Opini  

Pernyataan Yusril Politik Belah Bambu Komunitas Advokat

Single Bar atau Multibar. Komunitas Advokat
Muhammad Yuntri.(Foto:Dok.Pribadi)

Oleh Muhammad Yuntri, Pembina Indonesia Advocate Wacth (I.A.W)

Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Bali 5 Desember 2024 lalu, menyatakan bahwa “Peradi adalah State Organ (Lembaga Negara) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)-RI, sedangkan organisasi profesi advokat lainnya dianggap organisasi masyarakat atau ormas.

Ucapan Selamat Idul Fitri MAHASI

Pernyataan Yusril tersebut seperti politik belah bambu, yang satu diangkat, dan yang satu diinjak. Kenapa Pemerintah harus terang-terangan memihak ke Peradi sebagai wadah tunggal Advokat?, sedangkan eksistensi Organisasi Advokat (OA) lainnya merasa dinisbikan, padahal Organisasi Profesi Advokat itu tidak hanya Peradi.

Diduga reaksi pemerintah yang diwakili oleh Prof. Yusril sebagai manuver awal agar Peradi tetap diperhitungkan sebagai wadah tunggal. Yusril dan Otto Hasibuan, Menko dan Wakil Menko yang tampil sebagai wakil pemerintah, keduanya notabene adalah praktisi dari Peradi. Betapa tidak, sebelumnya Badan Legislasi Nasional (Balegnas) DPR-RI di bawah kepemimpinan Dr. Bob Hasan yang merupakan Sekjen Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) telah memberi kesempatan kepada HAPI menyampaikan aspirasinya melalui Rapat Dengar Pendapat Pendapat Umum (RDPU) akhir November 2024. Isu hangat mengubah sistem singlebar pada Pasal 28 (1) UU Advokat No.18 Tahun 2003 (UU Advokat) menjadi multibar. Dimana kebutuhan revisi UU ini seolah muncul atas inisiatif Balegnas. Ibarat pepatah: Ada aksi muncul reaksi, dibalas kontan dan konkret, bagaikan kata berjawab gayung bersambut.

Kegaduhan pun muncul di komunitas advokat, berembus angin kencang meminta Yusril mundur dari Kabinet Merah Putih Prabowo dengan alasan negara memihak dan tidak netral lagi.

Dari peristiwa di atas muncul pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah pernyataan Yusril itu sebagai politik ethis pada koleganya Otto Hasibuan selaku sebagai Wamen?.

2. Bisakah Peradi dikatakan sebagai Organ State (Lembaga Negara)?.

Di saat tidak menjabat di pemerintahan, Yusril memang menjalankan profesi praktisi hukum. Sehingga bisa membuka Kantor Hukum “Ihza & Ihza” bertaraf internasional sejak 9 Februari 2015 lalu di Bali. KTA Peradi yang diterimanya dari pimpinan Peradi Otto Hasibuan kala itu disinyalir tanpa melalui Ujian Profesi Advokat (UPA) yang didahului dengan Pendidikan Khusud Profesi Advokat (PKPA) sebagaimana disyaratkan Pasal 3 UU Advokat. Kemampuan akademisnya sangat mumpuni di bidang hukum diperkirakan tidak akan mau menjalani persyaratan tersebut. Bahkan Sumpah Profesi Advokat pun baru dilakukannya pada tahun 2018.

Kalau Peradi akan dikukuhkan secara politis oleh pemerintah sebagai organ negara yang bersifat singlebar atas dasar putusan MK-RI, itu sangat bertentangan dengan fakta dan logika akal sehat (common-sense).

Makanya, penulis menyampaikan analisa khusus dari aspek legal dan historis pendirian Peradi sebagai berikut:

  • Tidak ada bunyi putusan MK seperti itu

Dari 22 putusan MK dalam uji materil terhadap UU Advokat, tidak ada satupun amarnya memutuskan Peradi sebagai wadah tunggal Advokat. Misalnya dalam putusan MK No.101 Tahun 2009 hanya menyatakan bahwa secara de facto ada 2 (dua) OA, yaitu Peradi dan Kongres Advokat Indonesia (K.A.I). MK memberi tengat waktu dua tahun melalui peradilan umum untuk menentukan OA mana yang sah secara de jure. Begitu juga dengan Putusan MK No.36 Tahun 2015, hanya menyatakan bahwa setiap Pengadilan TInggi (PT) wajib mengambil sumpah advokat dari Peradi maupun dari K.A.I bagi calon Advokat yang telah memenuhi syarat.

