Fadli Zon Ajak Publik Dewasa Memaknai Tragedi Mei 1998

Fadli Zon Ajak Publik Dewasa Memaknai Tragedi Mei 1998
Menbud RI, Fadli Zon (Foto: Dok.Kemenbud RI)

“Ini bukan tentang saya. Ini tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, menulis sejarah dengan kepala dingin, hati terbuka, dan kaki yang berpijak pada fakta.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Menteri Kebudayaan (Menbud) RI Fadli Zon menyatakan bahwa dirinya tidak bermaksud menyangkal, apalagi menyudutkan korban dalam tragedi Mei 1998. Fadli mengajak publik untuk bersikap lebih dewasa dalam memaknai peristiwa tersebut sebagai bagian dari sejarah bangsa. Ia menekankan bahwa keberanian untuk melihat sejarah secara jernih penting, tanpa kehilangan empati, namun juga tanpa menanggalkan akal sehat.

“Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta,” ujar Fadli Zon dalam keterangannya, menanggapi kritik terhadap pernyataannya soal istilah ‘perkosaan massal’ tragedi Mei 1998 dalam keterangan pers, Selasa (17/6)

Pernyataan itu memang memicu gelombang kekecewaan. Namun bila dibaca utuh, maksudnya bukan untuk menyangkal adanya kekerasan seksual. Justru, Fadli mengajak semua pihak berhati-hati agar narasi sejarah tidak jatuh pada simplifikasi yang bisa mengaburkan kebenaran dan menyulitkan pencarian keadilan sejati.

BACA JUGA  70 Tahun KAA, Fadli Zon: Komitmen Indonesia untuk Warisan Budaya dan Solidaritas Dunia

Fadli menyoroti pentingnya akurasi istilah, terutama dalam isu sensitif seperti ini. Ia menilai penggunaan istilah ‘massal’ harus didasarkan pada bukti yang sahih secara akademik maupun legal.

Ia pun merujuk pada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998, yang memang mencatat adanya kekerasan seksual, namun belum menemukan pola sistematis yang bisa mengategorikannya sebagai “massal” dalam kerangka hukum internasional.

“Ini bukan soal menyangkal korban. Ini soal menghindari penyimpulan yang terlalu cepat, yang justru bisa memperdalam luka dan menjauhkan kita dari kebenaran,” tegasnya.

Fadli juga menyatakan dukungannya terhadap penguatan institusi seperti Komnas Perempuan dan mekanisme keadilan transisional. Menurutnya, empati tidak selalu identik dengan emosi. Empati juga berarti memastikan bahwa setiap peristiwa dipahami secara proporsional agar keadilan dapat ditegakkan tanpa keraguan.

BACA JUGA  Pedagang Pasar Klender Keluhkan Kelangkaan Stok Minyak Goreng

“Tugas negara adalah menghormati para korban, tapi juga menulis sejarah secara bertanggung jawab—bukan karena tekanan, apalagi sensasi,” imbuhnya.

Bukan Membantah

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, turut meluruskan maksud pernyataan Fadli Zon. Ia menegaskan bahwa Fadli tidak sedang membantah adanya kekerasan, melainkan mempertanyakan penggunaan istilah ‘massal’ yang memang masih diperdebatkan di kalangan akademik.

“Fokusnya bukan pada ada atau tidaknya kekerasan, tapi pada ketepatan terminologi. Itu perlu dibedakan agar tidak terjadi kesalahpahaman,” ujar Pratikno kepada awak media, Selasa (17/6).

Dalam dunia yang semakin bising dan penuh kesimpulan instan, ajakan Fadli Zon justru terasa sebagai peringatan. Bahwa luka sejarah harus dirawat, bukan diperdebatkan secara bising. Ia mengajak publik memberi ruang bagi para sejarawan, akademisi, dan lembaga resmi untuk menyusun narasi dengan penuh tanggung jawab.

“Ini bukan tentang saya. Ini tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, menulis sejarah dengan kepala dingin, hati terbuka, dan kaki yang berpijak pada fakta,” tutur Fadli.

BACA JUGA  Gelar Pameran, Ini yang Ditampilkan di Museum Balaputra Dewa

Polemik ini bisa menjadi momentum. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk bersama-sama menolak dua hal sekaligus: lupa dan manipulasi. Jangan sampai luka para penyintas dikaburkan, tetapi jangan pula sejarah dibentuk berdasarkan asumsi yang belum tuntas.

“Sejarah yang adil adalah yang bisa menampung air mata, tapi juga bisa menyaring dusta,” pungkasnya.(01)