Opini  

Ketika Krisis Kepercayaan Melanda Negeri

Yahudi. Kepercayaan
Imaam Yakhsyallah Mansur (Foto: dok.pribadi

“Untuk memulihkan kepercayaan publik, para pejabat dan pemimpin harus kembali pada esensi amanah. Jabatan bukan kehormatan pribadi, tetapi titipan rakyat dan amanah dari Allah Ta’ala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.”

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”.(QS. An-Nisa [4]: 58)

Imam As-Suyuthi rahimahullah dalam kitab Asbabun Nuzul menjelaskan sebab turunnya ayat di atas. Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah menaklukkan Kota Makkah, beliau memanggil Usman bin Thalhah, orang yang memegang kunci Ka’bah yang saat itu belum masuk Islam.

Ketika Usman datang kepadanya, Rasulullah bersabda, ‘Berikanlah kepadaku kunci Ka’bah.’ Lalu ia membawa kunci Ka’bah dan memberikannya kepada Rasulullah. Ketika itu Abbas (paman Nabi) bangkit lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikan kunci itu kepadaku agar tugas memberi minum dan kunci Ka’bah aku pegang sekaligus.’ Namun, Rasulullah tidak memberikan kunci itu kepadanya.

Setelah memegang kunci Ka’bah, Rasulullah membuka pintu Ka’bah dan masuk ke dalamnya. Kemudian, turun Malaikat Jibril ‘alaihis salam menyampaikan pesan Allah Ta’ala (Surah An-Nisa ayat 58 di atas) untuk mengembalikan kunci tersebut kepada pemegang sebelumnya. Maka Rasulullah memanggil kembali Usman bin Thalhah dan mengembalikan kunci tersebut.

Sementara itu, Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa amanah dalam ayat di atas meliputi kewajiban individu kepada Allah Ta’ala seperti salat, zakat, dan puasa, serta kewajiban sosial kepada sesama manusia seperti menjaga titipan, menepati janji, hingga memimpin dengan adil.

Dengan kata lain, amanah sejatinya mencakup seluruh aspek kehidupan seorang Muslim, baik hubungan dengan Allah (hablun minallah) maupun hubungan dengan manusia (hablun minannas).

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan penegakan keadilan dalam memutuskan perkara. Imam Fakhruddin ar-Razi rahimahullah menegaskan bahwa keadilan adalah pondasi berdirinya peradaban.

BACA JUGA  Pilpres Datang, Hati Gamang

Tanpa keadilan, masyarakat akan terpecah-belah dan kekacauan akan merajalela. Karena itu, dalam perspektif syariat Islam, keadilan merupakan salah satu maqashid asy-syari‘ah (tujuan utama syariat).

Ayat ini merupakan salah satu fondasi penting dalam membangun masyarakat yang adil, beradab, dan bermartabat. Para ulama sepakat bahwa amanah dalam ayat ini memiliki makna yang luas, mencakup segala bentuk tanggung jawab yang dipikul manusia, baik yang bersifat personal, sosial, maupun spiritual.

Amanah sebagai Pondasi Kehidupan

Apabila seseorang telah mendapatkan amanah, maka ia dituntut untuk melaksanakannya sebaik-baiknya. Ia harus menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan penuh tanggung jawab, kejujuran, dan integritas. Amanah bukan sekadar titipan, tetapi juga ujian yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala dan manusia.

Amanah ibarat fondasi sebuah bangunan. Jika fondasinya kokoh, bangunan akan berdiri dengan kuat. Namun, jika fondasinya rapuh, bangunan itu cepat atau lambat akan roboh meskipun tampak megah dari luar. Demikian pula dalam masyarakat, ketika amanah diabaikan, tatanan sosial akan runtuh.

Amanah yang diabaikan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Rasa saling curiga akan menjalar, dan konflik horizontal muncul di mana-mana. Dalam skala yang lebih besar, pengkhianatan terhadap amanah dapat menghancurkan seluruh sistem kehidupan.

Maka, pengabaian amanah bukan hanya berdampak pada materi, tetapi juga memicu krisis kepercayaan di tengah masyarakat. Ketika rakyat melihat pejabat berfoya-foya sementara mereka harus berjuang memenuhi kebutuhan dasar, lahirlah rasa kecewa, marah, dan apatis. Jika kondisi ini dibiarkan, seluruh sendi kehidupan akan runtuh.

Dalam perspektif agama, amanah (terutama kepemimpinan) bukan hanya tanggung jawab sosial, tetapi juga pertanggungjawaban spiritual kepada Allah Ta’ala di hari kiamat kelak. Dalam sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Dan sesungguhnya jabatan itu pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang benar dan menunaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.”. (HR. Muslim)

BACA JUGA  Optimisme Pariwisata di Tahun 2023

Hadis ini menegaskan bahwa jika seseorang tidak menunaikan amanahnya dengan baik, hal itu akan menjadi sumber kehinaan dan penyesalan. Namun bagi yang menunaikannya dengan benar, adil, dan penuh tanggung jawab, amanah menjadi jalan menuju kemuliaan.

