Hemmen
Hukum  

Menyoal Pasal 30 UU Kejaksaan yang Mengusik Advokat Senior

Alexius Tantrajaya, S.H., M.Hum (Foto:dok SP)

‘Membuka kesempatan kepada Jaksa untuk mengajukan PK, apalagi dalihnya kepentingan hukum negara dan mewakili korban, sikap para pembentuk undang-undang terkesan tidak percaya terhadap putusan Hakim.Kacau ini..!.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Praktisi hukum Alexius Tantrajaya, menyoroti UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) yang perubahannya baru saja disahkan oleh DPR-RI, pada Selasa, 7 Desember 2021 lalu.

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Ada satu poin yang mengusik dan membuat Advokat senior ini tak habis pikir, yaitu perihal kewenangan Jaksa berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Hal itu terdapat dalam Pasal 30 UU Kejaksaan.

Menurutnya, pasal tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.33/PUU- XJV/2016.

“Seharusnya ketika merevisi pasal-pasal UU Kejaksaan, para pembentuk undang-undang seperti pemerintah dan DPR, terlebih dahulu memahami peraturan yang sudah ada. Jangan membentuk peraturan baru yang justru malah bertentangan dengan perundangan yang sudah ada,” ujar Alexius, dalam keterangannya, Sabtu (22/1/2022).

Ia mengatakan, isi Pasal 263 ayat (1) KUHAP sudah cukup jelas, yaitu terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Namun, ia mengaku heran dengan munculnya Pasal 30 UU Kejaksaan yang menyatakan bahwa kewenangan pasal itu menjadikan tugas dan tanggung jawab Jaksa, mewakili negara dalam melindungi kepentingan korban, juga bagi negara, dan memposisikan kedudukan Jaksa seimbang (equality of arms principle), sama dengan hak terpidana atau ahli waris dalam hal mengajukan PK.

“Membuka kesempatan kepada Jaksa untuk mengajukan PK, apalagi dalihnya kepentingan hukum negara dan mewakili korban, sikap para pembentuk undang-undang terkesan tidak percaya terhadap putusan Hakim. Kacau ini..!,” sebut Alexius.

“Sikap seperti itu, menurut saya sangat berbahaya bagi kelangsungan eksistensi Negara Indonesia yang berdasarkan hukum,” sambungnya.

Ia menegaskan, prinsip putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti, merupakan putusan yang benar dalam negara hukum.

Peran dan Fungsi Kejaksaan

Seharusnya DPR selaku bagian dari pembentuk undang-undang memaksimalkan peran dan fungsi Kejaksaan dalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Karena peran Korps Adhyaksa sangat strategis dalam proses litigasi di Pengadilan.

“Mestinya peran Kejaksaan harus dimanfaatkan secara maksimal, sehingga dapat diharapkan terciptanya suatu putusan Hakim yang berkeadilan bagi negara, korban dan terdakwa,” saran Alexius.

“Saya menilai pasal tersebut (Pasal 30 UU Kejaksaan) merupakan pelanggaran prinsip PK itu sendiri. Yaitu pelanggaran subjek dan objek PK. Subjek adalah terpidana atau ahli waris, dan objek adalah putusan di luar putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,” tambah Pengacara yang berkantor di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat ini.

Dirinya mengaku yakin jika ada yang pihak mengajukan judicial review terhadap Pasal 30 UU Kejaksaan, MK akan membatalkan pasal tersebut. Terlebih, Lembaga Negara Pengawal Konstitusi ini pernah menyatakan dalam Putusan No.33/PUU-XJV/2016 tanggal 12 Mei 2016, yang isinya tegas menyatakan bahwa Jaksa tidak bisa PK kecuali terpidana atau ahli warisnya.

“Tidak mungkin MK membuat dua pendapat yang berbeda terhadap satu persoalan. Misal, sebelumnya PK dinyatakan hak terpidana, lalu berubah menjadi hak Jaksa. Jelas itu tidak mungkin. Saya yakin MK akan membatalkan Pasal 30 UU Kejaksaan,” pungkas Alexius.(um)

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan