Opini  

Dari Negara Hukum ke Negara Kekuasaan: Masihkah Mewakili Kedaulatan Rakyat?

Muhammad Yuntri. Negara Hukum
M. Yuntri, SH., MH (Foto:Dok.Pribadi)

“Jika lembaga-lembaga negara terus bergerak dalam arah saling menguasai tanpa pembatasan konstitusional, maka demokrasi hanya akan jadi prosedur tanpa ruh: sah secara aturan, tapi kosong secara substansi.Saatnya publik bersuara: kedaulatan itu milik rakyat, bukan milik segelintir elit.”

Oleh: M. Yuntri, SH., MH
Pengamat Politik, Jakarta

Ngeri…!!!
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan semestinya dibatasi dan dikendalikan oleh hukum. Namun kenyataan politik hari ini menunjukkan arah sebaliknya. Tiga cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak lagi menunjukkan semangat check and balance. Justru yang muncul adalah kecenderungan saling merebut dominasi dan memperluas wilayah kekuasaan masing-masing.

Pada Februari lalu, publik dikejutkan dengan revisi Peraturan Tata Tertib DPR-RI yang membuka ruang bagi legislatif untuk menjatuhkan sanksi bahkan mencopot pejabat strategis negara seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ketua Mahkamah Agung (MA), hingga Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). DPR mengklaim bahwa langkah ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan terhadap potensi penyimpangan.

BACA JUGA  HPN 2025: Refleksi Pers untuk Negeri

Namun, langkah ini juga memunculkan pertanyaan konstitusional yang serius. Jika tidak dikritisi, kita bisa tergelincir dari prinsip rechtstaat (negara hukum) menuju Machtstaat (negara kekuasaan). Maka penting untuk bertanya: masihkah kebijakan seperti ini mencerminkan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945?.


1. Konflik Kekuasaan Antar Lembaga Negara

Ketika batas-batas antar lembaga negara dilanggar, dan fungsi saling mengawasi digantikan oleh saling mengintervensi, maka kerangka demokrasi menjadi rapuh. DPR, yang semestinya menjadi pengawas yang adil, kini tampak mulai memasuki wilayah eksekutif dan yudikatif dengan ancaman pencopotan yang mencederai independensi lembaga-lembaga strategis.

Ini bukan sekadar persoalan teknis prosedural, melainkan pergeseran desain ketatanegaraan yang mengarah pada dominasi politik.


2. Dari Rechtstaat ke Machtstaat

Dalam negara hukum, hukum mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya. Namun bila hukum mulai digunakan sebagai instrumen untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaan, maka substansi keadilan telah terpinggirkan.

BACA JUGA  Zionis Israel Terbiasa Ingkar Janji

Ketika peraturan tata tertib internal DPR dipakai untuk menjangkau dan mengikat lembaga-lembaga eksternal, kita menyaksikan munculnya praktik machtstaat, di mana kekuasaan menjadi hukum itu sendiri. Ini adalah bentuk baru otoritarianisme, yang bersembunyi di balik wajah legalitas formal.


3. Kedaulatan Rakyat yang Dikebiri

Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Tapi saat DPR menggunakan kewenangannya untuk menggulingkan pejabat publik yang justru dipilih atau dipercaya oleh rakyat, seperti KPU atau KPK, muncul pertanyaan: siapa sebenarnya yang mereka wakili? Rakyat, atau kepentingan elite?

Lebih mengkhawatirkan lagi, tindakan DPR ini justru memperlihatkan konsolidasi kekuasaan yang tidak sehat: membuat aturan, melaksanakan, sekaligus menghakimi. Tanpa koreksi, ini berpotensi menabrak prinsip demokrasi konstitusional.


Penutup: Demokrasi Tanpa Jiwa

Indonesia tidak kekurangan hukum. Tapi sering kali kita kekurangan penghormatan terhadap esensi hukum itu sendiri. Jika lembaga-lembaga negara terus bergerak dalam arah saling menguasai tanpa pembatasan konstitusional, maka demokrasi hanya akan jadi prosedur tanpa ruh: sah secara aturan, tapi kosong secara substansi.

BACA JUGA  KUHAP Baru Harus Memberikan Penguatan dan Wewenang Advokat

Saatnya publik bersuara: kedaulatan itu milik rakyat, bukan milik segelintir elit.

Jakarta, 23 Mei 2025
M. Yuntri, SH., MH
Pengamat Politik


Catatan Redaksi: Opini ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi dan argumen yang disampaikan.