  • Kurang tepat memaknai organ state

Pasal 5 UU Advokat menyatakan bahwa advokat sebagai penegak hukum. Maknanya tidak lain adanya kesetaraan eksistensi personal advokat dengan keempat pilar caturwangsa penegak hukum lainnya, seperti Polisi, Jaksa dan Hakim. OA sebagai wadah para advokat bukan berarti harus dianggap sebagai organ state (badan negara murni). Walau Pasal 28 ayat (1) UU Advokat menyatakan OA merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, hanyalah bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Kalau dikukuhkan sebagai badan negara murni tentu akan berdampak dan berkonsekuensi juridis membebani APBN.

Penulis mengutip pendapat mantan Hakim MK, Dr. Maruarar Siahaan, yang mengatakan bahwa wadah tunggal OA tempat bernaungnya para advokat selaku sebagai penegak hukum akan lebih tepat dikatakan sebagai Auxiliary Owned State, yaitu badan negara yang diperluas yang bisa mandiri mengatur dirinya sendiri tanpa membebani APBN. Di sinilah perbedaan nyata dari pernyataan Yusril tersebut.

  • Makna pada Pasal 28 UUA :

Setelah lahirnya UU Advokat Tahun 2003, maka 8 (delapan) OA yang sudah ada saat itu, yaitu : IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, HKHPM, AKHI, SPI dan APSI secara juridis harus melebur kepada wadah tunggal OA (baru). OA baru inilah yang akan memerankan badan negara yang diperluas (auxiliary owned state) dan itu harus dibentuk langsung oleh para advokat itu sendiri (melalui forum Munas para advokat) secara demokratis dan transparan lazimnya bertempat di ibukota Negara. Pembentukannya mutlak harus mengacu kepada UU Advokat.

  • Makna pada pasal 28 dan pasal 32 UU ADVOKAT 

Makna yang terkandung pada Pasal 28 (1) dan Pasal 32 (4) UU Advokat adalah bahwa wadah tunggal OA harus berdiri dalam tengat waktu dua tahun setelah berlakunya UU tersebut, yaitu sampai batas waktu tanggal 23 April 2005. Sedangkan K.K.A.I (Komite Kerja Advokat Indonesia) yang sudah dibentuk sebelum lahirnya UU Advokat dan melahirkan Kode Etik Advokat hanyalah bersifat sementara, layaknya suatu komite pada suatu organisasi, dan harus bubar dengan sendirinya setelah lahirnya UU Advokat, vide pasal 32 (3) UUA yang menyatakan bahwa “untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).”

BACA JUGA  Kemampuan Yusril, Bisa Dimanfaatkan Untuk Kepentingan Bangsa

Eksistensi KKAI ini sekaligus menunjukkan sikap keseriusan para pimpinan 8 OA untuk bersatu di masa transisi menunggu lahirnya OA baru yang harus dibentuk berdasarkan dan mengacu kepada UU Advokat. Setelah lahirnya UU Advokat pada tanggal 23 April 2003, peran OA diperankan sementara oleh 8 OA di atas, vide pasal 32 (3) UUA.

  • Kelahiran Peradi Cacat Hukum

Dari aspek tempos delicti pendiriannya, hanya Peradi yang memenuhi kriteria pasal 32 (4) jo. Pasal 28 (1) UU Advokat karena dilahirkan tanggal 21 Desember 2004 di Ibu kota Negara Indonesia. Kelahiran Peradi dibidani dari hasil ‘kongko-kongko” 16 tokoh OA (lama) di atas di Puncak Bogor. Walau Akta Pendirian No.30 diberlakukan surut karena baru dibuat pada tanggal 8 September 2005 dengan judul “Akta Pernyataan Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia,” tapi masih dalam tengat waktu sebelum 23 April 2005. Pilihan nama Peradi pun juga merupakan salah satu alternatif, dengan cara menghilangkan huruf “n” pada Peradin dari singkatan dan berkonotasi sama.

