Opini  

Mengingkari Ibu Pertiwi

Dr. Ichsanuddin Noorsy Mengingkari Ibu Pertiwi
Dr. Ichsanuddin Noorsy (Foto: Istimewa)

Oleh Ichsanuddin Noorsy

Bangsa Indonesia merugi jika elite politik melaksanakan Sidang MPR-RI untuk mengamandemen UUD 2002 dalam rangka menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) setelah Pilpres Februari 2024.

Kemenkumham Bali

Penyebab utamanya adalah, Pilpres yang berlangsung sejak 2004 hingga 2019 telah melahirkan bangsa terbelah (Ichsanuddin Noorsy, 2019).

Hal ini dialami AS sejak lama, dan makin terasa sejak Donald Trump terpilih sebagaiPresiden AS ke 45. Februari 2017 Obama menyatakan kesediaannya menjadi jembatan berbagai elemen bangsa yang terbelah.

Sebelum 2016, dengan sistem ekonomi politik berbasis individualis liberal dan pasar bebas, AS mengidap ketimpangan pendapatan (rasio Gini) dan ketimpangan rasialis pada level seperti kanker stadium empat, urai JE Stiglitz, Penerima Nobel Ekonomi, merespons didudukinya Wall Street Kota New York pada 17 September 2011 hingga 15 Nopember 2011. Hingga saat ini“penyakit” itu tak tersembuhkan.

Kritik sistem politik berbasis demokrasi liberal sebenarnya juga disampaikan Noam Chomsky dan Edward W Said. Mereka melihat, demokrasi liberal merupakan cara AS untuk melakukan penetrasi terhadap suatu negara.

Kajian mereka diakui secara tidak langsung oleh Presiden AS ke-44 Barack Obama dalam pidato bertajuk “A New Beginning” di Kairo pada 4 Juni 2009 bahwa demokrasi liberal yang dipaksakan AS ke penjuru dunia seperti tertuang dalam dokumen National Security Strategy of USA 17 September 2002 tidak kompatibel dengan nilai-nilai dan sistem negara bangsa lain.

Maka, saat kebijakan luar negeri AS tentang Arab Spring pada 2010 dilaksanakan, hasilnya adalah enam dari sembilan negara di jazirah Arab berantakan.

Tidak lama kemudian, pada 2013 terbitlah buku William Blum berjudul “America’s Deadliest Export: Democracy-The Truth about Foreign Policy and Everything Else”.

Di Indonesia keterbelahan itu makin menguat sejak SBY menjadi Presiden RI 2004-2014, sementara dikhotomi cebong-kampret sejak Joko Widodo berkuasa dan tumpulnya hukum ke atas dan ke pihak yang mendukung penguasa hingga kini memberi pesan bahwa liberalisme politik dan surplus politisi-defisit negarawan telah memantik konflik masyarakat.

BACA JUGA  MRP Selayaknya Menjadi "Bapa” Bagi Semua Suku di Papua Tengah

Kerugian lainnya adalah, sulitnya mensinerjikan antara presiden yang dipilih secara liberal dengan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang diproduksi oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Dalam lingkup keterpilihan dan keterwakilan, mungkin saja presiden terpilih melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat memenuhi sebagian partisipasi politik masyarakat. Namun patut dicatat, Presiden terpilih itu diusulkan dan diusung oleh partai politik.

Bagaimana dengan masyarakat luas lainnya yang merasa bahwa calon presiden terpilih itu bukan dan tidak merupakan aspirasi mereka sehingga tidak merasa terwakili? Saat yang sama bobot keterpilihan itu juga semu karena menyama-ratakan bobot suara berbagai lapisan masyarakat yang majemuk.

Adalah tidak sama bobot suara profesor dengan mahasiswa, suara pilot dengan rata-rata pengemudi motor ojek, atau suara pemimpin dengan pesuruh. Kesetaraan suara dalam demokrasi liberal itu menjadi semu, apalagi jika masyarakat memilih karena sogokan “merah” atau“biru”, atau dikenal dengan “nomer piro wani piro” (NPWP), maka hasilnya keterwakilan dan keterpilihan menjadi semu.

Otoritas kewenangan politik yang ditampuk pun menjadi semu. Sementara dalam lingkup kerjasama dan keterikatan sosial, pemilu liberal telah membuahkan rusaknya kepercayaan sosial (social distrust), luruhnya ketertiban masyarakat (social disorder), dan pembangkangan sosial (social disobedient) atas etika dan moral (Ichsanuddin Noorsy, 2004).

