“Melalui sudut pandang hukum adat dan konstitusional, sangat jelas bahwa Sinuwun Pakoe Boewono XIII memiliki legitimasi penuh sebagai pemimpin adat tertinggi Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Keppres Nomor 23 Tahun 1988 tidak pernah meniadakan kedudukan itu, melainkan justru menjadi dasar penguat eksistensial Karaton dan kepemimpinannya dalam koridor NKRI.”
Oleh Mas Kanjeng Raden Aryo (KRA) Samsul Wijoyonagoro
Dalam dinamika keindonesiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya bangsa, posisi pemimpin adat menjadi fondasi penting dalam menjaga kesinambungan tradisi, kearifan lokal, dan identitas komunitas. Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai salah satu pusat budaya Jawa memiliki struktur kepemimpinan adat yang melekat pada sosok Sinuwun (raja), yang dalam konteks sekarang dipegang oleh SISKS Pakoe Boewono XIII.
Namun, dalam praktik di lapangan, masih sering muncul narasi keliru yang mempertanyakan atau bahkan mengaburkan posisi Sinuwun sebagai pemimpin adat tertinggi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menilik secara cermat legal standing dari keberadaan dan posisi Sinuwun melalui pendekatan hukum positif, khususnya dengan merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Kepres ini ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada 4 Juli 1988 sebagai bentuk pengakuan dan pengaturan terhadap keberadaan Karaton Surakarta pasca pembekuan status daerah istimewa pada tahun 1946. Dalam konsiderannya, Kepres ini menyebutkan bahwa Karaton Surakarta merupakan pusat kegiatan adat dan kebudayaan Jawa yang memiliki nilai sejarah tinggi dalam perjuangan bangsa Indonesia, serta sebagai simbol kedaulatan budaya masyarakat Jawa.
“Pemerintah mengakui keberadaan Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai lembaga adat dan kebudayaan yang tetap memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa.”
Dengan kalimat ini, negara secara de jure mengakui eksistensi Karaton Surakarta sebagai lembaga adat, dan dalam hukum adat, lembaga adat tentu memiliki struktur otoritas yang paling tinggi pada pemangku adat tertinggi, yakni raja atau Sinuwun.
Dalam kerangka hukum adat yang berlaku secara nasional, sebagaimana dimuat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bersandar pada prinsip ini, maka Karaton Surakarta sebagai masyarakat hukum adat yang telah hidup jauh sebelum Indonesia berdiri tetap diakui eksistensinya. Dengan demikian, pemimpin tertinggi dalam struktur masyarakat adat Karaton, yakni Sinuwun, memiliki legitimasi hukum sebagai pemangku otoritas adat tertinggi.
Tidak ada satu pun pasal dalam Keppres tersebut yang menunjuk atau mengalihkan kewenangan kepemimpinan adat kepada lembaga lain selain raja atau Sinuwun. Bahkan pengelolaan Karaton ditegaskan tetap berada dalam koridor kultural dan adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun.
Sejak naik takhta, SISKS Pakoe Boewono XIII adalah satu-satunya figur yang memenuhi syarat genealogis, historis, dan kultural sebagai penerus sah takhta Karaton Surakarta.
Otoritas adat tidak dapat direduksi menjadi sekadar fungsi administratif atau simbolik. Ia adalah living institution, lembaga yang hidup melalui nilai, ritual, simbol, dan otoritas sosial yang terus diwariskan. Maka, upaya untuk menafikan atau menggugat otoritas Sinuwun atas nama badan hukum lain atau kelompok tertentu tanpa dasar hukum yang sah adalah bentuk penyimpangan terhadap hukum adat dan penghinaan terhadap tatanan budaya bangsa.
Keppres dan Roh Kepemimpinan Adat
Keppres Nomor 23 Tahun 1988 bukan hanya bentuk pengakuan administratif, melainkan bagian dari perlindungan konstitusional terhadap lembaga adat. Dalam kerangka ini, Sinuwun sebagai pemimpin adat tertinggi adalah manifestasi konkret dari keberadaan Karaton itu sendiri. Tanpa Sinuwun, Karaton hanya menjadi bangunan kosong tanpa roh.
Oleh karenanya, negara semestinya tidak tinggal diam ketika terjadi upaya-upaya pelemahan terhadap posisi Sinuwun. Justru, negara berkewajiban untuk menjaga martabat dan keberlangsungan Karaton melalui penguatan fungsi dan otoritas adat yang melekat pada Sinuwun Pakoe Boewono XIII, sebagai bagian dari warisan budaya takbenda yang diakui UNESCO dan termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Melalui sudut pandang hukum adat dan konstitusional, sangat jelas bahwa Sinuwun Pakoe Boewono XIII memiliki legitimasi penuh sebagai pemimpin adat tertinggi Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Keppres Nomor 23 Tahun 1988 tidak pernah meniadakan kedudukan itu, melainkan justru menjadi dasar penguat eksistensial Karaton dan kepemimpinannya dalam koridor NKRI.
Kita, sebagai warga negara yang berbudaya, tidak boleh buta hukum dan buta sejarah. Menghormati Sinuwun berarti menghormati jati diri bangsa sendiri.
*Penulis Mas Kanjeng Raden Aryo (KRA) Samsul Wijoyonagoro adalah Pengamat Hukum Adat
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis untuk tujuan edukatif dan kajian hukum adat. Isi dan pandangan yang disampaikan tidak mewakili pandangan redaksi. Koreksi dan masukan konstruktif sangat dihargai.