Ketika Amanah Tak Tertunaikan

Rakyat Indonesia telah menyelesaikan pemilihan pemimpin dan wakil rakyat, mulai dari pilkada, pilpres, hingga pemilu legislatif. Rakyat menaruh harapan besar kepada para pemimpin untuk menjalankan tugas dan janji mereka.

Namun, belakangan rakyat tidak melihat para pejabat dan wakil rakyat menjalankan amanah dengan baik. Setelah menduduki jabatan, realitasnya jauh dari harapan. Alih-alih membela rakyat, para pejabat hidup glamor dengan berbagai fasilitas yang mereka atur melalui undang-undang.

Sementara rakyat kelas bawah berjuang menghadapi kesulitan ekonomi. Lapangan pekerjaan menyempit, banyak yang terkena PHK, dan di tengah kondisi sulit itu, pemerintah menaikkan berbagai sektor pajak, memperparah penderitaan masyarakat.

Akhirnya, lahirlah rasa dikhianati. Suara rakyat ternyata tidak digunakan untuk memperjuangkan kepentingan mereka, tetapi untuk memperkaya segelintir elit. Ketimpangan antara kehidupan pejabat dan rakyat menciptakan jurang pemisah yang dalam dan memicu gejolak sosial.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat hanya 19% masyarakat yang masih percaya pada kinerja DPR RI angka terendah sejak era Reformasi. Kepercayaan terhadap partai politik pun hanya berkisar 51-54 persen.

Rendahnya kepercayaan ini merupakan akumulasi dari banyak kejadian. Korupsi yang terus berulang, hukum yang tajam ke lawan politik, dan para wakil rakyat yang lebih loyal pada oligarki membuat rakyat kehilangan kepercayaan. Tak heran, demonstrasi dan protes terjadi di berbagai daerah. Bahkan, aksi anarkis tak bisa dihindari.

Tentu perbuatan anarkis tidak dapat dibenarkan dalam demokrasi. Namun, yang perlu dicermati adalah esensi dari kemarahan rakyat: amanah yang mereka titipkan tidak dijalankan dengan baik oleh para pejabat.

Langkah Pemulihan: Kembali ke Esensi Amanah

Untuk memulihkan kepercayaan publik, para pejabat dan pemimpin harus kembali pada esensi amanah. Jabatan bukan kehormatan pribadi, tetapi titipan rakyat dan amanah dari Allah Ta’ala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

BACA JUGA  Mengulik Reformasi Birokrasi di Ujung Kekuasaan

Setiap kebijakan harus berpihak pada rakyat. Pemimpin harus memberi keteladanan, baik dalam ucapan maupun tindakan. Penegakan hukum pun harus tegas dan adil. Korupsi tidak boleh dibiarkan apalagi dijadikan alat politik. Semua pelaku harus diproses tanpa pandang bulu.

Ketika hukum ditegakkan, rakyat akan percaya bahwa negara serius memberantas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Meritokrasi vs Monopoli Kekuasaan

Pemerintahan yang sehat harus dibangun dengan meritokrasi, yakni sistem yang menempatkan orang berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak.

Dengan meritokrasi, pemimpin dipilih karena kemampuannya, bukan karena kedekatan politik atau hubungan keluarga. Jika tidak, kehancuran sosial menjadi keniscayaan.

Rasulullah bersabda:

“Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”.(Muttafaq ‘Alaih)

Hadis ini menegaskan pentingnya memberikan amanah kepada orang yang memiliki kompetensi dan integritas.

Sejarah pun mengonfirmasi: ketika Presiden Soekarno memilih menteri yang bukan ahlinya, rezimnya hancur. Di akhir masa Presiden Soeharto, praktik KKN menyebabkan kejatuhan kekuasaannya. Ketika Presiden Jokowi memperkuat politik dinasti dan mengangkat orang-orang terdekatnya tanpa mempertimbangkan kompetensi, hasilnya adalah kerusakan sosial yang kita saksikan hari ini.

Maka, meritokrasi adalah sebuah keniscayaan. Dengan sistem ini, kebijakan menjadi tepat sasaran, pelayanan publik optimal, dan kepercayaan masyarakat pulih.

Rakyat dan pemimpin harus saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan. Dengan komitmen terhadap nilai amanah, keadilan, dan keberpihakan pada kebenaran, Indonesia akan keluar dari krisis dan menjadi bangsa yang adil, makmur, dan berdaulat. Insyaallah.

*Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia.