Catatan Benny Benke.
JAKARTA,SUDUTPANDANG.ID – Mengapa kita sebisa mungkin menyempatkan waktu untuk tetap dan terus mengunjungi, menyapa dan membaca puisi? Betapapun sibuk dan pengar hidup kita? Karena puisi mempunyai kekuatan yang tak dimiliki bentuk sastra yang lain. Ia bisa menjadi cara yang berharga untuk berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain, serta menemukan keindahan dalam kata-kata.
Karenanya, membaca puisi, apapun cara dan gayanya, memiliki banyak manfaat yang menjadikannya penting, bahkan di era serba AI saat ini. Puisi sering kali menggambarkan perasaan dan pengalaman manusia dengan cara yang mendalam dan ekspresif. Membaca puisi dapat membantu kita memahami dan merasakan emosi yang mungkin sulit diungkapkan dengan kata-kata biasa.
Pada puisi yang jitu, ia memperkenalkan kita pada bahasa yang kaya dan beragam, sekaligus dalam. Melalui struktur dan ritme yang khas, puisi dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan kreativitas linguistik kita. Agar kita tidak menjadi persona yang begitu begitu saja. Sehingga kerepotan menyusun kata-kata, mengulang diksi parapara, karena alpa logika berpuisinya.
Di saat bersamaan, puisi sering menyajikan ide dan tema yang kompleks. Membaca puisi menantang kita untuk berpikir kritis, merenungkan makna yang tersembunyi, dan menginterpretasikan pesan secara mendalam.
Oleh karena itu, sejak dulu, puisi merupakan bagian penting dari banyak budaya di seluruh dunia. Membaca puisi membantu kita memahami nilai-nilai, tradisi, dan perspektif dari berbagai komunitas dan waktu dalam sejarah.
Puisi menonjolkan keindahan bahasa dan seni. Membaca puisi bisa menjadi pengalaman estetis yang menginspirasi dan memberikan ketenangan.
Puisi sering mengajak kita untuk merenungkan diri, kehidupan, dan dunia di sekitar kita. Ini bisa menjadi proses yang mendalam dan katarsis. Karena itu pula, saat kembali dipercaya menjuri Lomba Baca Puisi di Banjarmasin, sebagai bagian HPN 2025, kami lagi-lagi menempatkan puisi di aras sepatutnya. Mengatasi semua perseteruan, mengembalikan kedalaman.
Dan setelah digodok sekian lama di Jakarta, sekaligus menyempurnakan penyelenggaraan Lomba Baca Puisi di HPN 2024 Ancol di Jakarta, Benny Benke (Kepala Biro Jakarta Suara Merdeka) sebagai Ketua Tim Juri, bersama dua jurnalis senior cum penyair, yaitu A.R Loebis (Antara) dan Djunaedi Tjunti Agus (Suara Karya), dalam penilaian lomba baca puisi di HPN 2025 Banjarmasin, menggunakan parameter estetik, meliputi beberapa aspek yang menjadi fokus utama dalam penilaian.
Yaitu, Teknik Pembacaan: Memperhatikan intonasi, pengucapan, kejelasan suara, serta penempatan tekanan suara yang tepat. Teknik seperti pernapasan dan tempo pembacaan juga menjadi faktor penting.
Ekspresi dan Penjiwaan: Kemampuan peserta dalam mengekspresikan emosi yang terkandung dalam puisi. Penjiwaan yang baik akan membuat pembacaan lebih hidup dan dapat menarik perhatian audiens.
Penyampaian Makna: Kejelasan dalam menyampaikan makna puisi, bagaimana peserta menginterpretasikan tema dan pesan dari puisi tersebut.
Gestur dan Bahasa Tubuh: Penggunaan gestur, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh yang mendukung pembacaan. Ini dapat membantu menyampaikan emosi dan membuat penampilan lebih dinamis.
Kesesuaian dengan Tema: Sejauh mana penyampaian puisi sesuai dengan tema lomba atau konteks yang diinginkan.
Keterhubungan dengan Audiens: Kemampuan peserta dalam menarik perhatian dan berinteraksi dengan audiens, seperti menjalin koneksi emosional.
Penghayatan terhadap Puisi: Seberapa dalam pemahaman dan penghargaan terhadap puisi, yang tercermin dalam cara membawakan dan menafsirkan.
Dengan mengadopsi sistem setengah kompetisi, setiap peserta yang telah mendaftar ulang ke panitia, membacakan sebuah sajak/puisi. Lalu dipilih enam besar, yang tampil di babak final. Nah, setelah tampil 23 peserta tampil maksimal di Wetland Square Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada Jumat (7/2/2025) malam, sejumlah pemenang akhirnya ditetapkan. Juara I: Emroni
Judul Puisi: Sebuah Jaket Berlumur Darah.