Bermula dari Amandemen UUD 1945

Sementara itu Gerakan pemakzulan oleh 100 tokoh dan propaganda “people power” oleh sejumlah orang menggambarkan telah bergesernya pembangkangan sosial menjadi pembangkangan politik bahkan merupakan wujud perlawanan politik.

Benar bahwa pembangkangan itu adalah demokrasi, sebagaimana juga umpatan “dungu” dan “bajingan tolol”. Tapi hal itu mencerminkan kualitas kecerdasan emosional dan intelektual berpolitik meningkat yang juga menyiratkan menurunnya kualitas kecerdasan spiritual.

BACA JUGA  "Gharar" Terlarang, Tapi Kenapa Terus Berkembang?

Di sana terlihat jelas bahwa pendidikan politik masyarakat tergiring bukan saja melalui pendengung (buzzer) dan influencer, industri riset (pembuat jajak pendapat) serta media massa arus utama, tapi juga melalui perilaku elite politik yang sulit diteladani.

Cermin demokrasi liberal ini dikeluhkan Presiden Joko Widodo sebagai hilangnya kesantunan dan budi pekerti. Ironinya, keluhan ini tidak merujuk pada akar masalahnya: demokrasi liberal dan pola hidup individual materialis yang menegaskan kesuksesan diukur dengan tingginya tahta dan banyaknya harta.

Alhasil pemilihan langsung Presiden bertentangan dengan sila ke empat Panca Sila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Juga menihilkan sila ke dua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tanpa kita sadari, semua bermula dari amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002. Dampaknya, Pancasila tinggal kata-kata.

Maka, pada saat seseorang merefleksikan dirinya sebagai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, hal itu bermakna ganda. Di satu sisi Pancasila dipakai untuk membenarkan kebijakannya, di sisi lain dia menyadari bahwa terjadi pengebirian nilai-nilai dasar bangsa Indonesia.

Pada titik ini, kerugian bangsa dan negara menjadi tidak terhitung jumlahnya. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang paling munafik. Bersumpah atas nama Allah SWT dan mengikrarkan untuk menjalankan Pancasila, namun dalam praktiknya bukan saja kita tinggalkan, kita pun menghianatinya.

Kerugian yang tidak terhitung nilainya itu makin terasa saat kita mengkalkulasi, berapa biaya per pemilih pada setiap pemilu. Dengan memperhatikan angka partisipasi pemilih dan besarnya biaya pemilu, maka pada 2004 biaya per pemilih mencapai Rp35.766.

Pada pemilu 2009 berkisar Rp69.908, pemilu 2014 sekitar Rp115.187, dan pemilu 2019 menjadi Rp161.949. Jika pemilu serentak dilaksanakan pada 2024, biaya per pemilih adalah Rp419.907.

BACA JUGA  Prof Enny, Ketukan Palumu Ditunggu R.A Kartini dan Dewi Keadilan

Memperhatikan ucapan petinggi negara agar anggaran tidak boros, tentu menjadi penting bangsa Indonesia mengantisipasi krisis keuangan, pangan dan energi selain mendesaknya kita mengatasi pengangguran dan kemiskian serta menurunkan angka rasio gini.

Sekaligus kita memperbaiki struktur anggaran agar keseimbangan primer yang negatif tidak membesar. Defisit anggaran pun tidak membengkak. Karenanya, memilih Presiden di MPR memberi jalan keluar dari berbagai persoalan.

Alasannya, komitmen pada Pancasila terpenuhi, perencanaan masa depan lebih baik, bangsa tidak terbelah, hemat anggaran, dan kevakuman aturan ketata negaraan dalam keadaan kegentingan yang memaksa teratasi.

Atas dasar itu, kalau ada kalangan yang menolak pengembalian status dan kedudukan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih presiden dan menetapkan PPHN, maka patut diduga mereka adalah pengibar panji-panji liberal-materialis yang bertentangan dengan Pancasila dan semangat kejuangan para pejuang kemerdekaan.

Mereka bukan saja tidak menghargai dan menghormati para pejuang, tapi sekaligus mengarahkan bangsa mengalami keterpecahan (disintegrasi), dan tetap dalam kungkungan sistem neoliberal.

Selain ancaman serius itu, kemampuan menghadapi era turbulensi juga tidak memadai, kecuali tunduk pada kemauan eksternal yang menggadaikan kedaulatan negara ini. Pasti Ibu Pertiwi bukan lagi menangis, namun sakit hati karena diingkari. Maka, adalah layak MPR-RI bersidang sebelum Pemilu 2024.

*Penulis, Dr. Ichsanuddin Noorsy, adalah Pengamat Politik Ekonomi yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).