Oleh Taufik Abriansyah
Day 34 [Ruteng – Aimere 96 km]
Senin, 02 Juni 2025
Sumber Air Masih Jauh
Sudutpandang.id – Jarak dalam etape yang akan saya tempuh hari ini sebenarnya lumayan jauh. Yaitu sekitar 95 kilometer. Namun semua orang yang saya tanya tentang trek Ruteng – Aimere meyakinkan saya bahwa kontur jalannya semua menurun. Jadi saya optimistis bisa menempuh jarak ini selama hari terang.
Padahal tempat saya menginap ini sungguh nyaman. Walau sepertinya sudah tidak terlalu serius lagi. Tidak ada papan namanya, dan harganya bisa ditawar. Mungkin karena kasihan melihat saya datang dari jauh.
Nyaman karena suhu kota Ruteng yang dingin. Di siang hari sekitar 23 derajat. Bahkan tadi waktu subuh saya melihat catatan suhu di 17 derajat celcius. Dingin banget. Ruteng berada di ketinggian sekitar 1.200 meter dari permukaan laut.
Setelah sarapan dengan segelas kopi dan sepotong wafer saya berangkat meninggalkan Ruteng. Pemilik penginapan Mama Elga dan seorang mahasiswi bernama Milan yang kebetulan sedang menyapu, melepas saya. “Hati-hati di jalan ya pak. Sampe rumah lagi dengan selamat e,” kata Mama Elga.
Dari tempat saya menginap di jalan Adi Sucipto itu, dengan sekali belokan saja saya sudah berada di jalan Trans Flores. Tujuan saya dalam etape ini adalah kota Kecamatan Aimere di Kabupaten Ngada.
Di Aimere ada pelabuhan penyeberangan untuk ferry ke Kupang dan Waingapu. Saya berharap nanti ada kapal yang ke sana. Jadi tambah keren kalau saya bisa ke Waingapu yang terletak di Pulau Sumba. Pulau ini dikenal memiliki pemandangan yang sangat eksotis.
Beberapa instasi dan sekolah ada di jalan Trans Flores saat saya menuju ke luar kota Ruteng. Salah satunya yang agak mencolok adalah gedung Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus. Banyak mahasiswi yang kost di tempat saya menginap tadi kuliah di sini.
Jalan cenderung rata walau sekali-kali ada nanjak melandai. Tapi cukup bersahabat. Saya bisa melaju kencang. Cuaca juga mendukung. Sudah ada matahari, tapi lebih terasa seperti mendung.
Di pinggir jalan saya melihat ada warung yang berjualan sopi. Minuman khas setempat. Dibuat dari penyulingan air nira. Minuman ini mengandung alkohol.
Sekitar satu jam mengayuh, ketemu galura perbatasan antara Kabupaten Manggarai (ibu kotanya Ruteng) dengan Kabupaten Manggarai Timur (ibu kotanya Borong). Bisa ditebak, ini kabupaten pemekaran.
Jalan sudah lebih banyak turunan. Saya bisa mengayuh enak tanpa terlalu mengeluarkan tenaga.
Masuk Kampung Mano Kecamatan Leda Selatan suasana lebih ramai. Ada kantor pos dan ada kantor pelayanan BRI. Di sini saya melihat banyak rumah yang berjualan ayam pedaging. Dalam keadaan hidup. Dibikinkan kandang khusus dan diletakkan di depan rumah.
Tanjakan baru saya dapatkan setelah melewati SMP Poco Ranaka. Tidak terlalu tajam. Hanya saja panjang dan melalui hutan lebat. Saya sebut hutan karena pohon atau belukarnya bukan ditanam manusia.
Sendirian melewati hutan lebat, saya selalu diklakson pengemudi lain. Yang bermotor ataupun bermobil. Sempat ada perasaan keueung (takut, khawatir, ngeri) bagaimana kalau ada binatang buas.
Untungnya dalam situasi itu saya melihat ada seekor sapi di pinggir jalan. Melihat sapi ini sangat menentramkan saya. Karena yakin pasti ada manusia yang menggembalakannya.
Tapi saya keliru. Saat melewati sapi yang lagi berdiri menatap saya itu, tidak ada seorang pun manusia yang saya lihat. Tidak ada kampung juga.
Untungnya kontur jalan sudah mulai menurun. Dan terus menurun. Saya melaju kencang lepas dari hutan lebat. Sudah lebih sering melihat bangunan rumah ataupun saung.
Lepas dari hutan lebat
hape saya kembali mendapat sinyal. Saat berhenti untuk ambil foto saya sempat memeriksa hape. Ada satu pesan whatsapp dari Pak Asnawi, tetangga saya di Cipageran. Pak Asnawi memberi kabar telah mengirim saya uang sebagai solidaritas atas usaha saya gowes dari Sabang sampai Merauke.
