Oleh Muhammad Yuntri
Advokat Senior, berdomisi di Jakarta
Di Pasal 60 huruf d UU Pemilu No. 17 Tahun 2007 disebutkan “KPPS membuat berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta pemilu, pengawas TPS, dan PPK melalui PPS.”
Bagi penulis poin ini sangat menarik untuk suatu kajian baru yang bisa dimanfaatkan dalam penyelenggaraan pemilu yang berbiaya murah.
Suatu hal menarik muncul di pikiran penulis saat mengikuti Bimtek Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pemilu di kawasan Puncak, Bogor pada bulan lalu. Diperoleh informasi bahwa saat bersengketa di MK, pada intinya pihak para hakim MK sendiri sangat paham pihak mana yang semestinya harus dimenangkan. Tentunya setelah melalui konsideran pertimbangan secara filosofis, juridis dan sosiologis. Selain didukung dengan alat-alat bukti termasuk keterangan para saksi dan ahli. Sehingga sangat mahfum pihak mana sebenarnya yang bermain curang, atau yang jadi korban dalam prosesi pemilu tersebut. Akan tetapi MK tidak punya data yang valid sebagai bukti pembanding C1 dari awal untuk dijadikan pegangan sebelum sengketa berlangsung. Melainkan hanya mengandalkan data pembanding dari pihak KPU saja yang secara formal mutlak harus diakui walau ditengarai ada juga data hasil rekayasa.
KPU ditengarai ikut bermain
Selama ini sudah menjadi rahasia umum di mana-mana, KPU sebagai penyelenggara pun tidak luput untuk berpihak. Bahkan sampai terang-terangan memperlihatkan jati dirinya seperti itu. Mulai sejak penetapan hasil seleksi partai peserta pemilu saja sudah tercium aroma tidak sedap, walau akhirnya diloloskan juga setelah diprotes mati-matian dari pihak yang berkepentingan. Tidak tertutup kemungkinan keberpihakan tersebut berlanjut kepada penetapan hasil akhir penentuan pihak pemenang pemilu. Sedangkan data yang ada pada KPU sebagai satu-satunya bukti yang valid merupakan keniscayaan. Akan tetapi belum tentu bisa dikatakan benar, kalau aroma ikut bermainnya oknum KPU masih ada. Mungkin inilah salah satu penyebab dan pemicu hasil pemilu tidak bisa maksimal secara jurdil sebagaimana diharapkan bersama. Bahkan Ketua KPU pada Pilpres 2019 meminta masyarakat untuk menghormati keputusan KPU tentang hasil Pilpres walau diakui juga banyak kecurangan di sana sini.
Kenapa harus C1 E-court?
Pihak yang merasa dirugikan dan bersengketa di MK, maka beban pembuktian ada pada pemohon guna memenangkan sengketa tersebut. Untuk memperoleh bukti C1 kwk yang asli dari berbagai TPS bukanlah sesuatu yang mudah, butuh perjuangan melalui birokrasi yang panjang dan berbagai pengorbanan lainnya termasuk materi yang nilainya tergantung hasil negosiasi dengan pihak lain. Apalagi jika jumlah selisih suara yang diperjuangkan tersebut jumlahnya mencapai puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan suara. Dapat dibayangkan berapa besar pengorbanan dan biaya yang diperlukan Pemohon untuk mengungkap kebenaran tersebut.
Sehingga tidak heran jika si pemohon patah arang di tengah jalan memperjuangkan haknya untuk bersengketa di MK-RI. Apalagi suatu ketika MK seolah mengatakan bahwa MK itu bukanlah singkatan dari “Mahkamah Kalkulator”. Silahkan saja dibuktikan perbuatan melawan hukum Termohon dan dampaknya terhadap selisih perolehan suara atas perbuatan Termohon, nanti MK akan mempertimbangkannya. Dan jika tidak mampu memperjuangkannya, maka potensi suara pemilih yang telah diraih secara berdarah-darah itu tentu akan terlepas begitu saja.
Dengan adanya langkah untuk menetapkan data C1 akan dikirimkan juga pada Arsip Nasional dan website MK-RI secara e-court, maka semua pihak tidak akan sulit lagi mendapatkan data pembanding yang valid untuk bersengketa pemilu di MK. Dan majelis hakim pun punya referensi pasti dan tidak akan sulit untuk mempertimbangkan serta memutus sengketa pemilu dalam waktu relatif singkat.
