BADUNG-BALI, SUDUTPANDANG.ID – Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar mendeportasi tiga orang Warga Negara Asing (WNA) asal Benua Afrika. Ketiga WNA itu yakni RS (51) dan FCN (25) asal Uganda serta AO (35) pria berkewarganegaraan Nigeria.
Ketiga WNA Afrika tersebut diusir dari Bali lantaran terjerat kasus narkoba, prostitusi dan melanggar izin keimigrasian. RS dan FCN dipulangkan melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurai Rai pada Kamis (20/6/2024). Sedangkan AO dideportasi ke Lagos, Nigeria melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Ketiganya dikawal ketat oleh petugas Rudenim Denpasar dan telah dimasukkan dalam daftar penangkalan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.
Kepala Rumah Detensi Imigrasi Denpasar Gede Dudy Duwita menerangkan, RS terakhir kali masuk ke Indonesia pada 28 Juli 2011 melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai menggunakan Visa Kunjungan yang berlaku selama 15 hari.
Dia ditangkap saat akan melewati pemeriksaan Bea dan Cukai. Di pesawat sebelum mendarat di Bali, RS tidak memakan makanan yang disajikan pramugari. Hal itu memicu kecurigaan salah seorang penumpang.
“Penumpang tersebut memberitahukan pramugari bahwa RS menyembunyikan sesuatu, yang kemudian mencatat nomor kursi RS dan melaporkannya. Dari pemeriksaan barang bawaan, petugas curiga dengan perut RS yang tampak menyembunyikan sesuatu. RS dibawa ke rumah sakit untuk di-rontgen, namun ia menolak dan sempat melakukan perlawanan fisik. RS juga mencoba menyuap petugas dengan uang sejumlah USD1.000,” ungkap Dudy dalam keterangannya, Jumat (21/6/2024).
Dudy menjelaskan, hasil rontgen menunjukkan 82 kapsul yang berisi sabu dengan total berat 1.141 gram. Barang haram itu ditaksir bernilai sekitar Rp2,2 miliar di pasaran internasional.
“RS dijanjikan imbalan sebesar USD5.000 jika berhasil menyelundupkan sabu tersebut ke Bali. Pada sidang terakhir di 28 Februari 2012, RS dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan didenda Rp 2 miliar, subsider 1 tahun penjara. Setelah menjalani masa pidana pokok akhirnya RS menerima remisi langsung bebas di momen Hari Raya Natal 2023 di Lapas Kerobokan,” jelasnya.
Sedangkan FCN dianggap mengganggu ketertiban umum. Wanita asal Uganda itu diamankan dalam Operasi Jagratara pada awal Mei 2024. Dia diamankan petugas Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai setelah didapati menjajakan diri melalui situs kencan online.
“FCN dianggap mengganggu ketertiban umum karena adanya pengaduan dari masyarakat terkait kegiatannya selama di Bali. Penyelidikan tim intelijen menemukan bukti bahwa FCN menjajakan dirinya melalui situs kencan online. Pada saat pengecekan di villa di Seminyak, FCN ditemukan sedang berada di lokasi tersebut. FCN mengaku dirinya diajak oleh temannya yang bernama Linda, wanita WN Uganda untuk bertemu dengan seorang pria di villa tersebut,” ungkap Dudy.
Ia mengatakan, kedua WNA Uganda itu telah terbukti melanggar Pasal 75 ayat 1 UU Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Namun karena pendeportasian belum dapat dilakukan, keduanya diserahkan ke Rudenim Denpasar untuk diproses pendeportasiannya lebih lanjut.
Sedangkan, AO masuk ke Indonesia terakhir kali pada 28 Februari 2015 melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta menggunakan Visa Kunjungan yang berlaku selama 30 hari. WNA Afrika ini datang seorang diri untuk membeli baju di Tanah Abang dan mengaku ingin menjualnya kembali di Nigeria,” kata Dudy.
Wanita asal Nigeria itu menyadari telah overstay setelah izin tinggalnya habis. Namun ia tidak dapat segera meninggalkan Indonesia karena mengaku kehabisan uang.
“Dalam pengawasan keimigrasian rutin, Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Timur pada Oktober 2015 mengamankan AO dan mendapati bahwa ia telah overstay selama 10 bulan lebih. Setelah itu AO sempat dipindahkan ke Rudenim Jakarta dan akhirnya dipindahkan kembali ke Rudenim Denpasar,” terangnya.
“Karena terkendala biaya untuk pembelian tiket kepulangannya, AO harus menjalani total masa pendetensian selama 8 tahun lebih hingga akhirnya dapat dideportasi.” sambung Dudy.
Kakanwil Kemenkumham Bali, Pramella Yunidar Pasaribu menerangkan bahwa berbagai langkah seperti Operasi Jagratara merupakan upaya proaktif dan preventif yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Jagratara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “selalu waspada”. Sikap tersebut yang dituntut dari petugas Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (Inteldakim) pada unit pelaksana teknis (UPT) Imigrasi di seluruh Indonesia yang menjadi ujung tombak pengawasan keimigrasian terhadap aktivitas orang asing di sekitarnya.
Ia berharap Bali tetap menjadi destinasi yang tetap aman dan tertib bagi wisatawan. Semua WNA yang berkunjung ke Pulau Dewata harus menghormati hukum dan peraturan yang berlaku.
“Sesuai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Selain itu keputusan penangkalan seumur hidup dapat dikenakan terhadap Orang Asing yang dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Namun demikian keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya” tutup Pramella.(One/01)