“Apabila tren ini dibiarkan tanpa kontrol, dampak psikologisnya dapat serius. Anak-anak maupun orang dewasa berisiko mengalami stres, kecemasan, hingga depresi karena tekanan untuk selalu tampil sempurna.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Belakangan, muncul fenomena konten kreator yang berperan sekaligus sebagai motivator di media sosial. Pengamat sosial, Nolan Soetiyono, S.Psi., menilai tren ini menarik karena menggabungkan dua hal sekaligus: motivasi dan kontenisasi.
“Pengaruh digital serta mudahnya memperoleh pundi-pundi uang membuat seseorang sering tidak terkendali dalam memperhitungkan konten yang dibuat. Minimnya rasa tanggung jawab dapat menimbulkan dampak negatif, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat,” ujar Nolan Soetiyono dalam keterangan tertulis yang diterima sudutpandang.id, Kamis (21/8).
Nolan menambahkan, apabila literasi pembuat konten rendah, mereka rentan menjadi sasaran perundungan, sedangkan penonton juga berisiko mengalami dampak psikologis yang merugikan.
Beberapa negara telah lebih dulu mengatur fenomena ini. Baru-baru ini, Tiongkok kembali menerapkan kebijakan kontroversial dengan mewajibkan para influencer atau konten kreator memiliki sertifikasi sebelum membuat konten bertema sensitif, seperti keuangan, kesehatan, hukum, dan pendidikan. Tujuannya adalah memastikan konten aman, bertanggung jawab, serta tidak membahayakan kondisi psikologis penonton.
Nolan menegaskan, apabila tren ini dibiarkan tanpa kontrol, dampak psikologisnya dapat serius. Anak-anak maupun orang dewasa berisiko mengalami stres, kecemasan, hingga depresi karena tekanan untuk selalu tampil sempurna. Penonton juga dapat terbawa ekspektasi tidak realistis, rasa iri, atau frustrasi. Dampak tersebut berpotensi mengganggu kesehatan mental masyarakat luas sekaligus perkembangan manusia pada masa depan.
Dari perspektif psikologi, Nolan melihat motivator terbaik terbagi dalam dua tipe. Pertama, Experiential Motivator, yaitu mereka yang memiliki pengalaman hidup nyata sehingga bisa menjadi teladan. Kedua, Theoretical Motivator, yakni mereka yang memiliki dasar ilmu kejiwaan atau mental.
“Namun, motivasi tetaplah hanya sistem pendukung pada lapisan awal. Dampak positif baru terasa apabila motivasi terus diulang dan diwujudkan melalui tindakan nyata. Pada akhirnya, motivator terbaik adalah diri kita sendiri,” tegasnya.
Ia mengingatkan, tanpa kontrol dan literasi, negara menghadapi risiko jangka panjang: generasi yang tertekan, produktivitas rendah, dan kualitas sumber daya manusia menurun. Media sosial yang tidak diawasi justru bisa menghambat pembangunan sosial dan ekonomi.
Nolan kembali menegaskan, masyarakat perlu bijak menyeimbangkan motivasi dan kontenisasi. Dunia digital memang membuka peluang besar, tetapi risikonya juga tidak kecil. Karena itu, literasi digital, edukasi, dan regulasi harus diperkuat agar media sosial benar-benar menjadi sumber inspirasi, bukan tekanan.
Ia mengingatkan, anak-anak dan generasi muda perlu tumbuh dalam lingkungan yang sehat serta mampu memanfaatkan teknologi secara positif.
“Masa depan bangsa sangat bergantung pada kualitas mental dan karakter generasi penerus,” pesan Nolan, psikolog yang dikenal berpenampilan anggun.(01)