Peluang transaksional perebutan kursi
Dalam pengalaman pelaksanaan pemilu selama ini di Indonesia, sudah begitu kita paham bersama. Banyak sekali pihak yang memanfaatkan peluang dari kelemahan pasal dalam UU Pemilu. Sehingga banyak yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok partai tertentu.
Wawancara Bambang Soesatyo (Bamsoet), Ketua MPR-RI legislator dari Partai Golkar di Podcast-nya Abraham Samad beberapa waktu lalu, cukup menarik untuk disimak. Basoet terang-terangan berspekulasi menyediakan dana sebesar Rp.5 miliar untuk bisa duduk kembali sebagai legislator. Begitu juga wawancara artis Krisdayanti, legislator PDI-P di podcast-nya Akbar Faizal yang secara spontan membeberkan honorariumnya selama bertugas di gedung Senayan yang terhormat itu. Mungkin tidak kurang dari Rp.5 miliar per tahunnya. Fenomena di atas akan membuka terawangan masyarakat bahwa jabatan legislator itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya uang saja, terlepas mereka itu tidak begitu berakhlaqul kharimah dan tidak merakyat. Dan cara mendapatkan kedudukan tersebut bisa saja memanfaatkan kelemahan pasal-pasal dalam UU Pemilu, yang bisa diwujudkan dalam bentuk transaksional tertentu. “No success no pay“.
Apalagi sampai saat ini belum ada aturan yang membatasi periode masa jabatan legislator. Selagi mau dan mampu masih terbuka peluang untuk itu. Sehingga wajah-wajah legislator itu tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Bagi mereka yang incumbent cukup menyisihkan dari 1-3 bulan income untuk siap bertarung pada setiap pileg, kemungkinan duduk lagi sangat besar. Dan berbagai fasilitas dan hak-hak istimewa pun sudah disediakan. Kadang mereka jarang yang turun ke dapil untuk memperjuangkan aspirasi rakyat pemilihnya. Bahkan ada juga yang melupakannya sema sekali setelah duduk di kursi DPR-RI. Tapi rakyat pemilih pun tidak punya alternatif lain pada wakilnya di DPR itu, jika caleg jagoannya tidak mendapat suara sesuai kuota. Dan suara yang sudah diperoleh pun tidak akan bermakna dan akan diperebutkan oleh pihak lain melalui oknum pemulung suara agar bisa mencapai kuota dengan suatu transaksional ilegal “tahu sama tahu.” Apalagi jika partai sebagai kendaraannya menuju gedung Senayan tidak lolos Parliamentary Threshold 4 persen tentu akan semakin banyak membuka peluang terjadinya transaksional tersebut.
C1 E-court sebagai salah satu Solusi:
Dengan diterimanya ide C1 E-court ini, kita semua akan mudah mengetahui jumlah suara sah nasiona secara murni diperoleh oleh siapa saja dan dari partai mana. Hal ini bisa menyadarkan kita semua bahwa peluang untuk berkolaborasi dengan hak orang lain akan semakin sulit. Kalaupun harus bersengketa di MK tidak akan biaya yang besar dengan waktu yang relatif singkat.
Semua caleg akan punya kedudukan sama untuk dipilih rakyat dan memulai pertandingan di garis start yang sama pula sejak dari awal, tanpa ada diskriminasi the have atau dhuafa-nya caleg tersebut. Sehingga pileg berlangsung secara “fairness,” jurdil serta bermatabat dengan mengedepankan nilai-nila pancasila dengan sportivitas yang tinggi. Kalaupun ada transaksional, mungkin akan terjadi hal yang saling menguntungkan (simbiosa mutualisma) dalam memperjuangkan aspirasi rakyat untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Mekanisme & Impilkasi Arsip C1 E-court
Implikasi C1 E-Court pada pasal 60 huruf d setelah dimaknai dikirimkan juga oleh KPPS kepada Arsip Nasional dan MK-RI, haruslah dilakukan secara real time (langsung seketika) via internet (e-court). Di era digital sekarang ini juga bisa menggunakan smartphone dan dilakukan di hadapan para saksi partai dan pengawas TPS dan PPK.
