“Danantara bisa jadi kendaraan menuju kemandirian ekonomi. Tapi jika disetir dengan ego elite dan minim kontrol, maka ia akan menjadi panggung kemegahan palsu berlabel digital, bertulang APBN, dan berujung pada beban fiskal masa depan”
Oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak,MBA
Di tengah gegap gempita transformasi digital dan semangat berdikari ala kedaulatan data, Indonesia meluncurkan Danantara, lembaga pengelola investasi negara yang digadang-gadang menjadi “Temasek nya” Nusantara. Dengan modal awal dari dividen BUMN dan target investasi US$ 20 miliar, proyek ini menjanjikan lompatan besar ke masa depan ekonomi berbasis inovasi dan teknologi.
Namun di balik jargon futuristik itu, publik mulai bertanya: ini benar harapan baru, atau hanya baju digital dari pola lama mengelola uang negara tanpa pertanggungjawaban setara?
Secara formal, Danantara menyatukan portofolio aset strategis negara dengan semangat komersial. Tujuannya terdengar menjanjikan: hilirisasi industri, penguatan AI, transisi energi, dan peningkatan ketahanan pangan. Aset yang dikelola diperkirakan mencapai US$ 900 miliar, angka yang menggiurkan.
Bahkan Presiden Prabowo menyatakan ini bisa jadi pilar pembiayaan utama pembangunan tanpa harus bergantung pada utang luar negeri. Namun, sampai hari ini, tidak satu sen pun Foreign Direct Investment (FDI) masuk. Modal yang berputar masih murni dari APBN dan dividen BUMN alias uang rakyat.
Inilah celah pertama: proyek sebesar ini, dengan label kedaulatan, justru tidak menarik investor asing. Bahkan Qatar yang sempat disebut-sebut menjajaki joint fund senilai US$ 4 miliar, belum menggelontorkan dana secara riil. Mengapa? Mungkin mereka melihat hal yang sama dengan publik dalam negeri: tata kelola yang belum jelas, struktur yang masih rawan konflik kepentingan, dan potensi penggunaan dana tanpa transparansi yang memadai.
Lebih parah lagi, pengawasan terhadap Danantara hanya bisa dilakukan oleh BPK atau KPK jika diminta DPR. Artinya, tidak ada audit otomatis, tidak ada sistem pelaporan terbuka periodik yang wajib diumumkan ke publik. Ini menciptakan ruang kelam yang pernah kita lihat dalam skandal-skandal pengelolaan dana negara: dari Jiwasraya hingga Asabri. Tak sedikit pihak menyebut, ini bisa jadi “korporatisasi anggaran publik dengan aroma kleptokrasi berselimut digitalisasi.”
Kasus terbaru menjadi alarm yang nyata Danantara menggelontorkan dana Rp 6,65 triliun ke Garuda Indonesia dalam bentuk shareholder loan, untuk mendukung transformasi MRO (maintenance, repair, overhaul). Padahal, Garuda baru saja pulih dari krisis utang dan masih mencatat kerugian besar. Sahamnya memang langsung naik 9%, tapi apakah ini keputusan investasi strategis atau hanya pengulangan dari pola bailout berkedok bisnis?
Penggantian skema PMN (Penyertaan Modal Negara) menjadi pembiayaan lewat Danantara juga berpotensi menutupi jejak akuntabilitas. Ketika bantuan ke BUMN tidak lagi lewat APBN secara formal, kontrol politik dan publik otomatis melemah. Dengan dalih efisiensi dan fleksibilitas, kita bisa tergelincir pada praktik pembiayaan “suka-suka” di balik layar holding. Bahkan fungsi lembaga keuangan mikro seperti PNM bisa tergeser atau dipangkas perannya karena prioritas difokuskan pada proyek besar yang belum tentu berdampak langsung pada rakyat bawah.
Lantas, di mana letak harapannya?
Potensi Danantara masih sangat besar, asal diarahkan dengan benar. Konsep sovereign wealth fund bukan hal yang buruk—Temasek di Singapura dan Norway Global Pension Fund adalah contoh sukses. Kuncinya bukan hanya pada besar kecilnya dana, tapi pada disiplin tata kelola, integritas pengelola, dan transparansi ke publik. Tanpa itu semua, Danantara hanya akan jadi powerpoint glamor yang menjual mimpi, sembari diam-diam mengalirkan dana ke proyek yang tak pernah kita ketahui untung-ruginya.
Harapan bukan berarti menutup mata. Justru, harapan sejati lahir dari kewaspadaan publik yang aktif bertanya siapa yang mengelola, ke mana uang mengalir, dan apa dampaknya ke rakyat? Jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab dengan jujur, maka digitalisasi hanya akan jadi dekorasi dari pola lama: memoles kelemahan fiskal dengan kilau modernisasi semu.
Danantara bisa jadi kendaraan menuju kemandirian ekonomi. Tapi jika disetir dengan ego elite dan minim kontrol, maka ia akan menjadi panggung kemegahan palsu berlabel digital, bertulang APBN, dan berujung pada beban fiskal masa depan.
Sebagai warga negara, kita harus berani bertanya, mengkritik, dan mendesak akuntabilitas. Karena masa depan tidak dibangun oleh presentasi hebat, tapi oleh keputusan-keputusan jujur yang diawasi bersama.
*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)