MALANG, SUDUTPANDANG.ID – Wicahyono berjalan mendekati seorang pengendera sepeda motor yang baru datang di sebuah warung kopi di Jalan Gajah Mada Kota Malang. Sambil ramah menyapa, tangannya dengan cekatan memperbaiki letak helm dan merapikan posisi parkir sepeda motor.
Pria bertubuh atletis dengan jaket dan topi hitam itu, sesekali berbincang dengan dua rekannya yang duduk di kursi kayu. Berjajar tiga kursi kecil, satu di antaranya dimanfaatkan sebagai meja tempat kopi dan rokok.
Sambil mengawasi sepeda motor yang datang dan pergi, Wicahyono duduk di trotoar menghadap kedua temannya. Mereka ngobrol santai, namun Wicahyono akan buru-buru meninggalkan perbincangan saat melihat sepeda motor datang atau hendak pergi.
Wicahyono adalah mantan petinju profesional dengan nama populer Dobrak Arter. Tetapi nyaris tidak pernah ada yang mengetahui kalau sang juru parkir tersebut pernah menjadi juara tinju internasional.
“Kerjaannya ya seperti ini. Saya jaga dua hari di sini, Selasa dan Rabu,” tegas Dobrak Arter di lokasi jaga parkir di Jalan Gajah Mada Kota Malang, Rabu (9/3/2022).
Dobrak Arter mengaku menjaga di dua lokasi parkir lain yakni di Jalan Ir Rais dan Jalan Majapahit dengan jadwal bergiliran. Selain juga terkadang diminta membantu menjaga proyek.
“Sebelumnya menjaga pembangunan stasiun Malang yang timur, kemudian Hotel Kalpataru dan sekarang jaga parkir,” ungkapnya.
Dobrak Arter mengenal olahraga tinju dari keluarganya, karena memang lima dari tujuh saudaranya menggeluti dunia tinju. Nama Arter sendiri singkatan dari Arek Terminal.
Tahun 1993, Dobrak yang berdarah Ambon mulai bergabung di sasana Sawunggaling Boxing Camp Surabaya. Promotor Aseng Sugiarto yang kemudian mengantarkannya naik ring sebagai petinju profesional.
Serangkaian pertandingan mengantarkannya sebagai juara mulai kelas terbang sampai kelas ringan. Ia pernah juara di tingkat Nasional, WBF dan IBO.
“Pernah di WBF (World Boxing Federation) Intercontinental tanding di Surabaya dan Pan Asia Pasifik, tapi lupa saya tahunnya,” ungkap pria kelahiran Malang, 5 Juni 1974
itu.
Tuntutan kebutuhan ekonomi membuat Dobrak Arter harus bekerja keras. Pekerjaan juru parkir dirasa jauh dari kehidupan layak, tetapi memang tidak ada alternatif pilihan lain.
Juru parkir menjadi sumber pendapatan penghidupan keluarganya. Sementara istrinya, Kusuma Dewi sudah sangat sibuk dengan urusan pekerjaan rumah tangga yang mengurus kedua anak.
“Makanya saya putar otak, putar tenaga bagaimana bisa punya pendapatan. Saya keliling yang bisa menghasilkan uang berapa pun itu jumlahnya. Yang jelas saya tidak tipu menipu,” jelasnya.
Dobrak tinggal di sebuah rumah sederhana bersama istri dan dua anak di belakang Pasar Kasin Kota Malang. Kedua anaknya masing-masing masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar (SD) dan kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dobrak mengaku belum memiliki rumah pribadi yang layak untuk tempat tinggal keluarganya. Rumah yang ditinggalinya saat ini dikontrak dengan sistem pembayaran secara bulanan. Pendapatan sebagai juru parkir belum cukup untuk membeli rumah.
“Pendapatan juru parkir tidak bisa diprediksi, sehari itu nggak lebih dari Rp80 ribu, bisa-bisa hanya bawa Rp40 Ribu,” jelasnya.
“Saya pernah ngisi formulir akan diberi rumah dari Menpora, tiga kali tapi tidak cair. Saya disodori formulir, tapi tidak terbukti,” sambungnya.
Dobrak mengaku kalau tidak banyak yang dihasilkan semasa berprofesi sebagai atlet tinju, kendati dengan nama menginternasional. Namun, Ia tetap bangga menjadi seorang petinju. Sebagian waktu luang Dobrak Arter juga masih diisi dengan latihan fisik dengan lari dan berkumpul dengan atlet lain.
Kendati kehidupan serba pas-pasan, Dobrak Arter masih menyumbangkan pendapatannya untuk mantan petinju Marvin Harsen. Pendapatan dari dua hari berjaga parkir setiap minggu disumbangkan untuk sahabatnya yang sedang sakit dan mengalami kebutaan.
“Saya sumbangkan untuk Marvin, yang hari Selasa dan Rabu, lainnya saya buat kehidupan keluarga saya,” tegasnya.
Kondisi Marvin, kata Dobrak sudah tidak bisa berjalan dan melihat, selain hidup sendirian. Keadaan itu yang menggugahnya bersama beberapa atlet tinju untuk menyisihkan rezeki untuk kehidupannya.
“Saya dengan kawan-kawan cari lahan parkir, saya jaga dan hasilnya sebagian untuk dia, untuk makannya setiap hari,” ungkapnya.
Eko Nurcahyo, Sekretaris Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI) Kota Malang mengungkapkan, beberapa mantan petinju memang mengalami nasib kurang beruntung. Walaupun pernah mencetak prestasi berkelas internasional, tetapi kehidupan ekonominya cukup memprihatinkan, termasuk kehidupan di masa tua.
“Kurang beruntung jika dibandingkan prestasi yang pernah ditorehkan,” tegasnya.
Eko mencontohkan mantan atlet tinju juara dunia tetapi saat ini terpaksa harus menjadi tukang pijat. Seorang petinju juga mengalami kebutaan atau tuna netra.
“Padahal ini tuna netranya juga karena bertinju,” terangnya.
Para petinju melalui komunitas saling bertukar informasi mencari pekerjaan di antaranya sebagai security atau juru parkir. Sehingga memang banyak mantan atlet yang membutuhkan perhatian.(red)