Kemal H Simanjuntak: Jika Dunia Tak Lagi Percaya Dolar

Dolar
Kemal H. Simanjuntak adalah konsultan manajemen, GRC expert dan pengamat keuangan

“Dolar memang sedang diuji. Indeks DXY sempat menyentuh angka yang membuat analis gelisah dan para trader sibuk ambil posisi. Beberapa bank sentral mulai mengurangi cadangan USD, dan mulai membiarkan mata uang lokal mereka menguat secara bertahap”

Oleh: Dr.Kemal H. Simanjuntak,MBA

Pernahkah Anda menatap layar grafik keuangan, sambil bertanya dalam hati: “Kenapa garisnya naik turun seperti detak jantung orang jatuh cinta tapi pada mata uang?” Jika belum, bersyukurlah. Artinya Anda masih waras. Tapi bagi sebagian orang, terutama mereka yang bekerja di hedge fund, grafik itulah kitab suci. Dan detak jantung itu, sayangnya, bukan soal cinta. Itu soal ketakutan.

Dalam dunia keuangan global, ketakutan adalah komoditas yang paling likuid. Lebih cepat menyebar dari kabar selebritas cerai, lebih kuat dari teori konspirasi WhatsApp, dan lebih tajam dari inflasi harga cabai.
Dan di tengah dunia yang semakin tidak pasti perang yang belum selesai, tarif impor yang makin agresif, BRICS yang kian percaya diri, dan dolar AS yang mulai goyah para pemain hedge fund justru tersenyum.

Kenapa? Karena dalam kekacauan, mereka menemukan peluang. Sementara dunia sibuk berdebat soal moral dan keadilan, mereka sibuk menghitung spread, yield, dan carry trade.

Mari kita mulai dari isu yang bikin banyak ekonom dan politikus gatal untuk ikut komentar: dedolarisasi. Ini istilah keren untuk niat negara-negara agar tidak lagi bergantung pada dolar AS. Kurang lebih seperti anak kos yang ingin lepas dari kiriman orang tua. Tapi seperti kita tahu, lepas dari kiriman bukan perkara niat, tapi soal dompet. Dan saat dompet menipis, siapa yang dicari? Ya, si pengirim lama dalam hal ini, dolar.

BACA JUGA  Rupiah Diperkirakan Mencapai 15.650 - 15.750 per Dolar AS

Lalu muncul pertanyaan: “Bukankah BRICS sedang membangun sistem pembayaran alternatif? Bukankah mereka sedang akumulasi emas?” Benar. Tapi mari jujur saja. BRICS bukanlah keluarga harmonis. Mereka lebih mirip geng nongkrong dengan motivasi beda-beda China ingin jadi bos baru, Rusia ingin menampar Barat, India masih galau antara Washington dan Moskow, Brasil sibuk urus hutan, dan Afrika Selatan… yah, ikut biar nggak ketinggalan.

Seperti banyak kerja sama geopolitik lainnya, mereka kuat dalam pernyataan, tapi rapuh dalam kesatuan visi. Ketika krisis datang, negara akan menyelamatkan dirinya sendiri. Maka dedolarisasi, sejauh ini, lebih sering muncul dalam wacana ketimbang transaksi riil.

Namun dolar memang sedang diuji. Indeks DXY sempat menyentuh angka yang membuat analis gelisah dan para trader sibuk ambil posisi. Beberapa bank sentral mulai mengurangi cadangan USD, dan mulai membiarkan mata uang lokal mereka menguat secara bertahap. Bahkan ada yang berbisik bahwa ini adalah bentuk intervensi halus, semacam “Plaza Accord versi Asia”, untuk melemahkan USD tanpa membuatnya rubuh.

Artinya, dunia ingin mengurangi dominasi dolar tapi tidak ingin krisis karena kejatuhan dolar. Seperti ingin turun berat badan tapi tetap makan donat. Ada niat, tapi juga ketergantungan dan di sinilah hedge fund beraksi. Mereka bukan dalang dari pergeseran ini. Mereka hanya pembaca tren yang cepat, pemantau peristiwa dengan naluri tajam, dan pelaksana strategi dengan presisi kuantitatif.