Tapi amat disayangkan pendirian Peradi kala itu penuh hasrat kekuasaan oleh segelintir tokoh advokat senior dari 8 OA tersebut yang khawatir tidak kebagian “kue” kekuasaan dalam OA baru. Sehingga pendirian Peradi dilakukan secara tertutup tidak melibatkan advokat seluruh Indonesia dan tidak demokratis. Lagi pula kedelapan tokoh OA, saat itu tidak punya mandat khusus untuk mengatasnamakan OA asalnya untuk mendirikan Peradi yang harus diperolehnya dari hasil Munas OA nya sendiri yang ditujukan kepada ketua dan sekjen OA.

Maka cara seperti itu lebih tepat dikatakan sebagai pendirian suatu persekutuan perdata biasa, seperti halnya mendirikan suatu Law office secara bersama-sama untuk saling mengikatkan dirinya saja secara terbatas khusus bagi yang menandatangani Akta Peradi tersebut.

Tersirat pada Pasal 28 (1) UU Advokat pendirian OA harus melibatkan para advokat seluruh Indonesia yang tentunya harus dilakukan melalui forum Mumas para advokat seluruh Indonesia dan bertempat di ibukota Negara Indonesia. Nah, di situlah cacat hukumnya pendirian Peradi. Secara prinsip, kalau pendirian suatu badan hukum itu cacat hukum, maka akan berdampak dan berkonsekuensi logis-juridis kepada semua produk turunannya harus dianggap cacat hukum pula !

  • Koreksi dan Komplain terhadap Pendirian Peradi

Tokoh adokat paling senior kala itu, Bang Adnan Buyung Nasution (ABN) berusaha mengoreksi pendirian Peradi yang menyimpangi marwah demokrasi dan tidak transparan. Karena merasa telah bersusah payah melahirkan UU Advokat bersama Komisi III DPR-RI yang selama ini belum terwujud. Keterpanggilan jiwanya muncul spontan dan merasa punya beban moral untuk meluruskan kembali pendirian Peradi yang menyimpang itu. Surat resmi beliau tertanggal 28 Desember 2005 bernomor 071/ABNP/ABN/XII/2005 dilayangkan kepada DPN Peradi dan tembusannya kepada semua lembaga negara terkait.

Usaha perbaikan itu dilakukannya secara terus menerus melalui kajian ilmiah beberapa kali seminar nasional di Jakarta dan akhirnya terwujud OA baru bernama “Kongres Advokat Indonesia” (K.A.I). Saat itu dideklarasikan bersama oleh lebih kurang 4.000 Advokat yang hadir dari seluruh Indonesia, bertempat yang sama dengan pendirian Peradi sebelumnya di Balai Sudirman, Jakarta Selatan pada tanggal 30 Mei 2008.

  • Pembubaran Peradi

Setelah berdirinya OA KAI secara mantap atas dukungan ribuan advokat seluruh Indonesia, maka 4 pimpinan OA (lama), yaitu dari IKADIN, IPHI, HAPI dan APSI menarik diri dari Peradi serta menyatakan pembubaran Peradi berdasarkan Akta No. 67 Notaris di Jakarta tanggal 30 Desember 2008. Pembubaran itu diumumkan di harian Media Indonesia tanggal 9 Juni 2009. Akan tetapi walau sudah dibubarkan, tapi putusan MK No.101 tahun 2009 tetap menyatakan bahwa secara de facto diakui ada dua OA di Indonesia, yaitu Peradi dan KAI.

