“Anak muda Indonesia tidak harus menempuh S1 untuk bisa berkarya, tapi harus tetap mendapatkan pendidikan tinggi dalam pengertian keterampilan, etika, dan wawasan”
Oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak MBA
Di tengah gempuran era digital dan wacana revolusi industri 4.0 yang makin menderu, salah satu tolak ukur penting kemajuan sebuah bangsa adalah tingkat pendidikan formal warganya. Data terbaru dari Visual Capitalist menyuguhkan perbandingan tajam antar negara dalam hal jumlah dan persentase penduduk berusia produktif (25 – 64 tahun) yang telah menyelesaikan pendidikan minimal strata satu (S1) atau setara. Fakta yang mencolok: Indonesia tidak masuk dalam daftar tersebut sama sekali.
Absennya Indonesia dalam visualisasi ini bukan sekadar kekhilafan statistik, melainkan refleksi dari kenyataan sistemik yang perlu kita hadapi bersama. Negara-negara seperti Irlandia, Swiss, dan Singapura justru tampil mencolok, tak hanya karena jumlah penduduk berpendidikan tingginya, tetapi juga karena proporsi penduduknya yang melampaui empat puluh persen telah menyelesaikan kuliah.
Sementara itu, Indonesia masih tertatih dalam menyeimbangkan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan tinggi.
Padahal, secara kuantitatif, Indonesia bukan tanpa angka. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemendikbudristek mencatat bahwa jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia per 2023 memang meningkat.
Namun, jika dilihat dari persentase terhadap populasi usia produktif, capaian tersebut masih jauh tertinggal. Bahkan dibandingkan dengan Filipina yang berada di peringkat tengah, Indonesia masih kalah dalam hal proporsi masyarakatnya yang bergelar sarjana. Ini artinya, masalah Indonesia bukan hanya pada jumlah, tetapi pada proporsi dan distribusi.
Apa penyebabnya?
Pertama, tingginya angka putus sekolah dan rendahnya transisi dari SMA/SMK ke perguruan tinggi. Biaya kuliah, terbatasnya perguruan tinggi negeri berkualitas di luar Pulau Jawa, dan kebutuhan ekonomi keluarga membuat banyak anak muda harus bekerja selepas SMA. Kedua, sistem pendidikan tinggi Indonesia masih belum mampu menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja.
Lulusan perguruan tinggi kerap menghadapi ketimpangan antara kompetensi dan kebutuhan industri.
Ketiga, dominasi perguruan tinggi swasta yang sering kali bermutu rendah dan sekadar menjadi “pabrik ijazah” turut menyumbang rendahnya kualitas. Ditambah lagi dengan komersialisasi pendidikan tinggi, di mana perguruan tinggi lebih berorientasi pada profit ketimbang misi mencerdaskan bangsa.
Tidak heran jika banyak orang tua memilih menyekolahkan anak ke luar negeri atau justru berhenti di jenjang menengah saja.
Yang lebih mengkhawatirkan, rendahnya tingkat pendidikan tinggi juga berdampak pada kualitas demokrasi dan literasi publik. Kita menyaksikan penyebaran hoaks yang masif, resistensi terhadap sains, serta polarisasi sosial yang tajam.
Pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak warga negara kritis justru menjadi komoditas elitis yang sulit diakses. Akibatnya, Indonesia mengalami paradoks: jumlah penduduk besar, tetapi kualitas sumber daya manusianya masih rendah.
Bandingkan dengan Singapura, yang walau berpenduduk jauh lebih sedikit, mampu mencetak hampir separuh warganya menjadi lulusan universitas. Ini bukan semata-mata karena Singapura negara kaya, tetapi karena investasi sistemik dalam pendidikan berkualitas tinggi sejak dini. Begitu pula Korea Selatan, yang pasca perang memilih menjadikan pendidikan sebagai alat utama pembangunan bangsa, dan kini menjadi raksasa teknologi dan inovasi dunia.
Namun, menyerah bukan pilihan. Indonesia harus melakukan reset, restart, dan refocus, sebagaimana kutipan motivasional yang kini viral di media sosial. Reset dalam arti menata ulang orientasi pendidikan bukan semata-mata untuk angka partisipasi, melainkan kualitas dan dampak jangka panjang.
Restart berarti membuka kembali kesempatan pendidikan tinggi yang terjangkau dan merata. Refocus menuntut kita untuk menyelaraskan pendidikan dengan tantangan zaman: digitalisasi, kecerdasan buatan, dan ekonomi hijau.
Pemerintah bisa memulai dengan meningkatkan anggaran riset dan pendidikan tinggi, bukan hanya untuk pembangunan fisik kampus, tetapi juga pengembangan dosen, beasiswa S2-S3, dan kerja sama internasional.
Perluasan kampus negeri di luar Jawa serta insentif untuk perguruan tinggi swasta berkualitas juga menjadi penting agar akses tidak lagi ditentukan oleh kode pos. Selain itu, penting pula membangun jalur pendidikan non-tradisional yang fleksibel, seperti kuliah daring, pendidikan vokasi yang terintegrasi dengan industri, serta sertifikasi kompetensi yang diakui secara global.
Anak muda Indonesia tidak harus menempuh S1 untuk bisa berkarya, tapi harus tetap mendapatkan pendidikan tinggi dalam pengertian keterampilan, etika, dan wawasan.
Media dan sektor swasta juga punya peran besar. Kampanye literasi digital, penyediaan beasiswa oleh BUMN dan perusahaan besar, hingga kerja sama pendidikan dengan universitas top dunia adalah bagian dari ekosistem yang perlu diperkuat. Pendidikan bukan hanya urusan negara, tapi urusan bangsa. Dan bangsa dibangun oleh kolaborasi.
Jangan sampai narasi “bonus demografi” menjadi ilusi kolektif jika kualitas manusia tidak dipersiapkan. Jangan pula kita terjebak pada pujian “generasi melek teknologi” padahal hanya menjadi konsumen konten hiburan. Tanpa pendidikan tinggi yang bermutu dan merata, Indonesia akan menjadi bangsa besar dengan kaki pincang.
Sudah waktunya Indonesia mengejar ketertinggalan ini dengan strategi yang jangka panjang, inklusif, dan progresif. Karena dalam dunia yang makin kompleks dan berbasis pengetahuan, hanya bangsa berpendidikan lah yang mampu bertahan, bersaing, dan menang. Dan untuk itu, kita semua bertanggung jawab.
*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)