Kemal H Simanjuntak: Pendidikan Terjebak Proyek Instan

Pendidikan
Kemal H Simanjuntak (Foto: Net)

“Sekolah menerima intervensi digital tanpa kesiapan infrastruktur dan kapasitas teknis. Evaluasi dilakukan untuk kebutuhan pelaporan donor, bukan untuk refleksi kebijakan jangka panjang”

Oleh: Kemal H. Simanjuntak

Pendidikan di Indonesia bagaikan menambal perahu bocor dengan stiker. Setiap kali lubang muncul, kita buru-buru menempelkan proyek baru, berharap kapal tetap mengapung. Namun seiring waktu, kita sadar: stiker tidak menyelamatkan kapal dari tenggelam.

Inilah gambaran bagaimana berbagai program pendidikan di Indonesia berjalan dipenuhi proyek jangka pendek yang menargetkan hasil cepat, namun luput membangun sistem yang kokoh dan tahan lama.

Proyek Pendidikan: Cepat, Instan, tapi Rapuh

Dalam satu dekade terakhir, geliat proyek pendidikan di Indonesia nyaris tiada henti. Mulai dari pelatihan guru berbasis daring, distribusi laptop dan tablet, pengadaan konten digital, sampai program mentoring berbasis modul. Sebagian besar didanai oleh anggaran negara atau lembaga mitra pembangunan internasional. Namun satu pola yang menonjol: hampir semua dirancang untuk menghasilkan output konkret dalam waktu yang relatif singkat biasanya mengikuti siklus anggaran atau program kerja lima tahunan.

Kementerian Pendidikan, mitra donor, bahkan LSM pendidikan pun tak luput dari logika ini. Indikator keberhasilan ditetapkan dalam bentuk kuantitatif, berapa guru dilatih, berapa siswa mengakses modul, berapa sekolah mendapat intervensi. Tidak salah memang, namun bila terlalu terjebak pada angka, kita lupa bahwa membentuk budaya belajar, karakter, dan mutu pendidikan adalah proses lintas generasi.

BACA JUGA  Dirut IPC TPK Kenalkan Pelabuhan Lewat Pelindo Mengajar

Siklus Proyek vs Pembangunan Sistem

Siklus proyek cenderung memunculkan inisiatif yang tidak terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Guru dilatih dalam program yang tidak nyambung dengan kurikulum yang berlaku.

Sekolah menerima intervensi digital tanpa kesiapan infrastruktur dan kapasitas teknis. Evaluasi dilakukan untuk kebutuhan pelaporan donor, bukan untuk refleksi kebijakan jangka panjang.

Hasilnya? Banyak program berakhir tanpa keberlanjutan. Aplikasi digital tak lagi dipakai setelah proyek selesai. Modul inovatif menganggur di rak karena tidak masuk sistem distribusi buku resmi. Guru yang sudah dilatih kembali ke kebiasaan lama karena tidak ada sistem pendampingan berkelanjutan.

Mengapa Kita Terjebak?

  • Logika Anggaran dan Politik: Pemerintah cenderung menyukai proyek dengan hasil instan yang bisa dipresentasikan di akhir tahun anggaran atau periode jabatan. Hal serupa juga terjadi pada mitra pembangunan yang punya tenggat program tiga hingga lima tahun.
  • Kurangnya Investasi pada Kelembagaan: Program-program pendidikan jarang menyasar penguatan lembaga seperti Pusat Data dan Informasi Pendidikan, LPMP, atau Balai Guru Penggerak. Padahal institusi inilah yang seharusnya menopang reformasi jangka panjang.
  • Ketiadaan Mekanisme Alih Pengetahuan: Banyak proyek tidak menyertakan mekanisme untuk mentransfer pengetahuan dan praktik baik kepada sistem nasional. Inovasi berhenti di satu lokasi pilot dan tidak replikatif.

Fetish terhadap Inovasi Instan: Kita terjebak dalam daya tarik solusi ‘baru’, ‘digital’, dan ‘cepat’. Padahal, banyak masalah pendidikan memerlukan intervensi sederhana namun konsisten seperti supervisi kelas, manajemen sekolah, dan pendampingan guru.

BACA JUGA  Peduli Pendidikan, PLN Bantu Sarana Pendidikan Kelompok Belajar Tunas Buana

Konsekuensi: Mutu Pendidikan Jalan di Tempat

Akibatnya bisa dilihat dari berbagai data. Survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan Indonesia masih berada di peringkat bawah dalam literasi membaca, matematika, dan sains. Bahkan, tren skor PISA Indonesia cenderung stagnan dalam dua dekade terakhir, meskipun anggaran pendidikan meningkat dan proyek terus bergulir.

Sementara itu, World Bank dalam laporan terbarunya menyebut Indonesia mengalami “learning crisis” anak-anak berada di sekolah, tapi tak cukup banyak yang benar-benar belajar. Skor Minimum Proficiency menunjukkan hanya sekitar 38% siswa Indonesia di tingkat SMP yang memenuhi standar minimum membaca dan matematika.

Solusi: Dari Proyek ke Sistem

Kalau ingin lepas dari jebakan proyek jangka pendek, kita perlu membalik arah kebijakan pendidikan dari intervensi terpisah ke penguatan sistem. Berikut beberapa langkah strategis:

  • Integrasi Proyek ke Rencana Pendidikan Nasional: Setiap inisiatif harus dikaitkan langsung dengan prioritas nasional dan dimasukkan dalam sistem pelaporan resmi, bukan proyek terpisah.
  • Perkuat Lembaga dan SDM Pendidikan: Fokus pada investasi jangka panjang terhadap pengembangan guru, kepala sekolah, pengawas, dan lembaga penjamin mutu.
  • Kebijakan Berbasis Data dan Evaluasi Jangka Panjang: Gunakan data pendidikan tidak hanya untuk laporan, tapi untuk mengarahkan keputusan kebijakan secara adaptif dan berkelanjutan.
  • Desentralisasi Cerdas: Berikan ruang bagi pemerintah daerah untuk berinovasi, tapi dengan pendampingan dan kerangka kerja nasional yang jelas agar hasilnya bisa direplikasi.
  • Pemimpin Pendidikan yang Visioner dan Konsisten: Reformasi pendidikan tidak akan berhasil jika berganti arah tiap kali berganti menteri atau kepala daerah. Diperlukan kesinambungan arah dan konsistensi implementasi. Pendidikan Butuh Napas Panjang
BACA JUGA  Bayang yang Berubah Wajah: Perempuan dan Transformasi Mi6 di Era DigitaL

Pendidikan bukan ajang pamer proyek. Ia adalah proses sosial, budaya, dan intelektual yang membutuhkan napas panjang. Negara-negara yang berhasil memperbaiki mutu pendidikannya seperti Finlandia, Korea Selatan, atau Vietnam menunjukkan bahwa tidak ada jalan pintas. Mereka membangun sistem, bukan proyek. Mereka menguatkan institusi, bukan sekadar distribusi modul.

Jika Indonesia sungguh ingin lepas dari krisis mutu pendidikan, maka saatnya meninggalkan obsesi pada hasil cepat dan mulai membangun dari akar. Kita butuh lebih dari sekadar proyek kita butuh visi, konsistensi, dan sistem.

*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)