  • Multi tafsir Pasal 28 (1) UU Advokat terhadap Pasal 28 UUD’45

Ketentuan pasal 28 (1) UU Advokat ini sudah pasti dan bersifat khusus (lex specialis). Sebagian oknum advokat mencoba berkreasi atau kecerdikan baru guna menyimpangi ketentuan yang ada, dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang intinya “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” mencoba mendirikan organisasi baru berdasarkan UU Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) No. 17 tahun 2013. Menggunakan embel-embel ada kata “Advokat” pada sebagian nama organisasinya, yang seolah-olah membentuk OA baru pula. Eksistensi organisasi seperti itu, saat ini dikenal dengan sebutan “Ormas rasa OA (ORO)”. Semestinya pendirian setiap organisasi profesi itu harus mengacu kepada UU profesinya sendiri, bukan berdasarkan UU Keormasan No.17 Tahun 2013. Seperti pendirian organisasi kedokteran I.D.I mengacu kepada UU Kedokteran, organisasi Notaris I.N.I mengacu kepada UU Notaris, organisasi hakim IKAHI mengacu kepada UU Kehakiman atau UU MA-RI, dan lain-lain.

Pimpinan “ORO” ini tidak pernah merasa bersalah karena advokat yang diproduksinya juga diakui oleh pemerintah dan diambil sumpahnya oleh PT setempat walau organisasinya tidak terdaftar pada sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) di Kementerian Hukum R.I

Kebebasan berserikat dimaksud mestinya harus dimaknai sebagai wadah tempat pembinaan dan konsolidasi para anggotanya yang pantas sebagai “PAGUYUBAN” saja. Tetapi sebagian mereka ada yang berniat untuk menjadi pesaing dari OA yang sudah eksis (Peradi dan KAI). Menurut mereka, sepanjang tidak ada larangan dan tidak ada yang memberi sanksi, mereka anggap hal itu diperkenankan dan dibenarkan. Dan mereka merasa berhak pula sejajar dengan OA Peradi dan K.A.I. yang mengaku-ngaku mengemban wadah tunggal itu.

  • PKPA mutu rendah dan ilegal

Ternyata advokat yang dilahirkan “ORO” bisa juga disumpah oleh PT setempat. Asalkan memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 3 UU Advokat dan membayar uang administrasi prosesi sumpah profesi pada PT setempat. Sejak saat itu bermunculanlah Ormas Rasa OA (ORO) ini bagaikan jamur tumbuh di musim hujan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Kantor pusat DPP nya pun ada juga di pelosok daerah tertentu jauh dari ibu kota R.I. Program PKPA mereka berbayar murah dan dilakukan secara online yang bisa meraup ratusan peserta didik sekaligus. Bahkan sertifikatnya juga bisa diperoleh secara e-sertifikat, seperti diberlakukan kampus perguruan tinggi swasta. Cara ini mereka jadikan sebagai salah satu sumber cuan, tanpa harus bertanggung jawab penuh akan produk advokat yang dihasilkannya bermutu atau tidak. Yang penting produk mereka sudah mendapatkan status advokat dan seolah sudah mendapatkan privilege imunitas sebagai penegak hukum di masyarakat. Sehingga beban moral oknum pimpinan ORO ini merasa impas atas take and give uang yang diperolehnya dari peserta PKPA dan UPA.

BACA JUGA  Jhon SE Panggabean: Hak Imunitas Advokat Harus Kembali Disosialisasikan

Surat Ketua MA No.73 Pemicu Multi-Tafsir

Menjelang akan keluarnya putusan MK No.36 Tahun 2015 dengan sinyal mengabulkan permohonan pemohon uji materil sebagian, MA-RI menerbitkan Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, tanggal 28 September 2015 yang intinya berbunyi sama yaitu memerintahkan/mewajibkan Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah Advokat yang telah memenuhi syarat dari semua OA (KAI dan Peradi).

Awalnya, putusan MK ini ditujukan sebagai solusi atas terhambatnya pengambilan sumpah calon advokat KAI yang berjumlah puluhan ribu karena perseteruan terus menerus dengan Peradi. Sejak saat itu masalahnya teratasi. Pimpinan ORO mendompleng pula untuk mengajukan prosesi sumpah para calon advokatnya di PT yang sama, ternyata diterima juga. Bahkan ada dengan alasan untuk mencukupkan kuota peserta pada periode itu.

