Opini  

Jimly, MK-90/Gibran dan Penundaan Putusan PTUN

C1 E-Court. Putusan PTUN
H. Muhammad Yuntri, SH., MH. (Foto:Dok.Pribadi)

Oleh Muhammad Yuntri

Penundaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dari tanggal 10 Oktober menjadi 24 Oktober 2024 mengejutkan sebagian besar netizen di medsos. Alasannya sangat sederhana, Ketua Majelis Hakim Joko Setiono sedang sakit.

Kemenkumham Bali

Mungkin berdasarkan rekam jejak Gibran selama ini, hampir semua netizen berharap putusan PTUN tersebut bisa dibacakan sebelum tanggal pelantikan capres/cawapres pada 20 Oktober 2024. Dengan berbagai argumennya, mereka berharap putusan tersebut akan menggagalkan pelantikan Gibran sebagai Wapres terpilih.

Salah satunya melalui putusan PTUN Jakarta yang akan membatalkan Putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 (Putusan MK-90/Gibran) yang bermasalah/cacat hukum karena telah mengubah batas minimal usia Cawapres menjadi 35 tahun sesuai usia Gibran yang terkesan “by design.”

Ancaman Jimly

Sementara itu kutipan berita di media online yang diviralkan di berbagai medsos muncul ancaman Prof. Jimly Asshiddiqie bahwa hakim PTUN bisa ditangkap dan dipenjara jika membatalkan putusan MK-90/Gibran tersebut.

Kemudian muncul beragam reaksi netizen, terlepas benar tidaknya Jimly berkata demikian, sehingga muncul anekdot bahwa Ketua Majelis Hakim Joko Setiono pun juga terdampak berita dan mengurungkan niatnya untuk membacakan putusan No.133/G/2024/PTUN/JKT tepat waktu.

Ancaman Jimly tersebut secara logika “common sense” ada benarnya, karena kewenangan PTUN hanya menguji objek beschikking terhadap UU, bukan membatalkan UU (putusan MK selevel dengan UU) sebagaimana kewenangan MK-RI.

Jadi tidak mungkin PTUN bisa membatalkan putusan MK-90/Gibran tersebut. Wajar kalau hakim akan terancam pidana jika melakukan putusan bersifat “ultra petita”. Tapi atas sentimen netizen terhadap pernyataan Jimly munculah reaksi emosional dan penafsiran liar dari kalangan netizen yang awam hukum seperti itu.

Rekam Jejak Jimly

Jimly sebagai seorang tokoh nasional, akademisi, mantan Ketua MK-RI dan saat itu berstatus sebagai anggota DPD RI terpilih menjadi Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) guna mengadili ketua MK Anwar Usman yang notabene adalah paman Gibran.

BACA JUGA  Benang Merah di Balik Pembakaran Polsek Ciracas dan Pos Polisi di Daerah Lain

Anwar Usman dinyatakan sengaja melanggar ketentuan pasal 17 (4) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Wajib baginya mundur diri dari persidangan karena terkait hubungan keluarga dengan Gibran selaku keponakan isterinya, tapi tidak dia lakukan.

Jimly “berprestasi” menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap Anwar Usman sebagai ketua MK-RI karena ternyata proses pengambilan Putusan MK-90/Gibran tersebut bermasalah/cacat hukum di bawah kepemimpinan Anwar Usman.

Akan tetapi di sisi lain Jimly tetap menyatakan bahwa Putusan MK-90/Gibran tersebut final and binding, sehingga menyelamatkan Gibran untuk bisa melanjutkan kontestasi sebagai Cawapresnya Prabowo di Pilpres 2024 yang sangat erat kaitannya dengan eksistensi Jokowi sebagai Presiden.

Semestinya suatu putusan badan peradilan yang bermasalah/cacat hukum, tidak bisa dieksekusi atau non-executable. Akan tetapi kenapa Jimly berkata demikian? Ada apa di balik hal itu?

Setelah ditelisik, ditengarai ada permainan non-juridis yang diduga diperankan Jimly. Robby Ferliansyah Asshiddiqie anak Jimly adalah kader partai Gerindra dan menjabat wakil sekjen partai pimpinan Prabowo.

Di sisi lain Jokowi sebagai Presiden menyatakan akan “cawe-cawe” di Pilpres, sehingga sudah bisa ditebak hasil akhir Pilpres 2024 ini akan sesuai prediksi, yaitu kemenangan bagi pasangan Prabowo-Gibran.

Jimly pun sudah “berinvestasi jasa”. Akankah dia menuai sesuatu yang dicita-citakannya? Mari kita tunggu setelah tanggal 20 Oktober 2024 nanti saat pelantikan Prabowo sebagai Presiden terpilih.

Gugatan PTUN Jakarta

PDIP pada 2 April 2024 mengajukan gugatan terhadap KPU karena diduga telah melakukan perbuatan melanggar hukum, yaitu telah menerima pendaftaran Gibran sebagai Cawapres pada 25 Oktober 2023 dengan menggunakan aturan PKPU No.19 tahun 2023 tanggal 9 Oktober 2023.

