“Mari kita titipkan harapan kepada Munir. Selamat bekerja, nakhoda baru rumah besar wartawan. Semoga PWI benar-benar kembali menjadi tempat kita semua berteduh, dan bukan lagi arena pertikaian yang melelahkan.”
Oleh Tundra Meliala
Kawan-kawan, kita semua mengetahui, Kongres Persatuan di Cikarang pada akhir Agustus lalu menjadi titik balik bagi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Setelah lebih dari setahun dihantui dualisme, akhirnya terpilih satu nakhoda: Akhmad Munir, Direktur Utama Perum LKBN ANTARA.
Apa yang istimewa? Bukan sekadar soal siapa yang menang, melainkan karena semua pihak sepakat bahwa kubu-kubuan sudah selesai. Tidak ada lagi dua PWI. Yang ada hanyalah satu rumah besar wartawan. Dan Akhmad Munir, dengan suara rendah dan sikap santunnya, tampil sebagai simbol rekonsiliasi itu.
Kawan, kita tahu betapa melelahkannya jika terus-menerus diaduk konflik. Wartawan seharusnya mengurus publik, bukan larut dalam perselisihan internal. Karena itu, kemenangan Munir dapat dibaca sebagai pesan jelas dari akar rumput: kita butuh ketenangan, bukan pertikaian.
Namun, mari kita jujur. Menyatukan PWI yang terbelah bukan perkara mudah. Luka yang menganga selama setahun tidak akan sembuh hanya dengan jabat tangan atau foto bersama. Munir akan membutuhkan energi, kesabaran, bahkan kecerdikan politik untuk merangkul semua faksi. Tugas pertamanya memang itu memastikan rumah besar ini benar-benar berada di bawah satu atap.
Tugas keduanya tak kalah berat, yakni menguatkan eksistensi PWI di tengah disrupsi media. Kawan semua tahu, dunia pers sedang berada di persimpangan jalan. Model bisnis lama runtuh, iklan tersedot Google dan Meta, sementara publik lebih banyak membaca berita melalui gawai ketimbang koran, televisi, ataupun radio. Jika PWI hanya sibuk dengan urusan internal, jangan salahkan anggota jika semakin merasa tidak dilayani.
Munir sendiri telah menyatakan bahwa PWI harus membangun ekosistem media yang kuat dan sehat baik dari sisi konten, ruh jurnalisme, maupun bisnis. Kalimat itu indah, tetapi indah saja tidak cukup. Kita sudah terlalu sering mendengar pengurus PWI baru berjanji meningkatkan kualitas jurnalisme, menghadapi tantangan digital, dan memperjuangkan kesejahteraan wartawan. Tiga janji itu seakan menjadi lagu lama yang diputar setiap lima tahun sekali.
Pertanyaannya, bisakah Munir membuat lagu lama itu terdengar segar dan lebih penting lagi berbuah nyata?.
Saya kira kuncinya ada pada langkah konkret. Misalnya, soal kualitas wartawan. Pelatihan tidak boleh sebatas seremoni. Sertifikasi jangan hanya menjadi proyek administratif, tetapi betul-betul meningkatkan kompetensi.
Mengenai kesejahteraan, ini kerap dianggap tabu. Padahal, wartawan yang lapar sulit menulis dengan jernih. Media anggota PWI membutuhkan model bisnis baru. Mengapa tidak membicarakan diversifikasi pendapatan?. Mengapa tidak berani masuk ke ranah digital, berkolaborasi dengan e-commerce, atau bahkan membangun aplikasi berita yang dikelola bersama?
Dan jangan lupa soal sinergi. Dunia pers tidak bisa lagi berjalan sendiri. Munir, dengan posisi dan jejaringnya di ANTARA, memiliki peluang untuk menjalin kerja sama dengan pemerintah maupun swasta. Jika digarap serius, inilah pintu masuk bagi media untuk bertahan, bahkan berkembang.
Kawan-kawan, kita paham tantangan ini tidak kecil. Namun, justru karena berat, langkah-langkah kecil yang berbuah nyata akan terasa luar biasa. Apa yang dulu dianggap klise dapat berubah menjadi istimewa apabila kali ini benar-benar menghasilkan perbedaan.
Maka, mari kita titipkan harapan kepada Munir. Selamat bekerja, nakhoda baru rumah besar wartawan. Semoga PWI benar-benar kembali menjadi tempat kita semua berteduh, dan bukan lagi arena pertikaian yang melelahkan.
*Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat, Anggota PWI