“Proses pengajuan penundaan pembebanan kerugian atas pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi merupakan langkah yang memerlukan ketelitian dan kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan.”
Oleh Rizky Keroshinta
Dalam dunia usaha, melindungi aset perusahaan dari terjadinya force majeur menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan guna meminimalisasi risiko kerusakan atau kehilangan aset. Pasalnya, kerusakan yang ditimbulkan dari terjadinya suatu peristiwa dapat memiliki dampak finansial yang signifikan dan dapat memengaruhi operasional perusahaan. Peristiwa yang termasuk force majeur antara lain kebakaran, bencana alam, atau kecelakaan yang dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Untuk memitigasi risiko yang mungkin terjadi, banyak perusahaan menggunakan jasa asuransi atas aset yang dimiliki. Ketika risiko terjadi, perusahaan dapat mengajukan klaim ke perusahaan asuransi untuk mendapatkan penggantian.
Dalam sistem perpajakan Indonesia, biaya yang ditimbulkan akibat terjadinya force majeur dapat diakui secara fiskal. Secara konseptual, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang dapat dibiayakan secara fiskal merupakan biaya-biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Di antara biaya yang dapat dikurangkan terdapat di dalamnya pengakuan perusahaan atas kerugian karena penjualan atau pengalihan harta akibat kerugian setelah mengalami force majeur.
Selain kerugian yang dapat diakui sebagai biaya secara fiskal oleh perusahaan, apabila aset tersebut merupakan aset yang diasuransikan, maka penghasilan yang diperoleh karena adanya klaim asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan merupakan penghasilan yang harus dilaporkan secara fiskal. Ketentuan mengenai pembebanan kerugian yang mendapatkan penggantian asuransi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2023 (PMK 72/2023) tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Tak Berwujud, khususnya pada Pasal 8.
Ketentuan ini mengatur bahwa nilai sisa buku fiskal dari harta yang dialihkan atau ditarik sebagai akibat dari suatu peristiwa yang mendasari klaim asuransi dapat dibebankan sebagai kerugian, serta penggantian klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan dapat diakui sebagai penghasilan pada tahun terjadinya peristiwa. Ketentuan ini menegaskan bahwa apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta yang memperoleh penggantian asuransi, maka nilai sisa buku fiskal dibebankan sebagai kerugian dan penggantian asuransi diakui sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan atau pengalihan.
Sehingga, apabila perusahaan Makmur Abadi dicontohkan mengalami kebakaran yang menyebabkan rusaknya aset pada bulan Januari 2025 dan mendapatkan penggantian asuransi pada bulan September 2025, maka pengakuan biaya kerugian dan penghasilan dari penggantian asuransi dilakukan pada tahun 2025. Namun, tidak sedikit perusahaan yang mengalami beda tahun antara terjadinya force majeur dengan diterimanya penggantian asuransi. Apabila penggantian asuransi diterima pada tahun yang berbeda dengan tahun terjadinya peristiwa, maka pembebanan kerugian dibukukan pada tahun pajak diterimanya klaim asuransi dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Untuk mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak diharuskan mengajukan permohonan Penundaan Pembebanan Kerugian atas Pengalihan atau Penarikan Harta yang Mendapatkan Penggantian Asuransi untuk Dibukukan sebagai Beban Masa Kemudian kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama satu bulan setelah akhir tahun pajak diterimanya penggantian asuransi. Permohonan persetujuan dapat diajukan oleh wajib pajak melalui beberapa cara.
Pertama, wajib pajak dapat menyampaikan permohonan secara manual ke loket Tempat Pelayanan Terpadu Kantor Pelayanan Pajak dengan mengisi formulir yang telah ditandatangani dan dibubuhi stempel, dilampiri dengan dokumen yang dipersyaratkan.
Kedua, wajib pajak dapat menyampaikan permohonan menggunakan pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Ketiga, wajib pajak juga dapat mengajukan permohonan secara daring melalui sistem Coretax. Sistem yang secara resmi diluncurkan per 1 Januari 2025 ini memiliki fitur lengkap bagi wajib pajak untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, salah satunya mengajukan permohonan perpajakan secara daring.
Kemudahan bagi wajib pajak yang menggunakan Coretax adalah hasil surat keputusan yang ditetapkan oleh DJP akan dikirimkan langsung melalui akun Coretax wajib pajak, sehingga tidak diperlukan kehadiran wajib pajak ke kantor pajak.
Sebelum pengajuan, wajib pajak perlu memastikan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk dua tahun pajak terakhir yang telah menjadi kewenangannya telah disampaikan ke Direktorat Jenderal Pajak. Setelah memastikan pemenuhan kewajiban perpajakan SPT Tahunan, wajib pajak dapat mengisi formulir permohonan sesuai lampiran PMK 72/2023 yang dilampiri polis asuransi sebagai bukti bahwa aset perusahaan yang mengalami kerusakan dan diakui sebagai biaya kerugian memang benar telah diasuransikan, berita acara peristiwa yang mendasari klaim asuransi, serta surat keterangan penggantian asuransi atau bukti pembayaran dari perusahaan asuransi.
Permohonan yang diajukan wajib pajak akan ditindaklanjuti oleh petugas pajak dengan terlebih dahulu meneliti pemenuhan kewajiban perpajakan dan memastikan bahwa pengisian formulir permohonan telah sesuai dengan dokumen yang dilampirkan. Proses tindak lanjut permohonan hingga terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai persetujuan atau penolakan penundaan pembebanan kerugian atas pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi untuk dibukukan sebagai beban masa kemudian dapat diperoleh wajib pajak paling lama satu bulan sejak permohonan diterima lengkap.
Proses pengajuan penundaan pembebanan kerugian atas pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi merupakan langkah yang memerlukan ketelitian dan kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan. Dengan memastikan pemenuhan kewajiban SPT Tahunan, melengkapi dokumen pendukung sesuai PMK 72/2023, serta mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, wajib pajak dapat mempermudah proses persetujuan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kepatuhan dan kelengkapan dokumen tidak hanya mempercepat tindak lanjut permohonan, tetapi juga mencerminkan komitmen wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakan secara transparan dan akuntabel.
*Penulis adalah Pegawai KPP Pratama Soreang Kabupaten Bandung
*Disclaimer: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.









