“Pasal 210 ayat (10) KUHAP baru ini justru membuka ruang ketidakadilan karena memberi kesempatan tambahan kepada jaksa setelah terdakwa diperiksa.”
Oleh: Jhon SE Panggabean, S.H., M.H.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah disahkan oleh DPR pada tanggal 18 November 2025, menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang sudah 44 (empat puluh empat) tahun berlaku.
Sejarah mencatat bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (baca: KUHAP 1981) saat itu disebut sebagai karya agung, sebab merupakan kodifikasi dan unifikasi dari hukum pidana formal yang menyatukan dan mengatur seluruh rangkaian proses penanganan perkara pidana dari awal (penyelidikan) hingga akhir (upaya hukum biasa dan luar biasa).
Dalam KUHAP 1981 ditekankan tonggak perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses hukum, termasuk hak untuk membela diri dan didampingi penasihat hukum (advokat) saat pemeriksaan di penyidikan serta mendapatkan peradilan yang adil. KUHAP 1981 juga merupakan upaya untuk memperbaiki praktik peradilan masa lalu dalam paradigma crime control model (model pengendalian kejahatan) yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia menurut due process of law.
Oleh karenanya, KUHAP yang baru disahkan menggantikan KUHAP 1981 yang dahulu disebut karya agung sejatinya haruslah lebih baik dalam arti lebih memberikan keadilan dan kesamaan di hadapan hukum bagi masyarakat.
Dalam KUHAP yang baru disahkan oleh DPR, di satu sisi patut kita apresiasi dengan adanya ketentuan baru, termasuk perlindungan kepada saksi. Saksi mempunyai hak untuk didampingi sebagaimana terlihat dalam Pasal 143 huruf b yang menyatakan, “Saksi berhak memilih, menghubungi, dan mendapat pendampingan advokat dalam setiap pemeriksaan,” yang selama ini tidak diperbolehkan terutama saat pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan belakangan sering terjadi di kejaksaan atau kepolisian, khususnya pada perkara korupsi.
Begitu juga dalam KUHAP baru, hak imunitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Advokat dimasukkan dalam ketentuan Pasal 149 ayat (2) yang menyatakan, “Advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam atau di luar pengadilan.”
Selama ini, baik dalam teori maupun praktik penanganan perkara khususnya di Pengadilan Negeri proses perkara dengan acara pemeriksaan biasa telah berjalan dengan baik. Secara garis besar, dimulai dengan pembacaan dakwaan, tanggapan atas dakwaan, pemeriksaan saksi-saksi maupun ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun yang diajukan terdakwa atau advokat, kemudian dilanjutkan pemeriksaan terdakwa. Selanjutnya JPU membacakan requisitoir (tuntutan), kemudian pledoi (pembelaan), replik, duplik, dan terakhir putusan hakim. Dari rangkaian proses peradilan pidana tersebut terlihat bahwa setelah pemeriksaan terdakwa, tidak ada lagi kesempatan bagi JPU untuk mengajukan saksi atau ahli.
Namun, sangat disayangkan dalam KUHAP baru terdapat pasal-pasal yang dinilai tidak adil dan merugikan terdakwa atau penasihat hukum (advokat). Hal tersebut antara lain terdapat dalam Pasal 210 ayat (10) KUHAP yang dalam draf awal RUU merupakan Pasal 197 ayat (10), yang berbunyi, “Setelah pemeriksaan terdakwa, penuntut umum dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari advokat selama persidangan.”
Pasal 210 ayat (10) KUHAP baru ini jelas berpihak kepada JPU dan sangat merugikan, bahkan melemahkan posisi terdakwa atau advokat. Selama ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP maupun praktik yang berlaku sampai sekarang, sebelum pemeriksaan terdakwa sudah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan saksi dan ahli dari JPU. Namun, dalam KUHAP yang baru disahkan, mengapa setelah pemeriksaan terdakwa justru diberikan lagi hak kepada JPU untuk menghadirkan saksi dan ahli tambahan, apalagi secara gramatikal disebutkan tujuannya untuk menyanggah pembuktian dari advokat selama persidangan?.
Padahal, selama ini setelah pemeriksaan terdakwa, JPU membacakan tuntutan, kemudian terdakwa atau penasihat hukum membacakan pledoi (pembelaan). Pasal 210 ayat (10) KUHAP yang menyatakan bahwa setelah pemeriksaan terdakwa JPU dapat memanggil saksi atau ahli tambahan merupakan semangat menghukum terdakwa serta memihak kepada JPU.
Lebih aneh lagi, saksi dan ahli tambahan tersebut tentu merupakan saksi dan ahli yang tidak diambil berita acaranya (BAP) dalam penyidikan. Padahal, sudah lazim dipahami bahwa dasar JPU membuat dakwaan adalah berdasarkan BAP saksi dan ahli. Pasal 210 ayat (10) KUHAP tersebut sangat tendensius dan tampaknya tidak berdasarkan kajian ilmiah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, untuk kepentingan siapakah ketentuan tersebut diadakan? Kemunculan aturan ini juga bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kepatutan yang telah disepakati dalam berbagai forum internasional mengenai the prevention of crime and the treatment of offenders yang digagas PBB.
Para advokat, terutama yang biasa menangani perkara pidana, tentu keberatan atas ketentuan tersebut karena selain tidak adil, juga tidak seimbang dalam proses penanganan perkara yang sejak awal sudah begitu luas memberikan kesempatan kepada JPU.
Jelas ini sangat tidak adil, karena selama ini justru pihak yang menyanggah adalah terdakwa atau advokat terhadap dakwaan dan tuntutan dari JPU. Namun, dalam KUHAP baru, justru terbalik karena diberikan lagi kesempatan kepada JPU untuk menyanggah pembuktian dari advokat.
Pasal 210 ayat (10) KUHAP ini jelas bertentangan dengan makna proses persidangan yang adil dan setara (equal), karena JPU sejak awal sudah diberikan hak melalui penyidik untuk mengajukan saksi dan ahli, termasuk dalam persidangan.
Menurut penulis, Pasal 210 ayat (10) KUHAP ini bertentangan dengan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam perspektif beracara, tidak adil, serta bertentangan dengan tujuan integrated criminal justice system dalam pembaruan hukum acara pidana.
Untuk mendengarkan, klik tautan berikut ini:
*Penulis, Jhon SE Panggabean, S.H., M.H., adalah advokat senior, tinggal di Jakarta.









