Opini  

Prabowo, Indonesia dan Neoliberalisme

Usaha Rekonsolidasi Arah Bangsa: Kembali ke UUD 1945 Asli. neoliberalisme prabowo
Prof. Yudhie Haryono, Ph.D. (Foto: Dok. pribadi).

Oleh Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan)

Dengan penuh keyakinan, Presiden Prabowo mengatakan dirinya tidak setuju dengan ekonomi neoliberalisme. Pasalnya, orang-orang kaya dalam mazhab neoliberalis tidak meneteskan kekayaannya ke rakyat kelas bawah (23/07/2025).

Tanpa menetes ke bawah, maka tingkat ketimpangan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025, yang diukur dengan Gini Ratio, adalah sebesar 0,375. Tentu ini melawan mandat konstitusi yang menyebut: negara menyejahterakan seluruh warga negara.

Prabowo anti-neoliberal ini merupakan tesis yang terus diulang, dikampanyekan, disampaikan, dituliskan, dan didengungkan. Sayangnya, tanpa realisasi di “agensi.” Mengapa? Praktis semua ekonom yang dipilih untuk membantunya di kabinet bermazhab neoliberal. Tentu dengan Sri Mulyani sebagai nakhoda utama.

Selama menjadi Menkeu, kebijakan utamanya hanya “6 i”, yaitu: investasi (asing), intervensi, infiltrasi, inefisiensi, instabilisasi, dan invasi. Tentu program ini menghasilkan “6 d” yang signifikan, yaitu: deindonesianisasi, denasionalisasi, derasionalisasi, demoralisasi, deinovasi teknologi, dan deindustrialisasi.

Kemudian, apa bukti terbaiknya? Indonesia panen koruptor dan tertradisinya KKN di semua lini, kita eksportir bahan mentah serta importir bahan jadi.

BACA JUGA  Suparji Ahmad : Ahli Tidak Bisa Dituntut Pidana dan Perdata

Para neolibertarian memang hobi membuat keputusan dahsyat untuk memastikan akses yang tidak merata terhadap pendidikan, kesehatan, permodalan, lapangan pekerjaan, serta hukum dan hak asasi manusia (HAM). Saat bersamaan, banyak kebijakannya tidak berpihak pada warga negara miskin, bodoh, dan cacat.

Akibatnya, setelah lebih dari 50 tahun kita dicengkeram oleh agensi dan kelembagaan serta pikiran neoliberalisme, warga negara kita terpola menjadi tiga:
(1) kelas atas: berperilaku KKN;
(2) kelas menengah: berperilaku nyinyir;
(3) kelas bawah: berperilaku mengeluh.

Hal itu dikuatkan oleh hadirnya potret warga negara yang “3 d” yaitu: distrust, disorder, dan disobedient. Distrust society adalah kondisi warga negara tidak saling percaya terhadap sesama dan institusi pemerintah. Ini terjadi karena adanya budaya korupsi, ketidakadilan hukum, kurangnya transparansi, dan tradisi pengkhianatan elite pemimpin.

Sementara disorder society adalah kondisi kekacauan dalam sistem berwarga negara: baik sistem biologis, psikologis, ataupun ipoleksosbudhankam. Ini adalah gangguan mental yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku warga negara. Mereka cemas, depresi, stres, bahkan bipolar akibat negara yang superburuk kondisinya.

BACA JUGA  Catatan Pariwisata 4 Tahun Kepemimpinan Zul-Rohmi: Janji, Implementasi dan Rekomendasi

Sedangkan disobedient society adalah kondisi tindakan yang tidak mematuhi aturan, perintah, atau norma yang berlaku. Warga negara menolak mengikuti instruksi dan aturan yang ada, bahkan melawan. Inilah fondasi chaos dan revolusi.

Jelasnya, kita menerima kutuk takdir berupa defisit negarawan yang memberi keteladanan; minus ilmuwan yang memberi solusi; raib bangsawan yang zakat kebajikan. Ini benar-benar potret buram bangsa menuju gelapnya peradaban.

Bagaimana mengatasinya? Segerakan pendidikan keindonesiaan yang isinya ipoleksosbudhankam Pancasila. Tetapi ingat, menyusun barisan itu dari perasaan, pikiran, ucapan, tulisan, dan tindakan adalah getar keabadian. Getir yang menggelisahkan.

Walaupun juga jihad yang menyenangkan karena “jalan bersama” kaum fakir miskin di republik yang makin mangkir dari laksa konstitusi. Singkatnya, ini perang kejeniusan yang tak banyak orang mau terlibat. Jika menang, baru mereka akan mengklaim dan ikut, bahkan menelikung. Jika kalah, mereka tertawa dan bertepuk tangan.

Dus, akan ada banyak kisah, dongeng, curhat, gugatan, dan keseriusan yang layak dikenang serta diabadikan. Karenanya, siapkan ruang dalam kebersamaan revolusi ini, dan biarkan angin beliung menari di antara kita. Sebab, revolusi tidak memberikan apa pun kecuali dirinya sendiri, dan tidak mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri.

BACA JUGA  Menhan Berikan 1.270 Sepeda Motor Untuk Babinsa di Indonesia

*Penulis adalah Yudhie Haryono, Presidium Forum Negarawan.


Disclaimer:
Opini ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap atau kebijakan redaksi. Segala data dan pernyataan dalam tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi membuka ruang diskusi dan perbedaan pendapat yang disampaikan secara santun dan konstruktif.