JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Sebuah kolaborasi penting kembali terjalin antara Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) dan Mahkamah Agung Kerajaan Belanda (Hoge Raad der Nederlanden) dalam upaya memperkuat sistem hukum pidana yang lebih adil dan manusiawi.
Diskusi strategis yang berlangsung pada Rabu, (18/6/2025) ini mengangkat tema penting “Pidana Penjara Sebagai Ultimum Remedium Peran MA RI dalam Mendorong Penjatuhan Hukuman yang Proporsional dan Adil.”
Kegiatan ini merupakan bagian dari kemitraan yudisial yang telah terjalin sejak 2013, dan kini semakin relevan seiring dengan implementasi KUHP Nasional terbaru, yang akan berlaku efektif mulai 2 Januari 2026.
Disebutkan bahwa diskusi ini menjadi bagian dari upaya menyambut diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. KUHP baru ini membawa perubahan fundamental dengan mengedepankan pendekatan restoratif, korektif, dan rehabilitatif, bukan lagi semata retributif.
Ketua Kamar Pidana MA, Dr. H. Prim Haryadi, S.H., M.H., menyampaikan bahwa sistem pemidanaan di Indonesia perlu mencontoh negara-negara yang telah lebih dulu menerapkan alternatif hukuman penjara, seperti Belanda.
“Kami tidak hanya bertukar pengalaman, tetapi juga sedang menyusun ulang arah keadilan pidana agar lebih proporsional berkeadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat,” jelasnya dalam keterangan tertulisnya, pada Minggu (22/6/2025).
Diskusi tersebut turut dihadiri delegasi dari Mahkamah Agung Belanda, termasuk Presiden Hoge Raad Dineke de Groot, Wakil Ketua Meriken Van Hilten, serta Hakim Tjis Kooijmans, yang memaparkan pendekatan Belanda terhadap pemidanaan.
Dalam sistem hukum Belanda, hukuman penjara digunakan hanya sebagai jalan terakhir (ultimum remedium). Hakim diharuskan menjelaskan secara detail mengapa hukuman penjara dijatuhkan, alih-alih opsi lain seperti kerja sosial, denda, atau rehabilitasi.
“Terkadang, kerja sosial jauh lebih tepat dibanding penjara, terutama jika penahanan akan berdampak besar pada kehidupan keluarga atau pekerjaan terdakwa,” ungkap Kooijmans.
Data di Belanda menunjukkan bahwa tingkat residivisme lebih rendah pada pelaku yang menjalani hukuman kerja sosial dibanding mereka yang dipenjara.
Namun, tidak semua pelaku berhak atas hukuman alternatif. Untuk kasus berat seperti pembunuhan dan kejahatan narkotika, pidana penjara tetap dijadikan prioritas. Bahkan pada kasus pidana bersyarat, pelaku diwajibkan mematuhi sejumlah ketentuan, seperti Memberi kompensasi kepada korban, menjaga jarak dari korban, wajib lapor berkala dan mengikuti program rehabilitasi
Selain itu, pelaksanaan hukuman non-penjara diawasi langsung oleh Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK Bapas), yang akan memastikan hukuman berjalan sesuai perintah pengadilan.
Diskusi ini juga menjadi bagian dari upaya finalisasi RUU KUHAP, sekaligus menegaskan komitmen MA dalam membangun sistem hukum yang inklusif dan memulihkan. Kerja sama dengan Belanda diharapkan dapat menjadi rujukan dalam memperkuat konsistensi putusan serta menghindari over kriminalisasi.
“Kami ingin membentuk hukum pidana Indonesia yang tidak hanya menghukum, tapi juga mengembalikan fungsi sosial pelaku ke tengah masyarakat,” tegas Prim Haryadi menutup sesi diskusi.(PR/04).