“Kami berkomitmen agar hal-hal tersebut tidak sampai mengganggu proses demokrasi pada Pemilu 2024, yang masih menjadi isu penting adalah politisasi SARA, politik uang, netralitas aparat, verifikasi pemilih, dan kecepatan memperoleh hasil serta berita bohong.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Sejumlah persoalan yang akan muncul dalam penyelenggaraan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 menjadi perhatian khusus Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja.
Persoalan itu antara lain masih adanya pemanfaatan isu suku, agama, ras, antargolongan (SARA), netralitas aparat, penyebaran berita bohong atau hoax serta ujaran kebencian pada pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024.
Hal itu dikemukakan Ketua Bawaslu RI saat diskusi daring yang digelar oleh Interesa Training Center (ITC) di Jakarta, Rabu (2/11/2022).
“Kami berkomitmen agar hal-hal tersebut tidak sampai mengganggu proses demokrasi pada Pemilu 2024, yang masih menjadi isu penting adalah politisasi SARA, politik uang, netralitas aparat, verifikasi pemilih, dan kecepatan memperoleh hasil serta berita bohong,” ujar Rahmat Bagja.
Ia menegaskan Bawaslu RI memberikan perhatian khusus terhadap sarana media sosial. Pihaknya pun bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Badan Siber Nasional (BSN), Mabes Polri dan sejumlah pihak yang memiliki kewenangan terhadap media sosial.
“Selain itu, kami juga mengikutsertakan kader Partai Politik (Parpol) untuk ikut menjaga agar proses Pemilu berlangsung demokratis,” katanya.
“Khusus terkait pelaporan dan pembuktian pelanggaran Pemilu, masih mengacu pada aturan yang relatif sama dengan aturan yang diterapkan pada pemilu sebelumnya,” sambung Rahmat Bagja.
Namun untuk pemilu 2024, lanjutnya, Bawaslu dibantu oleh aplikasi Sistem Informasi Penanganan Pelanggaran Pemilu dan Pelaporan (SiGapLapor) yang akan memudahkan masyarakat menyampaikan pelaporan.
“Teman-teman bisa melaporkan melalui aplikasi yang sudah disediakan Bawaslu. Soal pembuktian itu tergantung laporan,” ujarnya dalam diskusi yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Pelatihan SDM Kepemiluan.
Acara itu digelar Ikatan Alumni Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (IKASA) bersama ITC.
Disebutkan, pada Februari 2024 mendatang akan digelar serentak pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, dan pada November di tahun yang sama akan digelar pemilihan kepala daerah.
Dampak dari kebijakan tersebut adalah pemerintah harus menunjuk kepala daerah sementara untuk menggantikan para kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya sebelum 2024.
Anggota DPR-RI Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Rezka Oktoberia, dalam diskusi tersebut menambahkan bahwa para kepala daerah sementara tersebut harus betul-betul dijaga netralitasnya.
“Mendagri sudah menyelesaikan 53 daerah dari 101 daerah (yang akan habis masa jabatannya tahun ini). Kita berharap tindakan dari PJ kepala daerah dan tindakan mutasi ASN juga harus diperhatikan, apakah itu apolitik atau menghabiskan ASN yang lama?” kata Rezka.
Terobosan Baru
Pada Pemilu 2024 juga untuk pertama kalinya diperbolehkan pemanfaatan kampus sebagai sarana kampanye. Pada 2024 sekitar 29 persen pemilih adalah usia mahasiswa. Sehingga jika aturan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, salah satu dampaknya adalah peningkatan partisipasi pemilih di usia mahasiswa.
“Memperbolehkan kampus jadi tempat kampanye, ini jadi terobosan baru. Harus jadi pertimbangan, jangan menimbulkan perpecahan, perselisihan paham. Memang usia produktif kita ada di usia kalangan mahasiswa, dan ini jumlah pemilih dominan,” ujarnya.
Selain itu, hal baru yang akan diterapkan pada pemilu 2024 adalah penerapan rentang umur 17 – 55 tahun untuk petugas Kelompok Penyelenggara Pemilihan Suara (KPPS).
Rezka Oktoberia mengaku setuju dengan penurunan batas umur menjadi 17 tahun jika memang semangatnya adalah regenerasi. Namun unsur integritas dan ketidakberpihakan petugas KPPS juga tidak boleh dilupakan.
Direktur Utama ITC Wahyu Yoga Pratama dalam diskusi tersebut mengaku sependapat dengan Rezka Oktoberia. Menurutnya, penurunan batas umur petugas KPPS penting untuk kepentingan regenerasi.
Dalam regenerasi dibutuhkan kerelaan anggota KPPS yang sudah lebih berpengalaman dalam membimbing anggota KPPS yang lebih muda. Kendati demikian ia ragu akan ada banyak Warga Negara Indonesia (WNI) berusia 17 tahun yang mendaftarkan diri sebagai petugas KPPS.(PR/01)