Atas preseden tersebut, bermunculanlah ORO baru mencapai lebih dari 50 (lima puluh) ORO dan juga melaksanakan PKPA dan UPA. Secara berbondong-bondong juga mengajukan prosesi sumpah profesi ke PT setempat. Dan jumlah advokat yang telah diproduknya diperkirakan sudah mencapai ratusan ribu orang seluruh Indonesia.

Untuk saran perbaikan/revisi terkait SKMA No.73 ini, baik Peradi maupun K.A.I sudah menyampaikannya melalui surat sejak bulan Oktober 2024 kepada pimpinan MA-RI untuk beraudiensi guna mengkoreksi dan mencabut surat ketua MA tersebut agar tidak disalahgunakan lagi oleh pihak yang tidak berhak. Akan tetapi sampai saat ini surat tersebut masih belum ditanggapi MA-RI.

  • PT punya andil merusak tatanan hukum pasal 28 UUA

Kepanitian khusus untuk acara prosesi pengambilan sumpah profesi advokat di setiap PT terkesan sembrono. Calon advokat ORO yang mengajukan permohonan sumpah tidak diteliti atau difilter dulu eksistensi badan hukum organisasinya.

Apakah pendiriannya telah mengacu kepada pasal 28 (1) dan pasal 32 (4) UUA atau tidak ?

Atau organisasinya telah terdaftar resmi di website AHU Kementerian Hukum atau tidak?

PT setempat ternyata hanya melihat kriteria syarat pasal 3 UU Advokat dan membayar sejumlah uang administrasi untuk prosesi sumpah profesi tersebut. Sampai saat ini hampir secara berkala bulanan, PT seluruh Indonesia akan menerima permohonan prosesi sumpah yang akan menghasilkan sejumlah cuan bagi penyelenggaranya, baik pimpinan organisasi atau panitia sumpah di PT setempat.

Kekhawatiran yang beralasan dan kepastian wadah tunggal

Kekhawatiran sebagian petinggi Peradi dan sebagian petinggi KAI terhadap rendahnya mutu rekrutmen calon advokat oleh ORO cukup beralasan, karena banyaknya komplain masyarakat di medsos. Baik terhadap rendahnya mutu pelayanan jasa bantuan hukum atau diterlantarkannya kasus klien di tengah jalan oleh sang oknum advokat?. Selain itu betapa sulitnya untuk menjatuhkan dan efektivitas sanksi pelanggaran kode etik pada mereka, karena kebebasan mereka melakukan kutu loncat pindah ke OA lain begitu mudahnya jika dirinya dikenai sanksi kode etik profesi.

Secara umum hal itu memang sangat dipahami. Karena lebel yang melekat pada diri advokat sebagai officium nobile (profesi yang mulia) haruslah dibuktikan dengan kepuasan klien. Baik dalam berbagai bentuk produk jasa bantuan hukum, sikap santun, intelektualitas yang berpengetahuan dengan literasi dan referensi yang cukup serta punya soft skill khusus dalam penanganan kasus hukum serta merasa terikat dengan kode etik profesi.

Jika performa tersebut tidak dipunyai seorang professional, maka dapat dibayangkan jika diibaratkan seorang dokter dalam menjalankan profesinya akan menelan korban satu orang saja yang wafat, dan setelah 40 hari kemudian kasus tersebut sudah mulai reda dan terlupakan. Akan tetapi jika mal praktik dilakukan oleh seorang advokat/lawyer, maka kasus kliennya bisa jadi akan berdampak sampai tujuh turunan kemudian. Betapa besarnya kerugian yang bakal ditimbulkannya dan tidak berkesudahan.

Diharapkan dengan terwujudnya wadah tunggal nanti sebagaimana diamanatkan pasal 28 (1) UU Advokat, kekhawatiran tersebut akan teratasi minimal memperkecil resiko bagi masyarakat pengguna jasa advokat.

