“Dengan terselenggaranya prosesi Adhang Tahun Dal 1959 Jawa ini, Karaton Surakarta kembali menegaskan perannya sebagai pusat budaya Jawa yang aktif merawat dan melestarikan warisan leluhur secara konsisten.”
SURAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar prosesi sakral Adhang Tahun Dal 1959 Jawa di Kagungan Dalem Pawon Gondorasan, Surakarta, Jawa Tengah pada Minggu (7/9) malam.
Prosesi langka yang hanya digelar setiap delapan tahun sekali ini dipimpin langsung oleh SISKS Pakoe Boewono XIII, didampingi GKR Pakoe Boewono, sebagai bagian dari rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tradisi Adhang Tahun Dal merupakan salah satu warisan budaya adiluhung Karaton Surakarta. Dalam kalender Jawa, tradisi ini hanya dilaksanakan setiap kali memasuki Tahun Dal, menjadikannya sebagai prosesi istimewa yang dinanti-nantikan masyarakat dan keluarga besar Karaton.
Prosesi dimulai dengan penyalaan api di tungku pusaka oleh Pakoe Boewono XIII, yang menjadi penanda dimulainya ritual. Api tersebut dinyalakan di dandhang pusaka yang secara turun-temurun dipercaya sebagai peninggalan Ki Ageng Tarub leluhur Karaton Surakarta.
Tiga pusaka utama yang digunakan dalam prosesi tersebut adalah Kangjeng Kyai Dhudha, Kangjeng Kyai Godrag, dan Kangjeng Rejeki. Ketiganya tidak sekadar berfungsi sebagai alat memasak, tetapi juga mengandung simbolisasi spiritual dan filosofis tentang keberkahan, rezeki, dan kesinambungan hidup.
Putri Dalem GKR Timoer Rumbai turut mengambil peran dengan menanak nasi menggunakan dandhang pusaka, sementara para abdi dalem melantunkan selawat Nabi secara khusyuk, menambah khidmatnya suasana di Pawon Gondorasan.
Setelah nasi matang, prosesi dilanjutkan dengan pembagian kepada para abdi dalem. Nasi ini diyakini membawa berkah, keselamatan, dan rezeki, serta menjadi bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menjaga Amanah Leluhur
Pengageng Sasana Wilapa Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KPA Dani Nur Adhiningrat, menyampaikan bahwa kehadiran Pakoe Boewono XIII dalam prosesi ini memberikan makna mendalam bagi seluruh keluarga besar Karaton.
“Adhang Tahun Dal menjadi sangat istimewa karena dipimpin langsung oleh Sampeyan Dalem. Kehadiran beliau bukan hanya simbol kepemimpinan, tetapi juga teladan spiritual bagi seluruh abdi dalem dan masyarakat,” ujar Dani.
Ia menambahkan, tradisi ini menjadi ruang pembelajaran budaya dan spiritual yang relevan di tengah arus modernisasi.
“Kami ingin generasi muda memahami bahwa setiap elemen dalam prosesi ini memiliki makna. Api melambangkan semangat hidup, dandhang pusaka mencerminkan kesinambungan rezeki, dan nasi yang dibagikan merupakan simbol rasa syukur serta kepedulian sosial,” jelasnya.
Dengan terselenggaranya prosesi Adhang Tahun Dal 1959 Jawa ini, Karaton Surakarta kembali menegaskan perannya sebagai pusat budaya Jawa yang aktif merawat dan melestarikan warisan leluhur secara konsisten.
Menjaga Identitas Budaya
Tradisi seperti Adhang Tahun Dal bukan hanya bagian dari ritus adat, tetapi juga wujud konkret pelestarian nilai-nilai kearifan lokal. Di tengah derasnya pengaruh budaya global, prosesi ini menjadi pengingat bahwa identitas bangsa terletak pada kemampuannya menjaga akar budaya.
Bagi masyarakat luas, peristiwa ini juga menjadi ajakan untuk lebih mencintai dan memahami tradisi lokal sebagai bagian integral dari kehidupan berbangsa dan bernegara.(PR/01)