Mereka tahu bahwa sentimen bisa lebih penting dari kenyataan. Bahkan kebohongan, kalau dipercaya banyak orang, bisa menggerakkan triliunan dolar. Mereka tidak terikat sumpah moral atau ikatan ideologi. Mereka hanya patuh pada satu hal peluang.

BACA JUGA  Bersama Satu Kata dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Tentu, ini terdengar dingin. Tapi jangan buru-buru menghakimi. Banyak dari para pelaku hedge fund pernah gagal, ditolak, atau ditinggal dunia yang tidak adil. Mereka belajar bahwa berharap keadilan dari sistem yang sudah timpang hanyalah mengundang kekecewaan. Maka mereka tak lagi meminta sistem berubah. Mereka memilih memahaminya, dan bermain cerdas di dalamnya.

Apakah itu kejam? Tergantung sudut pandang. Mereka tak menciptakan perang, tapi mereka tahu dampaknya terhadap harga minyak dan emas. Mereka tak bikin inflasi, tapi mereka tahu inflasi memperkaya portofolio komoditas.

Mereka tidak membunuh kepercayaan pada USD, tapi mereka tahu kapan dunia mulai panik dan mulai lari ke safe haven lain. Mereka bukan pahlawan. Tapi juga bukan penjahat. Mereka adalah navigator. Bekerja dalam sunyi, bersandar pada data, dan bertarung di pasar yang tak pernah tidur.

Yang sering kita lupakan adalah ini: dunia tidak bergerak karena moral, tapi karena insentif. Dan pasar tidak peduli siapa yang benar pasar hanya peduli siapa yang cepat. Dalam dunia yang penuh noise dan ketidakpastian, hedge fund justru bisa jadi satu-satunya entitas yang punya refleks dan kecepatan menghadapi perubahan.

Negara lamban, bank sentral hati-hati, rakyat bingung. Tapi hedge fund? Mereka sudah tiga langkah lebih maju. Mungkin bukan karena lebih pintar, tapi karena lebih sadar bahwa dunia ini tak punya naskah pasti.

Itu sebabnya mereka tak sibuk berdebat di televisi atau seminar. Mereka membaca data, buka posisi, dan kalau salah ya cut loss. Tidak pakai alasan panjang. Tidak minta dimaklumi. Tidak cari simpati.

BACA JUGA  Deflasi Mei 2025: Ketika Dagang Lesu dan Dompet Ikut Puasa

Maka ketika Anda bertanya: apakah USD akan jatuh? Jawabannya: bisa iya, bisa tidak. Jika dunia multipolar berhasil menjaga sistem pembayaran sendiri, mungkin dolar perlahan kehilangan tahtanya. Tapi jika tidak jika sistem baru rapuh, mata uang pengganti belum siap, dan geopolitik makin liar maka seperti biasa, modal global akan kembali ke tempat paling likuid dan paling aman: Wall Street.

Karena sesungguhnya, semua mata uang itu seperti jodoh. Kadang kita ingin yang baru, yang beda. Tapi pada akhirnya, kita tetap kembali ke yang paling stabil. Dan hingga hari ini, itu masih USD.

Pelajaran bagi kita? Jangan hanya jadi komentator yang galau melihat perubahan global. Jadilah pengamat yang tahu kapan dunia sedang goyah, dan kapan kita bisa berdiri di tempat yang lebih kuat. Karena kalau kita hanya menunggu sistem menjadi adil, kita akan lelah. Tapi kalau kita mau memahami sistemnya, kita bisa bertahan.

Bahkan, mungkin mengubahnya suatu hari nanti dan satu hal yang pasti: dalam dunia keuangan global yang tak kenal belas kasihan, satu-satunya yang tak boleh kita lepaskan adalah keberanian untuk belajar, dan ketenangan untuk tidak panik ketika semua orang panik.

*Penulis Kemal H. Simanjuntak adalah konsultan manajemen, GRC expert dan pengamat keuangan