JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Ketua MPR RI periode 1999-2004 Amien Rais menyatakan siap mendukung petisi Presidium Konstitusi untuk kembali ke UUD 1945 (UUD 1945 sebelum diamandemen) untuk memastikan agar celah penyimpangan bernegara tidak terulang kembali.
Pernyataan politik tersebut disampaikan Amien Rais yang juga dikenal sebagai Tokoh Reformasi dalam dialog khusus dengan pengamat politik-ekonomi Ichsanuddin Noorsy di Jakarta belum lama ini.
“Saya mendukung dan akan bergabung dengan Presidium Konstitusi, apalagi Presidium itu ketuanya adalah Jenderal TNI Purnawirawan Try Sutrisno yang tidak diragukan lagi komitmennya kepada negara,” kata Amien Rais sebagaimana dikutip Ichsanuddin Noorsy, Selasa (22/4/2025).
Menurut Ichsanuddin, Amien Rais yang berlatarbelakang menyetujui amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali itu juga meminta maaf atas kenaifannya menyetujui Presiden RI dipilih secara langsung.
“Sikap ini menunjukkan bahwa Amien Rais adalah seorang intelektual yang jujur dan berani mengoreksi pikiran-pikirannya. Ini adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban seorang intelektual yang berpolitik dengan kekuatan moral yang luar biasa,” katanya.
Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI) itu juga menyatakan, dukungan dan persetujuan Amien Rais mengenai pentingnya upaya untuk kembali ke UUD 1945 mengundang segenap lapisan masyarakat untuk bersama-sama berpikir secara strategis, fundamental, dan struktural untuk kembali menegakkan UUD 1945.
Sebelumnya, dengan mempertimbangkan secara bijaksana dan menarik hikmah dari lima kali Pemilu sejak 2004 hingga 2024, Presidium Konstitusi yang diketuai Jenderal TNI Purnawirawan Try Sutrisno dalam keprihatinan dan kesadaran mendalam mengajak segenap elemen bangsa menyampaikan petisi.
Berikut petisinya:
Pertama, mendesak dan menuntut MPR-RI untuk segera menggelar Sidang MPR-RI dengan agenda tunggal, yakni mengembalikan sistem bernegara kepada UUD 1945 sesuai rumusan pendiri bangsa yang meliputi Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. (Naskah Akademik sudah tersedia).
Kedua, mengembalikan Pancasila sebagai filosofi bangsa dan Norma Hukum Tertinggi, sekaligus sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam perencanaan, pembuatan dan pelaksanaan Perundang-Undangan.
Ketiga, melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebelum perubahan (1999-2002) dengan teknik adendum guna menyempurnakan dan mengukuhkan kedaulatan bangsa dan kemakmuran rakyat.
Amandemen itu dilakukan dengan mengacu kepada semangat kejuangan, nilai-nilai, cita-cita pendiri republik serta semangat dan tuntutan reformasi 1998, antara lain pembatasan masa jabatan presiden dan penghapusan KKN. Usulan amandemen itu sesuai dengan Peta Jalan Kembali ke UUD 1945.
Keempat, melakukan pengisian Utusan Daerah dan Utusan Golongan sebagai bagian dari MPR-RI yang merupakan Lembaga Tertinggi Negara. Utusan-utusan tersebut berasal dari elemen-elemen bangsa sehingga merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat yang utuh serta membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Kelima, menyempurnakan dan mengukuhkan Naskah Asli UUD 1945 mutlak harus dilakukan guna menyerap tuntutan reformasi dan mengakomodasi lingkungan strategis yang terus berubah, sekaligus memastikan celah penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama, era Orde Baru, dan era Reformasi tidak terulang kembali.
Petisi Presidium Konstitusi tertanggal 5 Februari 2025 itu dibuat agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkeTuhanan, merdeka, berdaulat serta bermartabat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pada bagian lain, Ichsanuddin Noorsy mengemukakan bahwa Komisi Konstitusi yang dibentuk dengan Ketetapan MPR dan bertugas melakukan kajian atas amandemen pada 1999-2002 mengakui tidak adanya Kerangka Acuan dan Naskah Akademik dalam melakukan perubahan UUD 1945.
“Temuan ini menunjukkan bahwa hasil empat kali amandemen UUD 1945 bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945,” katanya.
Dalam kaitan itu pula Sidang Paripurna DPD-RI 2019-2024 tanggal 14 Juli 2022 menyatakan, perubahan Konstitusi pada 1999-2002 telah meninggalkan Pancasila sebagai filosofi bangsa dan norma hukum tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara itu pada 23 Juni 2023 para Raja dan Sultan se-Nusantara menyampaikan tiga tuntutan Raja dan Sultan Nusantara kepada DPD-RI 2019-2024.
Isinya antara lain mendorong lahirnya konsensus nasional agar Indonesia kembali menjalankan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa dengan mengembalikan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara.(01)