Tawaran Jalan tengah sebagai Solusi

Selama ini ada beberapa komunitas advokat yang menawarkan solusi dari sisi kepentingannya, yaitu sistem multibar. Dan memunculkan konsep Dewan Advokat Nasional (DAN). Secara fakta saat ini memang banyak komunitas advokat yang bermunculan yang jumlahnya lebih dari 50 organisasi. Intinya mereka menginginkan apapun masalah yang timbul saat ini terkait implementasi UU Advokat harus diakui saja sebagai kondisi “progressive and development” suatu organisasi dalam bentuk dinamikanya. Dan tidak perlu mundur lagi ke belakang. Semua advokat yang telah diproduksi harus dianggap memenuhi standar rekrutmen termasuk semua calon advokat yang telah diproduknya, baik oleh OA maupun ORO sudah diakui PT setempat dengan terbitnya Berita Acara Sumpah (BAS) sebagai syarat untuk beracara di persidangan pengadilan, tanpa harus diverifikasi ulang tentang kompetensi kelulusannya pada UPA. Maka dengan sistem multibar nanti mereka berharap tetap saja bisa jadi raja-raja kecil di organisasinya itu dan sejajar dengan pimpinan OA lainnya untuk melanjutkan kebiasaan selama ini.

Sedangkan nomenklatur D.A.N akan mereka maknai sebagai satu tempat penggunaan Dewan Kehormatan bersama dalam menjatuhkan sanksi kode etik profesi. Nomenklatur D.A.N beserta tupoksinya akan dirumuskan oleh para pimpinan organisasi dalam suatu forum khusus untuk menentukan untuk menentukan standarisasi materi PKPA dan passing grade UPA serta standar pembinaan advokat lebih lanjut, dan lain-lain.

BACA JUGA  Ganti Legislator yang Kehilangan Marwah Kesenatorannya

Kesimpulan

1. Sepanjang belum adanya perubahan terhadap pasal 28 (1) UU Advokat, maka tidak bisa dinafikan Organisasi Profesi Advokat di Indonesia besifat singlebar. Walau faktanya telah bermunculan Ormas Rasa OA (ORO) sejak tahun 2015 seiring terbitnya SK MA No.73, yang jumlahnya sudah melebihi dari 50 organisasi ORO.

2. Pendirian suatu ORO pasti mengacu kepada UU Ormas No.17 tahun 2013, dan tidak mengacu kepada pasal 28 (1) dan pasal 32 (4) UU Advokat yang batas waktu pendiriannya sebelum tanggal 23 April 2005, sehingga tidak bisa dikualifikasikan sebagai Organisasi Profesi Advokat. Bahkan disinyalir pendirinya pun belum tentu semuanya advokat yang memahami UUA. Kalau bukan OA tentu tidak diperkenankan untuk melakukan rekrutmen calon advokat, jika itu dilakukan maka akan berkonsekuensi logis juridis kepada produk calon advokat yang direkrutnya itu.

3. Untuk mengefektifkan UU Advokat secara berkepastian hukum, perlu adanya tindakan penertiban yang akan dilakukan pemerintah bersama-sama OA sebagaimana putusan MK No.101 dan MK No.36 guna meningkatkan kualitas dan marwah profesi advokat di masyarakat.

4. Selama 21 tahun sejak 2003 sampai saat ini belum ada UU organik berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang menerapkan dan melaksanakan secara teknis UU Advokat, yang dianggap sebagai salah satu kelemahan dan pemicu terjadinya ketidakpastian hukum. Selama ini sehingga munculnya multi tafsir yang sangat merugikan marwah profesi advokat dan masyarakat pengguna jasa bantuan hukum para advokat.

Penulis berharap kolaborasi antara pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Yusril dan Prof. Otto Hasibuan yang notabene juga praktisi hukum serta Balegnas DPR-RI yang sebagian besar juga praktisi hukum bersama para tokoh senior advokat Indonesia saat ini sedang menjalankan profesinya sebagai praktisi hukum di masyarakat, hendaknya bisa mewujudkan masa depan Advokat Indonesia (Indonesian Bar Association) lebih maju dan setaraf dengan International Bar Association lainnya di berbagai negara maju.

