Buzzer: Industri Baru yang Menggempur Demokrasi

Buzzer
Kemal H Simanjuntak Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK) (Foto: Net)

“Jejak buzzer makin jelas sejak Pilkada DKI Jakarta 2012, lalu melonjak di Pemilu 2014 dan 2019. Buzzer dipakai untuk tiga hal memviralkan narasi, mengangkat citra tokoh, sekaligus membungkam lawan. Mereka seperti pengeras suara digital keras, berulang, dan sulit diabaikan”

Oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA

Di era media sosial, semua orang bisa bicara. Tapi tidak semua suara lahir dari hati yang tulus. Sebagian suara justru lahir dari kontrak kerja. Ya, inilah dunia buzzer di Indonesia akun-akun yang bukan sekadar nimbrung, tapi dibayar untuk memproduksi opini.

Antropolog politik komparatif University of Amsterdam, Ward Berenschot, sudah sejak 2021 menyebut fenomena ini sebagai industri politik. Dan jika ditilik lebih jauh, penyebutan ‘Industri’ bukanlah hiperbola.
Mengutip CNN Indonesia, Anthropolog Belanda Ward Berenschot menegaskan.

“Fenomena pendengung atau buzzer di dunia maya telah menjadi suatu industri di Indonesia. Kami sudah sekitar lima tahun melakukan riset tentang fenomena kejahatan siber di Indonesia,” ujarnya saat workshop di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro, Semarang, Jumat (22/8/2025).

Keterangan ini memperkuat fakta bahwa buzzer tidak lagi sekadar fenomena iseng, melainkan bisnis yang rapi, sistematis, dan menggurita.

Dari Keyboard ke Kontrak

Buzzer bukan lagi sekadar orang iseng yang aktif di Twitter atau Instagram. Mereka kini bekerja dalam struktur yang rapi, layaknya perusahaan. Investigasi Kompas (2025) membongkar bahwa buzzer beroperasi di Jakarta, Yogyakarta, Tangerang, hingga Bekasi. Tarif mereka bervariasi dari puluhan juta rupiah hingga miliaran per-proyek.

BACA JUGA  Pendataan Memang Bukan Pendaftaran

Cara kerjanya pun canggih, memakai phone farming (mengelola banyak akun dari puluhan ponsel), hingga sistem pembayaran berlapis yang sulit dilacak. Ada cerita unik sebagian bahkan dibayar dengan emas batangan. Kalau dulu orang bangga dapat honor menulis artikel, kini ada yang lebih “basah”: jadi operator narasi digital.

Mesin Politik dan Polarisasi

Jejak buzzer makin jelas sejak Pilkada DKI Jakarta 2012, lalu melonjak di Pemilu 2014 dan 2019. Buzzer dipakai untuk tiga hal memviralkan narasi, mengangkat citra tokoh, sekaligus membungkam lawan. Mereka seperti pengeras suara digital keras, berulang, dan sulit diabaikan.

Sayangnya, dampak paling serius adalah polarisasi masyarakat. Penelitian CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) menegaskan bahwa buzzer membuat ruang digital dipenuhi “kebisingan terstruktur”. Suara asli warga bercampur dengan suara buatan. Diskusi publik pun lebih mirip konser musik elektronik ramai, bising, tapi sulit tahu mana suara tulus dan mana sekadar suara kaleng dari pabrik propaganda.

Antara Kreatif dan Manipulatif

Kalau ditanya, apakah buzzer itu salah? Jawabannya tidak hitam putih. Dari satu sisi, mereka bisa dianggap bagian dari industri kreatif digital. Sama seperti influencer yang dibayar untuk iklan produk, buzzer dibayar untuk “iklan politik.” Bedanya, buzzer sering bersembunyi di balik akun anonim, lalu menyerang, menuduh, atau memelintir fakta.

BACA JUGA  Strategi Militer Jenderal Andika, Tonggak Terbaik Untuk Indonesia

Ibarat pasar malam, buzzer menjajakan dagangan opini dengan lampu kelap-kelip. Bedanya, pembeli sering tidak sadar bahwa barang yang mereka beli hanyalah topeng tipuan. Jika iklan sabun berlebihan, paling-paling kulit kita tetap kering. Tapi kalau buzzer berlebihan, demokrasi bisa ikut kering kering dari kejujuran dan diskusi sehat.

Dampak bagi Demokrasi

Ward Berenschot menekankan bahwa hanya pihak yang berduit dan berkuasa yang mampu menyewa pasukan buzzer. Artinya, akses terhadap “panggung opini” tidak merata. Publik yang seharusnya bisa bebas bersuara, justru tenggelam dalam gemuruh narasi berbayar.

Inilah paradoks demokrasi digital: semua orang teorinya bisa bicara, tapi praktiknya, suara yang paling keras biasanya datang dari mereka yang punya modal besar untuk menggerakkan orkestra buzzer.

Akibatnya? Diskusi publik kehilangan esensi. Alih-alih adu gagasan, yang muncul adalah adu tagar. Alih-alih mencari solusi, yang laku justru saling serang. Publik pun makin bingung apakah ini suara masyarakat, atau hanya gema dari pabrik suara kaleng?

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pertama, kritis membaca. Jangan mudah percaya trending topic atau komentar ramai. Ingat, jumlah akun tidak selalu sama dengan jumlah manusia nyata.
Kedua, cek sumber informasi. Buzzer sering menyebar potongan narasi tanpa konteks. Membaca utuh lebih menyehatkan ketimbang terpancing judul provokatif.

BACA JUGA  Demokrat Curhat Diserang Secara Sistematis di Medsos, Dikaitkan Usung Anies Capres

Ketiga, bangun literasi digital. Jangan biarkan ruang maya hanya jadi ladang bisnis kelompok tertentu. Publik perlu sadar bahwa tidak semua yang viral itu organik.

Penutup: Suara atau Gema?

Fenomena buzzer adalah bukti bahwa media sosial bukan sekadar ruang ngobrol, melainkan arena politik bernilai triliunan rupiah. Industri ini terorganisir, terstruktur, dan licin dalam bayang-bayang.

Namun, pilihan tetap di tangan kita sebagai warga digital. Apakah kita hanya menjadi penonton konser bising, atau kita memilih tetap kritis agar suara asli masyarakat tidak lenyap?

Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya soal siapa yang paling keras bicara, tapi siapa yang paling jujur menyuarakan kebenaran. Dan di era buzzer, kejujuran itulah yang kini terdengar paling sunyi dan sekaligus paling mahal.

Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)