Petani : Buruh Tanpa Upah di Lahan Sendiri

Petani
Dr Kemal H Simanjuntak MBA adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK) (Foto: Net)

“Petani bekerja keras menanam, merawat, dan memanen, namun tak berdaya menentukan harga, tak terlindungi dari risiko, dan nyaris tidak menikmati hasil jerih payahnya sendiri”

Oleh : Dr Kemal H Simanjuntak MBA

Di balik keberlimpahan padi, cabai, dan sayur yang membanjiri pasar tradisional hingga ritel modern, terdapat ironi besar: petani, sang produsen utama, justru menjadi kelompok yang paling rentan dan termiskinkan dalam ekosistem pangan nasional.

Mereka bekerja keras menanam, merawat, dan namun tak berdaya menentukan harga, tak terlindungi dari risiko, dan nyaris tidak menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Mereka adalah buruh di lahan sendiri terikat oleh sistem yang secara struktural menindas mereka.

Sejarah Pemiskinan yang Sistemik

Sejak masa kolonial, petani Indonesia telah diposisikan sebagai pemasok kebutuhan kekuasaan, bukan sebagai subjek ekonomi. Tanam paksa era Cultuurstelsel menjadikan petani penyuplai komoditas ekspor seperti kopi dan gula untuk Belanda. Pascakemerdekaan, harapan akan reforma agraria memudar setelah 1965.

Pada era Orde Baru, Revolusi Hijau meningkatkan produksi pangan, tapi mengalihkan kedaulatan kepada korporasi penyedia benih dan pupuk, serta memperkenalkan ketergantungan baru pada sistem pasar terbuka. Reformasi politik pasca-1998 tak serta-merta memperbaiki nasib petani.

Liberalisasi ekonomi dan otonomi daerah memperparah ketimpangan, melemahkan koordinasi agraria nasional, dan membuka pintu lebih lebar bagi kepentingan pasar bebas dan importir besar.

Realitas di Lapangan: Modal, Risiko, dan Harga yang Bukan Milik Petani

Petani kecil di Indonesia bukan hanya berjuang sendirian, tapi juga menanggung seluruh beban produksi. Modal ditanggung sendiri, tanpa dukungan kredit formal yang memadai. Risiko gagal panen karena hama, cuaca ekstrem, atau pasar yang jenuh, semuanya dipikul sendiri. Anehnya, ketika panen tiba, harga bukan ditentukan olehnya, tapi oleh tengkulak dan pasar yang jauh dari jangkauan mereka.

BACA JUGA  Kehadiran TKA di Indonesia, Membantu TKI Kah?

Narasi berikut merangkum kondisi riil petani di tengah sistem yang tidak berpihak Aspek Kondisi Nyata.

  • Modal Produksi : Lebih dari 85% petani kecil menggunakan modal sendiri (BPS, 2023).
  • Akses Kredit : Hanya 14,2% petani memiliki akses ke lembaga keuangan formal (BPS, 2023).
  • Skala Lahan : Rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,3 ha; 56% tergolong petani gurem.
  • Risiko Usaha : Minim perlindungan; AUTP (Asuransi Usaha Tani Padi) hanya menjangkau <10% lahan.
  • Penentu Harga : Tengkulak dan pedagang besar memegang kendali harga; petani nyaris tanpa kuasa.
  • Pendapatan : Nilai Tukar Petani (NTP) stagnan di angka 104–105, mendekati titik impas.
  • Distribusi Keuntungan : Margin besar dinikmati pedagang dan ritel; petani hanya menerima sisa.

Posisi Petani di Antara Stakeholder

Dalam rantai pangan nasional, petani adalah produsen sekaligus pihak paling lemah. Pemerintah pusat dan daerah menetapkan regulasi, tetapi implementasi sering tak menjangkau lapangan. Lembaga keuangan menetapkan syarat ketat bagi akses pembiayaan. Korporasi menguasai benih dan pupuk, tengkulak mengatur harga, dan ritel modern memonopoli distribusi ke konsumen.

BACA JUGA  Polisi Siapkan 1.100 Personel Amankan Demo Buruh

Dalam sistem ini, petani diposisikan sebagai pelaksana, bukan pemilik proses.
Stakeholder Peran dan Dampaknya

  • Pemerintah : Menetapkan kebijakan, namun kerap tidak berpihak secara konkret pada petani kecil.
  • Bank dan Lembaga Keuangan : Menyediakan kredit, tetapi prosedur rumit menjauhkan petani dari akses formal.
  • Korporasi Input : Menguasai pasar benih, pupuk, pestisida, sehingga petani terjerat biaya produksi tinggi.
  • Tengkulak : Pembeli utama hasil panen, menentukan harga dengan daya tawar yang timpang.
  • Ritel Modern : Menyerap hasil tani, tetapi mengambil margin besar dari konsumen tanpa menguntungkan petani.

Ketimpangan yang Melebar

Ketimpangan lahan dan distribusi pendapatan di sektor pertanian sangat tinggi. Data ATR/BPN 2021 menunjukkan 0,2% elite agraria menguasai lebih dari 56% konsesi tanah di Indonesia. Sementara itu, petani gurem harus berbagi lahan sempit untuk bertahan hidup.

Di sisi lain, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB hanya 12,4% (BPS 2023), padahal sektor ini menyerap lebih dari 28% tenaga kerja nasional. Ini menandakan rendahnya produktivitas dan kesejahteraan di sektor yang seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.

Rekomendasi: Saatnya Negara Hadir untuk Petani

Transformasi agraria bukan sekadar distribusi lahan, tapi pembangunan sistem yang mengembalikan petani sebagai subjek utama ekonomi pangan. Beberapa rekomendasi kebijakan penting meliputi:

BACA JUGA  Buruh Bawa Nasi tumpeng dan Keranda Untuk Anggota DPR RI

-Reforma Agraria Sejati: Redistribusi lahan produktif kepada petani kecil dengan jaminan legalitas.

  • Koperasi Produksi & Pemasaran: Dukung terbentuknya Badan Usaha Milik Petani (BUMP) untuk mengontrol rantai nilai.
  • Proteksi Harga & Asuransi: Tetapkan harga dasar yang adil dan perluas skema AUTP.
  • Kredit Pertanian Ringan: Sederhanakan prosedur dan berikan subsidi bunga.
  • Modernisasi Penyuluhan: Perkuat pendampingan teknologi dan inovasi pertanian.
  • Prioritaskan Produksi Lokal: Kurangi ketergantungan pada impor saat panen lokal melimpah.

Penutup: Pangan Takkan Mandiri tanpa Petani yang Merdeka

Petani bukan hanya produsen beras dan sayuran mereka adalah penjaga peradaban pangan. Namun selama mereka tetap menjadi buruh di tanah sendiri, kemiskinan struktural akan terus berulang.

Jika negara ingin mencapai kedaulatan pangan yang sejati, maka keberpihakan pada petani bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Tanpa itu, kemakmuran hanya akan menjadi impian yang makin jauh dari ladang dan lumbung desa.

*Penulis adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)