiyah: 41,9 persen adalah warga atau anggota Muhammadiyah, 38 persen adalah simpatisan Muhammadiyah, dan sisanya atau 20,2 persen bukan anggota atau simpatisan Muhammadiyah.

Pandangan Mereka

Ada lima pertanyaan yang dilemparkan kepada responden. Berikut lima pertanyaan tersebut dan respon atau pandangan responden:

Ini mengindikasikan bahwa issue ini memang disimak secara cukup merata oleh responden. Mayoritas 68,2 persen responden menyimak dengan seksama, 29,5 persen mendengar walau sekilas, dan hanya 2,5 persen responden yang tidak tahu sama sekali.

Pandangan ini juga menarik, karena 79,1 persen responden memandang bahwa sikap Muhammadiyah sudah tepat, dan hanya 7 persen yang memandang ini tidak tepat. Ada kesan kuat bahwa mayoritas responden lebih bersimpati kepada Muhammadiyah, dibandingkan kepada BSI.

Dalam hal ini, mayoritas responden (53,5 persen) berpendapat bahwa [sepatutnya] BSI menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sejauh pantauan ABI, hal ini belum tampak dilakukan.

Bahkan 45 persen responden menyarankan agar BSI minta maaf dan mengubah kebijakan yang menyinggung Muhammadiyah. Namun, jangankan meminta maaf, menjelaskan pun sejauh ini belum terdengar dilakukan.

Walau jumlah penarikan dana sebetulnya masih jauh di bawah asset yang dimiliki BSI, responden juga yakin bahwa tindakan penarikan ini akan sangat berpengaruh terhadap BSI. Sementara 37,2 persen persen berpandangan lebih moderat, bahwa pengaruhnya, walau ada, tetapi tidak signifikan.

Terakhir, adalah kemungkinan penarikan dana Muhammadiyah oleh nasabah lain, terutama warga Muhammadiyah. Ternyata 48,8 persen responden yakin bahwa mungkin sebagian warga Muhammadiyah akan mengikuti persyarikatan Muhammadiyah. 40,3 persen juga [malah] yakin tindakan ini akan dilakukan.

Hanya 10,9 persen responden yang tidak yakin bahwa langkah PP Muhammadiyah tidak akan diikuti, terutama oleh warganya.

Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan dari fenomena hubungan Muhammadiyah dan BSI, antara lain adalah bahwa hubungan yang retak ini cukup mendapat perhatian masyarakat. Dilihat dari latar belakang responden, mereka adalah orang-orang yang sudah berumur, berpendidikan cukup tinggi dan berasal dari profesi terhormat.

Oleh karena itu, mestinya peristiwa ini dapat menjadi pelajaran penting terutama dalam industri perbankan syariah yang secara eksplisit membawa nama besar agama di dalamnya. Kejadian ini di sisi lain adalah sebuah ironi pula, apalagi dalam bisnis dikenal konsep KYC: Know Your Customers.

Ini yang mungkin dilupakan atau tidak diterapkan oleh BSI. Kalau semua pihak tetap berkeinginan untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan Islam, tentu hal ini tidak boleh terjadi lagi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa ini.
WaLlahu a’lam bisshowab.

*Muhammad Akhyar Adnan adalah CEO Akhyar Business Institute (ABI)

BACA JUGA  OC Kaligis: Era Generasi Muda