Adapun harapan tersebut dapat disampaikan sebagai berikut :

1. Inisiatif Balegnas DPR untuk merevisi UUA hendaknya bisa mewujukan “auxiliary owned state” dimana Organisasi Advokat berstatus sebagai Badan Negara yang diperluas yang bersifat independen dan mandiri serta bisa mengatur diri sendiri tanpa membebani APBN sebagaimana amanah pasal 28 (1) UU Advokat, berwibawa dan diperhitungkan dan menjadi pilar penegak hukum yang sejajar dengan catur wangsa penegakkan hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan Hakim).

2. Perwujudan sistem singlebar pada OA Indonesia hendaknya bisa diterapkan dan berada pada level organisasi sekunder. Semua organisasi yang ada saat ini dianggap berada pada level primer tempat konsolidasi dan pembinaan para advokat. Organisasinya itu berstatus sebagai anggota pada OA di level sekunder dalam bentuk federasi organisasi.

Sedangkan manajerial dan kepemimpinan organisasi pada level sekunder bersifat formalitas yang diatur berdasarkan suatu protokoler khusus (sesuai prosedur tetap organisasi) dan kepemimpinannya dijabat secara berkala tahunan dan bergiliran (seperti halnya pada sistem kekuasaan formalitas pada kerajaan “Raja diraja Malaysia”) dari pimpinan OA yang ada saat ini, guna menghindari dominasi dari kelompok tertentu.

Tugas utama Federasi (Singlebar) yakni:
a. Menjalankan tugas-tugas rutin kepengurusan OA sesuai Garis-Garis Besar Haluan Kerja Organisasi yang telah ditentukan oleh federasi hasil keputusan bersama pada forum Federasi Advokat yang anggotanya terdiri dari para pimpinan organisasi di level primer.

b. Membentuk Dewan Kehormatan bersama di tingkat pusat dan daerah serta menentukan standar sanksi yang akan diterapkan pada pelanggar kode etik profesi dan tingkah laku menyimpang (code of conduct).

c. Membetuk perwakilan Singlebar di masing-masing daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota) sebagai perpanjangan tangan federasi di daerah, yang mekanisme kerjanya mirip dengan di tingkat pusat sebatas jurisdiksi daerahnya.

d. Berperan sebagai regulator untuk menentukan :

  1. Standar rekrutmen dan standar passing grade Ujian Kompetensi Advokat
  2. Standar materi yang akan diajarkan pada PKPA dan jadual pelaksanaan UPA
  3. Standar persyaratan pemberian izin (konsesi) pelaksanaan PKPA di daerah kepada lembaga pendidikan yang akan ditunjuk melalui tender.
  4. Standar pembinaan profesi advokat dengan menerapkan kredit point yang harus ditempuh oleh tiap Advokat setiap tahunnya seperti mengikuti seminar ilmiah hukum, pendidikan formal dan non formal penunjang keprofesian, pengabdian sosial di masyarakat dalam bentuk penanganan kasus probono, mengajar di kursus PKPA dan semacamnya, dan lain-lain.

3. Sumber dana Organisasi Federasi berasal dari iuran wajib berkala tahunan dari para advokat seluruh Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Kartu Anggota (KTA) dan sumbangan mengikat dan tidak mengikat lainnya.

Penggunaan dana organisasi federasi sesuai dengan RAPB yang telah ditetapkan oleh forum federasi advokat secara tahunan. Misalnya iuran tahunan sebesar Rp. 100.000,- untuk seluruh advokat yang saat ini ada berjumlah +/- 100.000 advokat, maka akan terkumpul dana sebesar Rp. 10 miliar, dana mana akan bisa dikelola untuk semua keperluan manajerial organisasi federasi advokat. Mulai dari perawatan gedung Federasi, overhead cost dan berbagai bentuk fix cost dan variable cost lainnya yang telah ditentukan oleh Forum Rapat Federasi.

Jakarta, 12 Desember 2024

Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta selama 38 tahun sejak 1986