Berkas data C1 kwk yang sudah ditanda tangani para pihak berkompeten, langsung difoto oleh Ketua KPPS di hadapan para saksi dan PPK. Dan foto C1 dalam bentuk format pdf tersebut langsung dikirimkan via internet menggunakan smartphone ke website Arsip Nasional dan website Mahkamah konstitusi www.mk-ri.id. Tentu saja C1 kwk sudah diberi kode khusus lebih dulu yang akan membedakannya dengan C1 dari TPS lainnya. Contoh kodenya : TPS 001/kelurahan/kecamatan/ kabupaten/provinsi.
Jikalau mereka berkenan, pihak saksi partai maupun PPK atau pengawas TPS juga boleh melakukan hal yang sama, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Dan di website mk-ri.id dan website Arsip Nasional sudah tersedia pula slot khusus untuk C1 Pileg atau Pilpres yang akan menampung kiriman C1 E-Court dari masing-masing TPS tersebut. Prakiraan jumlah TPS tahun 2024 di seluruh Indonesia berkisar 820.000, maka diperkirakan data C1 E-court yang masuk dari setiap TPS minimal 1 data dan maksimal 20 data yang sama berasal dan dikirim oleh para saksi dari 18 partai, Pengawas TPS dan PPK. Space arsip untuk keperluan tersebut tidak akan membutuhkan space yang besar di websitenya MK-RI. Sehingga tidak perlu menjadi bahan polemik dan bisa segera disetujui.
C1 E-court sebagai Data Pembanding yang Valid
Kalau pasal 60 huruf d tersebut diajukan judicial review ke MK untuk dimaknai agar adanya arsip C1 kwk yang disimpan harus di Arsip Nasional maupun di MK diperkirakan sangat berpeluang untuk dikabulkan. Karena hal itu sejalan serta mendukung azas jurdil pemilu guna mewujudkan pemilu yang bersih, efektif dan efisien. Karena arsip C1 disimpan di Arsip Nasional maupun di MK-RI akan bisa dijadikan patokan dan data pembanding yang valid bagi Hakim MK untuk memutus sengketa pileg dan pilpres tanpa rumit dan tidak berperan sebagai “Mahkamah Kalkulator”.
Dalam mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan pada sengketa pemilu, MK pasti akan mempertimbangkan aspek kebenaran formil maupun kebenaran materil berikut alat bukti lainnya dari keterangan para saksi dan ahli.
Data pembading C1 yang akan disimpan secara elektronik di Arsip Nasional dan MK-RI tersebut akan sangat berguna dalam penyelesaian sengketa pileg maupun pilpres, maupun sebagai dokumen nasional sepanjang masa bagi Negara dan bangsa Indonesia.
Dengan transparansi seperti itu azas “Good Governance Government (3G)” bisa diterapkan dengan baik dalam penyelenggaraan pemilu.
C1 E-court Menuju Pemilu Berbiaya Murah:
Dengan adanya frase pada pasal 60 huruf d yang dimaknai dengan kewajiban KPPS menyerahkan C1 kepada MK-RI dan Arsip Nasional, maka akan membawa efek positif untuk terwujudnya kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatannya bagi semua pihak, bangsa dan negara serta terukurnya pelaksanaan azas jurdil dalam melaksanakan pemilu di Indonesia.
Memang sudah saatnya sistem E-court diterapkan di MK-RI, karena penerapan E-court ini sudah diberlakukan oleh Mahkamah Agung R.I dengan Peraturan MA-RI No.3 Tahun 2018 tanggal 29 Maret 2018. Hal itu juga didukung dengan adanya pengakuan tentang alat bukti secara elektronik berdasarkan ketentuan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah dengan UU No.19 tahun 2016.
Sehingga sudah saatnya memaknai ketentuan pasal 60 huruf d UU Pemilu No. 17 Tahun 2007 dengan frase kewajiban menyerahkan berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara (C1) kepada saksi peserta pemilu, pengawas TPS, dan PPK melalui PPS untuk diterapkan pada pileg dan pilpres secara efektif mulai tahun 2024 ini.
