JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Perusahaan produsen kontainer makanan ikonik Tupperware dan beberapa anak usahanya mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 pada hari Selasa di pengadilan AS.
Perusahaan resmi menyerah karena permintaan akan wadah penyimpanan makanan yang semakin turun dan meningkatnya kerugian finansial.
Perjuangan perusahaan untuk memperbaiki kinerja semula sempat terjadi setelah peningkatan permintaan selama pandemi, namun sayangnya berlangsung singkat.
Kala itu, ketika ada pembatasan sosial orang-orang terpaksa memasak di rumah dan secara singkat mendorong permintaan Tupperware, wadah plastik berwarna-warni dan kedap udara. Lonjakan biaya bahan mentah seperti resin plastik, serta tenaga kerja dan pengangkutan pasca pandemi, pada akhirnya semakin melemahkan margin Tupperware.
“Selama beberapa tahun terakhir, posisi keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan makroekonomi yang menantang,” kata Chief Executive Officer Laurie Goldman dalam siaran persnya, dilansir Reuters Rabu (19/9/2024).
“Sebagai hasilnya, kami mengeksplorasi berbagai opsi strategis dan memutuskan bahwa ini adalah jalan terbaik ke depan. Proses ini dimaksudkan untuk memberi kami fleksibilitas penting saat kami mengejar alternatif strategis untuk mendukung transformasi kami menjadi perusahaan yang mengutamakan teknologi digital dan berposisi lebih baik untuk melayani para pemangku kepentingan kami,” ujar Goldman.
Sebelumnya, Tupperware dikabarkan telah berencana untuk mengajukan perlindungan kebangkrutan setelah melanggar persyaratan utangnya dan meminta penasihat hukum dan keuangan.
Perusahaan ini mencatatkan perkiraan aset sebesar US$ 500 juta (Rp 7,75 triliun) hingga US$1 miliar (Rp 15,5 triliun) dan perkiraan kewajiban sebesar US$ 1 miliar (Rp 15,5 triliun) hingga US$ 10 miliar (Rp 155 triliun), menurut pengajuan kebangkrutan di Pengadilan Kebangkrutan AS untuk Distrik Delaware. Sementara itu jumlah kreditur berkisar antara 50.001-100.000.
Sebelum resmi mengajukan kebangkrutan, Tupperware sejatinya telah mencoba mengubah bisnisnya selama sekitar empat tahun setelah melaporkan penurunan penjualan selama enam kuartal berturut-turut sejak kuartal ketiga tahun 2021, karena inflasi yang tinggi terus menghalangi basis konsumen berpenghasilan rendah dan menengah.
Pada tahun 2023, perusahaan menyelesaikan perjanjian dengan pemberi pinjaman untuk merestrukturisasi kewajiban utangnya, dan menandatangani perjanjian dengan bank investasi Moelis & Co untuk membantu mencari alternatif strategis.(PR/04)