Iran dan Indonesia: Embargo Mendidik, Utang Memanjakan

Iran
Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA (Foto:SP)

“Dari segi infrastruktur, Iran menunjukkan kemampuan luar biasa dalam membangun sistem MRT modern di Teheran sepanjang lebih dari 200 kilometer dengan tujuh jalur. Biaya perjalanan sangat murah, bahkan gratis bagi lansia”

Oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA

Perbandingan antara Iran dan Indonesia ibarat menimbang dua kutub yang ditempa oleh sejarah dan tekanan global yang sangat berbeda. Iran, negara yang sejak revolusi 1979 hidup dalam bayang-bayang embargo dan sanksi internasional, terpaksa membangun dirinya tanpa bantuan global.

Sementara Indonesia, dengan posisi strategis di Asia Tenggara dan diterima dunia internasional, tumbuh dalam suasana damai tapi cenderung bergantung pada kekuatan luar. Maka hasilnya pun kontras: satu menjadi mandiri karena dipaksa, satu nyaman karena diberi ruang.

Secara demografi, Iran memiliki sekitar 92 juta jiwa dengan usia rata-rata 32 tahun, sedikit lebih muda dari Indonesia yang memiliki lebih dari 273 juta penduduk. Namun, keunggulan Iran ada pada struktur pendidikannya: hampir seluruh penduduknya melek huruf dan lulusan pendidikan tinggi sangat dominan.

Bahkan Iran mengalami kelebihan pasokan sarjana dan doktor, hingga menjadi negara dengan tingkat brain drain tertinggi di dunia. Sebaliknya, Indonesia hanya memiliki sekitar 10% penduduk bergelar sarjana, dan sebagian besar tenaga kerja adalah lulusan sekolah menengah atau di bawahnya. Migrasi tenaga kerja Indonesia didominasi oleh buruh rendah keterampilan.

Dari sisi ekonomi makro, PDB nominal Iran sekitar US$464 miliar (2025), sementara Indonesia jauh lebih besar dengan PDB mendekati US$1.500 miliar. Namun per kapita, Iran memiliki PDB sekitar US$5.300 (nominal) dan US$20.000 dalam PPP, dibandingkan Indonesia yang per kapitanya masih berkisar di US$5.270. Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil di angka 5%, sedangkan Iran fluktuatif antara 1-3% tergantung tekanan sanksi global.

BACA JUGA  Shin Tae-yong: Indonesia Harus Juara!

Inflasi menjadi momok bagi Iran dengan angka yang melampaui 30% setiap tahun. Namun, sistem pengupahan mereka menyesuaikan kondisi tersebut: upah minimum ditingkatkan hampir setiap tahun dengan kenaikan sekitar 30%, menjaga daya beli rakyat tetap terjaga.

Di Indonesia, inflasi lebih stabil di bawah 3%, namun upah minimum dan rata-rata pekerja justru stagnan, sehingga daya beli menurun seiring waktu. Kemiskinan di Iran diklaim sekitar 33%, tetapi Indonesia pun tidak jauh lebih baik sekitar 9% menurut standar BPS, namun lebih dari 60% rakyat hidup dekat garis kemiskinan jika diukur dengan standar kesejahteraan minimum.

Dari sisi ketergantungan fiskal, utang Iran terhadap PDB hanya sekitar 34-40%, dengan defisit anggaran tetap di bawah 5% meski di tengah tekanan global. Bandingkan dengan Indonesia, yang utang terhadap PDB-nya mendekati 40%, dan defisit anggaran dipertahankan sekitar 2-3% untuk menjaga reputasi fiskal.

Namun perbedaannya terletak pada sumber dan orientasi penggunaan: Iran tidak bisa berutang dari luar, sehingga semua pembiayaan berasal dari dalam negeri, sementara Indonesia sangat bergantung pada pinjaman asing, baik bilateral maupun pasar internasional.

Dari segi infrastruktur, Iran menunjukkan kemampuan luar biasa dalam membangun sistem MRT modern di Teheran sepanjang lebih dari 200 kilometer dengan tujuh jalur. Biaya perjalanan sangat murah, bahkan gratis bagi lansia. Semua dibangun dengan teknologi dan dana lokal, tanpa impor besar-besaran.

BACA JUGA  Jangan Pernah Lelah Berjuang Melawan Covid-19

Bandingkan dengan MRT Jakarta yang bergantung pada teknologi dan pinjaman Jepang, dan dengan ongkos yang masih relatif mahal karena beban investasi tinggi. Iran juga menunjukkan efisiensi dalam proyek infrastruktur karena tidak dibebani rente politik atau korupsi masif.

Indeks persepsi korupsi Iran memang rendah, bahkan lebih buruk dari Indonesia. Namun ini perlu dibaca dengan kacamata lokal. Di Iran, sistem izin bisnis sangat ketat, karena negara sangat waspada terhadap munculnya oligarki. Proses bisnis panjang dan pengawasan berlapis dimaksudkan untuk mencegah kekuasaan ekonomi menunggangi kekuasaan politik dan agama.

Kasus-kasus besar seperti pengusaha Babak Zanjani yang dipenjara karena korupsi justru menunjukkan bahwa hukum masih bekerja. Di Indonesia, sebaliknya, korupsi sudah menjadi bagian dari sistem, dan oligarki telah menyatu dengan politik.

Di bidang teknologi dan digitalisasi, Iran membangun DNS sendiri. Media sosial global seperti YouTube, Google, Facebook diblokir. Ini bukan karena keterbelakangan, tetapi karena pilihan kedaulatan. Akibatnya, ekosistem digital domestik tetap hidup, pasar tradisional tidak tergilas, dan ekonomi ritel rakyat tetap kuat.

Di Indonesia, kebebasan digital justru menjadi boomerang. E-commerce dan platform asing menguasai pasar, sementara UMKM lokal terpinggirkan, dan data digital rakyat dikuasai oleh korporasi multinasional.

Pendidikan di Iran ditekankan sebagai bagian dari ibadah. Sekolah dasar hingga menengah gratis, universitas negeri sangat murah (sekitar Rp2 juta/semester). Ini membuat tidak ada anak yang putus sekolah karena biaya. Indonesia memang punya sekolah gratis, namun kualitas dan akses masih jauh dari merata. Pendidikan tinggi menjadi beban finansial besar bagi banyak keluarga.

BACA JUGA  In Memoriam, Wartawan Senior dan Pencinta Buku, Ismet Rauf

Yang menarik, Iran dianggap represif terhadap perempuan karena aturan berpakaian. Namun faktanya, perempuan Iran bebas mengenyam pendidikan tinggi, bekerja, dan memimpin di berbagai sektor, kecuali menjadi presiden. Mereka terlihat percaya diri dan berdaya. Di Indonesia, meski perempuan bebas secara sosial, patriarki masih dominan. Representasi politik dan ekonomi perempuan sering kali simbolik belaka.

Akhirnya, Iran dan Indonesia menghadap dunia dari sisi berbeda. Iran tertempa tekanan, dan karena itu menjadi mandiri. Indonesia diberi kelonggaran, dan karena itu menjadi nyaman tapi rapuh. Ketika dunia berubah, siapa yang akan bertahan? Mungkin bukan yang punya ekonomi besar, tapi yang punya kemandirian dalam membuat roti sendiri bukan sekadar menunggu tepung dari tetangga. Dan itulah pelajaran mahal dari negeri bernama Iran.

*Penulis Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).