Asal: Radio Suara Banjar, Banjarmasin.
Juara II: Suroto, Judul Puisi: Jembatan.
Asal: Newsway.id Banjarmasin, Juara III: Rini Muliana, Judul Puisi: Diponegoro,
Asal: TVRI Kalsel. Lalu, Harapan 1, 2 dan 3; Ratna Sari Dewi, Helman dan Agus Suprapto.
Adapun juara 1, mendapatkan hadiah lima (5) juta rupiah, juara 2, mendapatkan hadiah empat (4) juta rupiah dan juara 3 mendaptkan tiga (3) juta rupiah. Sedangkan juara harapan masing-masing mendapatkan satu (1) juta rupiah.
//Dibuka Ketum PWI Pusat//.
Lomba Baca Puisi Hari Pers Nasional (HPN) 2025 Banjarmasin, Kalsel dibuka secara resmi oleh Ketum PWI Pusat Bapak Hendry Ch Bangun dan Ketua Pelaksana HPN 2025 Raja Parlindungan Pane. Serta dihadiri salah satu tokoh nasional dan Dewan Penasehat PWI Pusat Anton Charliyan.
Sedangkan penyerahan hadiahnya diberikan secara langsung oleh Menteri Kebudayaan Dr. Fadli Zon SS, Msc di rumah dinas Gubernur Kalsel H. Muhidin, serta disaksikan masyarakat pers nasional dalam acara Jamuan Makan Malam yang meriah pada Sabtu (8/2/2025) malam. Fadli Zon dalam sambutannya mengatakan, dia berbangga lomba baca puisi dimasukkan dalam bagian perayaan HPN 2025 Banjarmasin, karena dunia puisi bukan hal baru dalam hidupnya.
Apalagi semasa muda dia telah akrab dengan dunia perpusiaan tanah air. “Saya pernah 10 tahun menjadi redaktur di majalah Horison,” katanya di atas mimbar. Majalah Horison adalah majalah sastra bulanan yang didirikan pada tahun 1966. Majalah ini menjadi wadah bagi sastrawan muda Indonesia untuk mempublikasikan karya-karyanya. Majalah Horison didirikan oleh Mochtar Lubis, P.K. Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail.
Sedangkan malam sebelumnya, Hendry Ch. Bangun juga bercerita tentang masa mudanya yang juga lekat dengan dunia perpuisian di Ibukota, saat masih aktif di Dewan Kesenian Jakarta. Sekedar catatan, Hendry Ch. Bangun adalah lulusan Sastra UI, seperti Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Atau lebih tepatnya, Fadly Zon adalah adik kelasnya jauh.
Setali tiga uang, Raja Parlindungan Pane yang menjadi motor Lomba Baca Puisi sejak HPN 2024 Ancol Jakarta, dan HPN 2025 Banjarmasin, hidupnya hanya berjarak sebenang dengan dunia puisi di tanah air. Jarang ada yang tahu, Raja Pane adalah salah satu lirisis atau pembuat lirik lagu yang dinyanyikan oleh Virgiawan Listanto, semasa samasama menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Publisistik (STP) Jakarta.
Kita semua tahu siapa Virgiawan Listanto, yang kemudian masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai Iwan Fals. Makanya banyak yang puitis dalam lirik lagu sohibnya itu.
Singkatnya, dengan dukungan manusia pilihan yang sanga paham kekuatan puisi. membuat puisi menjadi panglima di HPN 2025 Banjarmasin. Ya, puisi adalah panglima alih-alih politik. Meski kita semua juga sangat paham, puisi bukan segala-galanya. Puisi adalah salah satu jendela untuk melihat kehidupan dan mengakrapi semangat hidup.
Kutipan D. Zawawi Imron ini menegaskan bahwa puisi bukanlah satu-satunya cara untuk memahami kehidupan, tetapi merupakan salah satu cara untuk melihat dan merasakan maknanya.
Puisi, sebagaimana dikatakan D Zawawi Imron adalah jendela, bukan keseluruhan rumah. Artinya, puisi memberikan sudut pandang, perspektif, atau cara baru dalam memahami pengalaman hidup, tetapi bukan satu-satunya alat untuk itu.
Puisi membantu kita mengakrabi semangat hidup—menyelami perasaan, memahami makna, dan merasakan keindahan dalam keseharian. Namun, kehidupan itu sendiri jauh lebih luas daripada sekadar kata-kata dalam puisi.
Pesan mengingatkan bahwa seni, termasuk puisi, memiliki peran penting dalam menggugah perasaan dan pemikiran, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri dengan makna dan kesadaran.
Karenanya tidak mengherankan pula jika John F. Kennedy mengatakan; ‘Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.’ Panjang umur puisi. (bb).