JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) mengikuti Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Kamis (19/6/2025), untuk menegaskan bahwa tragedi pemerkosaan Mei 1998 adalah nyata, bukan sekadar rumor seperti yang dinyatakan Menteri Kebudayaan (Menbud) RI Fadli Zon.
Dalam siaran pers, Sabtu (21/6/2025), IPTI menyatakan aksi ini digelar sebagai bentuk solidaritas dan pengingat terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk tragedi yang terjadi pada Mei 1998.
Perwakilan IPTI, Septeven Huang, S.H., menyampaikan keberatan atas pernyataan tersebut. Ia menyatakan bahwa pernyataan itu dinilai menyakiti perasaan korban dan keluarga korban yang terdampak langsung oleh peristiwa tersebut.
“Kami merasa pernyataan itu mengabaikan fakta sejarah yang telah ditelusuri dan dicatat oleh lembaga resmi negara,” ujar Septeven.
Sebagai informasi, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah pada 1998 menyatakan bahwa terdapat dugaan kuat terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk yang berasal dari etnis Tionghoa, dalam kerusuhan Mei 1998.
Pernyataan tersebut juga pernah mendapat pengakuan secara terbuka dalam pidato Presiden B.J. Habibie pada saat itu.
Turut hadir dalam Aksi Kamisan tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Ia menegaskan pentingnya mengakui dan menghormati temuan serta suara para korban.
“Fakta-fakta mengenai kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 memiliki dasar yang kuat. Kita harus berhati-hati dalam membuat pernyataan agar tidak melukai korban atau menyederhanakan tragedi kemanusiaan,” jelas Usman.
Pernyataan Fadli Zon
Sebelumnya, Menbud Fadli Zon menanggapi berbagai kritik yang ditujukan kepadanya setelah menyebut peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai sebatas rumor. Politikus Partai Gerindra itu menyatakan bahwa ia tidak bermaksud menyangkal keberadaan peristiwa kelam tersebut.
Ia menegaskan bahwa fakta sejarah seharusnya didasarkan pada fakta hukum dan bukti yang telah teruji secara akademik dan legal. Menurutnya, penggunaan istilah ‘massal’ dalam konteks peristiwa tersebut masih menjadi perdebatan akademik selama dua dekade terakhir.
‘Terutama terkait angka dan istilah yang dinilai problematik,’ ujarnya melalui keterangan tertulis pada Senin (16/6/2025).
Aksi Kamisan sendiri merupakan aksi diam rutin yang telah digelar sejak 2007 oleh keluarga korban pelanggaran HAM bersama masyarakat sipil, sebagai bentuk tuntutan keadilan dan pengungkapan kebenaran.(01)