“Maaf mang sedikit, sekedar tambahan untuk jajan bae. Semoga bermanfaat,” katanya. Meski tinggal di Bandung, Pak Asnawi sama-sama satu daerah dengan saya. Sama-sama asal Sumatera Selatan.
Sekian kilometer mengayuh dari Ruteng sama sekali saya tidak melihat masjid. Daerah ini memang mayoritas penduduknya beragama Katholik.
Masjid baru saya lihat ada di Kampung Colo Mangkok, Desa Watu Mori Kecamatan Rana Mese. Namanya Masjid Nur Muhammad. Ada irigasi kecil dengan air yang mengalir deras.
Kampung ini sepertinya banyak orang muslim. Ada sapi dan kambing yang ditambatkan di pagar. Saya duga mereka hewan kurban. Sebab kalau hewan peliharaan biasanya dilepas berkeliaran saja. Tidak ditambatkan.
Beberapa ratus meter setelah melewati masjid, saya merasakan titik-titik air jatuh. Wah, hujan. Saya perhatikan kendaraan dari arah berlawanan tampak basah. Artinya di depan sedang hujan.
Saya masuk ke bengkel yang kebetulan sedang tutup. Neduh di kanopinya. Bersama saya ada tukang mainan yang biasa dititipkan di warung-warung juga berteduh. Asal Banyuwangi, Jawa Timur. “Tumben hujannya masih siang. Biasanya sore,” katanya.
Untung hujannya gak lama. Setelah itu saya melaju lagi. Dan dapat turunan yang sangat panjang. Mulai nanjak lagi, tapi tidak terlalu tajam, saat di Desa Kobok. Di desa ini ada beberapa produsen minuman tradisional sopi.
Selain sopi, di Nusa Tenggara Timur ini ada lagi minuman tradisional bernama moke. Bedanya adalah sopi merupakan hasil fermentasi dari pohon enau, sedangkan moke, fermentasi dari pohon lontar. Keduanya mengandung alkohol.
Ada beberapa jenis yang dijual dalam kemasan botol bekas air mineral. Harganya mulai dari Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Baik sopi maupun moke ada kualitas terbaik dengan sebutan BM. Alias bakar menyala. Maksudnya kira-kira, jika minuman itu disulut dengan api maka akan menyala.
Masuk daerah Waerana kontur jalan menurun lagi. Di ruas jalan ini saya melihat di warung-warung ada mesin permainan capit boneka.
Di daerah Korakomba saya melihat serombongan perempuan seperti habis mandi atau mencuci. Pemandangan ini memberi gambaran bahwa cerita NTT sebagai daerah sulit air itu benar adanya. Tidak setiap daerah bisa bilang : “sumber air su dekat”.
Menjelang Zhuhur saya sudah masuk daerah Kecamatan Waelangga. Daerah ini sudah ramai dan terlihat ada masjid. Yaitu masjid Baburahman yang dalam keadaan sedang renovasi.
Lalu saya masuk kota Borong. Ini adalah ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Namun jalan yang saya lintasi ini adalah pinggirannya. Jadi saya tidak melihat kantor bupati atau instansi pemerintah lainnya.
Yang saya lihat cukup banyak adalah tempat makannya. Termasuk warung nasi Padang. Tapi siang ini saya memilih masuk warung makan yang menyajikan soto ayam.
Di meja makan, saya berkenalan dengan Ditra, asal Jakarta yang sedang ada pekerjaan bersama NGO (LSM) di daerah tersebut. Dia penggemar travelling juga. Bahkan ke manca negara.
Ditra mengaku salut dengan pencapaian saya bersepeda dari Bandung sampai ke Kabupaten Manggarai. Bahkan akan sampai ke Merauke. Sebagai apresiasi dibayarinnya makan saya. “Tidak apa pak, saya yang bayar ya. Saya salut sama bapak,” katanya. Alhamdulillah, rezeki peturing soleh.
Dari Borong ke Aimere yang menjadi titik finish saya hari ini tinggal 6 kilometer lagi. Saya bisa mengayuh dengan santai karena hari masih terang.
Sekitar pukul 16.30 akhirnya saya masuk kota Aimere. Saya langsung menuju pelabuhannya. Namun sayangnya keadaan pelabuhan kosong melompong. Cuma ada pedagang di warung.
Dari seseorang yang ada di situ saya mendapat info kapal ferry ke Kupang baru akan ada hari Rabu lusa. Wah, dua hari lagi.
Saya keluar pelabuhan lalu mengayuh sepeda menuju Masjid Jami An Nur, tidak jauh dari situ. Saya mau shalat sambil memikirkan rencana selanjutnya.
*Aimere, 02 Juni 2025*