Adapun kemanfaatannya secara riil antara lain adalah sebagai berikut:
- Berkurang drastisnya jumlah personal saksi yang dibutuhkan oleh peserta pemilu berikut biaya honorarium para saksi tersebut yang jumlah nominalnya sangat signifikan selama ini.
- Semakin mudahnya mekanisme pembuktian kevalidan data atas perolehan suara bagi setiap peserta pemilu dalam penyelesaian sengketa pemilu di semua level penyelesaian sengketa pemilu yang berpengaruh kepada cepatnya waktu penyelesaian sengketa pemilu di setiap tingkatan.
- Semakin berkurangnya celah untuk melakukan rekayasa hasil perhitungan suara pemilu oleh oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompoknya dari rekayasa tersebut.
- Semakin kecilnya peluang bagi oknum untuk melakukan transaksi ilegal memperebutkan suara sah nasional berasal dari peserta pemilu yang gagal memperoleh kursi legislatif di DPR-RI, DPRD Provinsi maupun di DPRD Kabupaten/Kota, yang nilai transaksinya kadang sangat sulit ditebak nominalnya tergantung kepada hukum “supply and demand.”
- Semakin meningkatnya penerapan azas “Good Governance Government,” dalam penyelenggaran kegiatan pemilu yang akan berefek positif kepada motivasi personal KPU beserta jajarannya ke bawah untuk melaksanakan tugas secara transparansi yang akuntabel dan berkredibilitas.
- Semakin kecilnya kemungkinan intervensi pihak ketiga kepada institusi KPU dalam menentukan pemenang pemilu yang berbasiskan pada perolehan suara dari pemilih.
- Semakin kecil timbulnya kecurangan pemilu untuk perhitungan perolehan suara yang secara bertahap bergerak dari TPS ke Kelurahan terus ke kecamatan, sampai ke KPU Pusat.
- Semakin mudahnya bagi Bawaslu melakukan pengawasan dalam mekanisme kerja KPU beserta jajarannya ke bawah.
- Semakin bertambahnya kepercayaan masyarakat maupun dari berbagai pihak di Luar Negeri dalam pelaksanaan Pemilu oleh KPU di Indonesia.
- Tujuan pencapaian dan penerapan maksimal terhadap azas pemilu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang tertera pada pasal 22E UUD’45 akan terwujud dengan baik sesuai harapan bersama.
Penutup :
Dari pemikiran penulis di atas, dapat diperkirakan fenomena transaksional dengan cara menghamburkan uang pada pileg dan pilpres yang bertujuan untuk memenangkan pemilu akan semakin terkikis. Ajakan untuk sportivitas dan elegan dalam memenangkan pertarungan di pileg dan pilpres tidak harus berbiaya mahal melainkan harus mengedepankan kegiatan pesta demokrasi yang berlandaskan kepada nilai-nilai yang pancasilais untuk menuju tujuan negara sebagaimana tertera pada pembukaan UUD’45.
Penerapan C1 E-Court akan mengarah kepada kebaikan bersama menuju pemilu berbiaya murah tanpa perlu mengeluarkan biaya yang berlebihan untuk mengatasi berbagai masalah ketidakpuasan dalam bentuk demonstrasi yang berjilid-jilid, atau sengketa pemilu yang berdarah-darah dan lain-lain.
Walaupun pelaksanaan pemilu adalah suatu keniscayaan sebagai kewajiban negara yang menerapkan azas demokrasi dalam politik dan pemerintahannya. Bukan berarti harus menjadikan politik uang atau para oligarkhi sebagai alat utama memenangkan pertarungan untuk bisa memaksakan kehendak kepada mereka pihak yang kalah. Akan tetapi harus dimaknai bahwa pemilu tersebut hanya sebagai methoda dalam memilih dan menentukan pimpinan nasional eksekutif dan legislator di parlemen dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan kekuasaan untuk jangka waktu 5 tahun ke depan yang harus dilaksanakan secara amanah. Personal pemimpin boleh berganti setiap pemilu akan tetapi persatuan dan kesatuan bangsa haruslah menjadi nomor satu.
Jakarta, 20 September 2023
H. Muhammad Yuntri, SH., MH,
Praktisi hukum senior berdomsili di Jakarta.