Aturan dimaksud masih mensyaratkan usia capres/cawapres minimal 40 tahun pada saat pendaftaran, sedangkan usia Gibran saat mendaftar masih 35 tahun. Semestinya KPU menolak eksistensi Gibran, tapi malah menerimanya.

BACA JUGA  Naik Turunnya Keuangan Syariah: Refleksi Ketidaksempurnaan

Inilah perbuatan melawan hukum (onrechmatige overheidsdaad) dimaksud yang berdampak kepada cacatnya “beschiking” Keputusan KPU No. 360 tahun 2024 tanggal 20 Maret sepanjang hasil pilpres yang memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, khususnya eksistensi keabsahan Gibran sebagai Cawapres yang dimintakan penundaannya melalui putusan PTUN Jakarta oleh PDIP.

Jadi bukan untuk membatalkan putusan MK-90/Gibran, sebagaimana banyaknya kekeliruan pemahaman netizen selama ini di medsos, melainkan penundaan pelaksanaan atau pembatalan Keputusan KPU No. 360 tahun 2024 tanggal 20 Maret sepanjang hasil pilpres khususnya terhadap diri Gibran yang belum berusia 40 tahun saat mendaftar (vide PKPU No.19 tahun 2023 tanggal 9 Oktober 2023).

Sedangkan Putusan MK-90/Gibran tanggal 16 Oktober 2023 yang menetapkan usia capres/cawapres menjadi minimal 35 tahun prosesnya dinyatakan bermasalah/cacat hukum oleh Ketua MKMK dan telah melepaskan jabatan Anwar Usman sebagai Ketua MK-RI.

Selain itu putusan MK-90/Gibran tersebut belum ada UU Organik/UU pelaksanaanya berupa PKPU yang baru yang berfungsi sebagai pijakan bagi KPU untuk menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Inilah masalah utama sengkarutnya.

Kemungkinan Pemakzulan Gibran

Walau pembacaan putusan PTUN Jakarta tertunda menjadi tanggal 24 Oktober 2024 setelah pelantikan Prabowo-Gibran, tapi ditengarai masih ada harapan untuk menjadikan putusan PTUN sebagai salah satu pertimbangan pemakzulan Gibran melalui forum MPR-RI sebagaimana kewenangannya.

Isu moral terkait akun Fufufafa sebagai salah satu pintu masuknya, karena seorang pemimpin tidak boleh cacat moral. Atau isu KKN yang pernah dilaporkan seorang dosen, saudara Ubeidillah Badrun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun lalu.

Laporan itu terkait dugaan tindak pidana korupsi (KKN) dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU), dimana oknum PT SM dituntut ganti rugi oleh Kementerian LH sebesar Rp. 7,9 triliun atas kebakaran hutan, tapi dikabulkan MA Rp.78 miliar saja pada 2019.

BACA JUGA  Mencari Pemimpin di Tengah Rivalitas Super Power

Itu terjadi setelah anak presiden membuat perusahaan gabungan dengan anak petinggi PT SM. Suntikan dana penyertaan modal dari perusahaan ventura dua kali kurang lebih Rp.99,3 miliar dalam waktu berdekatan.

Kemudian diikuti pembelian saham di sebuah perusahaan lebih kurang sebesar Rp.92 miliar. Kalau bukan anak presiden yang masih muda mana mungkin mudah mendapatkan penyertaan modal sebesar itu, kata Ubedilah kala itu.

Kapankah terjadinya pemakzulan berdasarkan kewenangan MPR tersebut?. Wallahualam bissawab, hanya fraksi-fraksi yang ada di sana yang bisa menjawabnya.

Prediksi misi pertemuan Prabowo-Mega

Sementara itu banyak pihak menantikan pertemuan Prabowo-Mega. PDIP diprediksi akan men-support Prabowo menuju perubahan dalam menjalankan kepemimpinannya sampai akhir masa jabatan, dan bakal ada kader PDIP bergabung dalam kabinet untuk mengimbangi pengaruh Jokowi selama ini pada diri Prabowo.

Sejumlah pertanyaanpun muncul ke permukaan, antara lain: Mungkinkah putusan PTUN Jakarta akan menjadi andil untuk pergantian wapres di tengah jalan masa jabatannya?. Adakah kemungkinan terjadinya perubahan RUU MD3, sehingga memberi peluang menggeser Gibran sebagai wapres kepada Puan Maharani.

Ini mengingatkan kita pada pasal 7 perjanjian “Batu Tulis” Bogor tahun 2009 yang tertunda dan akan diwujudkan pada tahun 2024 ini, dimana saat itu Megawati mendukung pencalonan Prabowo sebagai Calon Presiden pada Pilpres tahun 2014.

Mari kita tunggu kenyataan selanjutnya.

*Muhammad Yuntri adalah Advokat Senior