JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan presiden serta para menteri boleh berkampanye dan berpihak menuai perhatian publik. Pihak Istana Kepresidenan menilai, banyak pihak yang salah mengartikan pernyataan Jokowi mengenai presiden dan menteri yang boleh memihak dan ikut kampanye pada gelaran Pemilu.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menyebut, pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden boleh kampanye, telah banyak disalahartikan. Menurut Ari, saat itu Jokowi menjawab pertanyaan media terkait Menteri yang ikut dalam tim sukses.
“Dalam merespons pertanyaan itu, Bapak Presiden memberikan penjelasan terutama terkait aturan main dalam berdemokrasi bagi Menteri maupun Presiden,” kata Ari kepada wartawan, Kamis (25/1).
Ari menerangkan, konteksnya saat itu Jokowi menjelaskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sementara Kampanye Pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, dan juga kepala daerah dan wakil kepala daerah.
“Artinya presiden boleh kampanye, ini jelas ditegaskan dalam Undang-Undang,” ucap Ari.
Kendati begitu, lanjut Ari, ada syarat presiden untuk berkampanye. Mulai dari tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali pengamanan bagi pejabat, hingga menjalani cuti di luar tanggungan negara.
“Dengan diizinkannya Presiden untuk berkampanye, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak Presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau Pasangan Calon tertentu sebagai peserta Pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU,” ujarnya.
Selain itu, Ari mencontohkan keberpihakan politik juga terjadi dari presiden sebelumnya seperti presiden kelima dan keenam RI yang ikut serta dalam kampanye untuk memenangkan partai yang didukung.
Namun ia menegaskan, bagi pejabat publik dan politik harus memperhatikan aturan yang berlaku dalam hak mendukung paslon dan berkampanye.
“Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktek politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi,” pungkasnya.(03)