“Doa tanpa usaha adalah seperti pemanah tanpa busur.” Mengirim bantuan kemanusiaan memang penting, namun akan lebih berarti jika dibarengi dengan menghentikan sumber kejahatan, sehingga rakyat Palestina akan dapat merasakan kedamaian dan kemerdekaan yang mereka dambakan.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahannam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak dipergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS Al-A’raf [7]: 179)
Sayyid Quthb Rahimahullah dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an menjelaskan, ayat ini adalah peringatan keras terhadap manusia yang membutakan diri dari realitas sosial, meskipun tanda-tanda kerusakan dan kehancuran di tengah-tengah masyarakat (negeri) jelas terlihat.
Beliau menyebut, orang-orang yang akan dimasukkan ke neraka Jahannam adalah mereka yang membungkam hati nuraninya sendiri demi mempertahankan kekuasaan dan kepentingan duniawi.
Mereka yang abai terhadap kondisi sosial (bangsa) yang rusak, menjadi pelaku kejahatan kemanusiaan, atau mendukung aksi-aksi kedzaliman lainnya yang menyebabkan korban jiwa dan kerusakan yang besar.
Sementara itu ulama kontemporer Syaikh Yusuf Al-Qaradawi Rahimahullah menegaskan, kedzaliman yang dilakukan penguasa Zionis Israel terhadap Palestina adalah bukti nyata sifat kesesatan manusia yang telah dicabut rasa kemanusiaannya.
Sekjen Persatuan Ulama Muslim Internasional Syaikh Ali Al-Qaradaghi bahkan menyebut, para pemimpin yang membiarkan ribuan anak Palestina dibantai, termasuk dalam kategori manusia dalam ayat ini: memiliki indera lengkap, namun mereka berpaling. Hati mereka mati rasa, mata mereka buta dan telinga mereka tuli.
Para pelaku genosida yang dikomandoi oleh pimpinan penjajah Zionis Israel, Benjamin Netanyahu, adalah contoh manusia-manusia yang memenuhi ciri-ciri ayat ayat di atas, yakni hati yang mati, mata yang buta, dan telinga yang tuli dari kebenaran.
Sejarawan berkebangsaan Yahudi, Ilan Pappé, dalam bukunya ”The Ethnic Cleansing of Palestine” menjelaskan, kebijakan Israel sejak awal berdirinya hingga kini memiliki pola kolonial dan sistem apartheid yang terstruktur. Netanyahu hanya melanjutkan warisan kebijakan tersebut dengan intensitas yang lebih tinggi.
Penguasa Zalim dan Kehilangan Nurani
Perilaku Netanyahu merupakan potret dari seorang penguasa dzalim yang kehilangan nurani. Kini masyarakat dunia melihatnya sebagai pemimpin yang tangan, baju dan semua tubuhnya berlumuran darah dari orang-orang yang ia bunuh. Ia membantai warga Gaza tanpa rasa bersalah, bahkan menyalahkan korban yang dibantainya.
Ia telah menunjukkan sifat kebinatangannya melalui berbagai tindakannya yang kejam terhadap rakyat Palestina. Di bawah kepemimpinannya, serangan brutal ke Jalur Gaza terus berlangsung tanpa henti, menewaskan puluhan ribu warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan, serta menghancurkan infrastruktur penting seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah.
Tindakan biadabnya itu membuktikan bahwa ia samasekali tidak menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya, perilakunya sama saja dengan binatang, bahkan lebih biadab dari makhluk hina itu.
Mengapa demikian? Karena tidak ada binatang yang membunuh binatang lain sebanyak Netanyahu membunuh warga Palestina. Jika ada binatang yang memakan binatang lain, pasti jumlahnya terbatas.
Lebih dari itu, Netanyahu juga rela mengorbankan rakyatnya sendiri demi ambisi politiknya. Para sandera Israel yang dibiarkan menderita dan bahkan tewas tanpa upaya penyelamatan menjadi bukti nyata bahwa kepentingan pribadi dan kekuasaan lebih utama baginya daripada nyawa manusia.
Alih-alih mengupayakan jalan damai untuk menyelamatkan rakyatnya sendiri, ia justru memilih melanjutkan perang. Hal itu menunjukkan bahwa kepedulian terhadap sesama manusia, bahkan terhadap bangsanya sendiri, sudah tidak ada lagi.
Perbuatan seperti itu memperlihatkan bahwa Netanyahu tidak lagi layak disebut sebagai manusia, bahkan lebih pantas disebut binatang. Tindakan-tindakannya telah melampaui batas kewajaran sebagai manusia yang menempatkan ambisi dan kekuasaan melampaui batas.
Dalam sejarah, para pemimpin yang menjadikan kekerasan dan penindasan sebagai alat politiknya akan dikenang sebagai simbol kebengisan, seperti Nero, Caliguna, Hitler, Musollini dan lainnya.
Netanyahu, dengan seluruh keputusannya yang tidak berperikemanusiaan, telah meneguhkan dirinya sebagai sosok yang akan tercatat dalam sejarah sebagai penjahat perang dan monster kemanusiaan.
Netanyahu adalah simbol kebiadaban yang tak mengenal rasa belas kasih. Tindakannya terhadap warga Gaza merupakan kejahatan sadis yang masif, sistematis dan terencana, mengoyak nilai-nilai kemanusiaan dan hukum humaniter internasional.
Netanyahu seperti binatang buas yang hanya puas ketika lawan-lawannya mati dan menderita. Ia sudah tidak memandang lagi korbannya adalah mayoritas anak-anak dan perempuan tak bersenjata. Bahkan lebih sadis lagi, ia merancang kelaparan massal sebagai bagian dari senjata dan strategi perang.
Gambaran Kera dan Babi bagi Penjahat Kemanusiaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang sesuatu yang lebih buruk pembalasannya daripada itu di sisi Allah? (Yaitu balasan) orang yang dilaknat dan dimurkai Allah (yang) di antara mereka Dia jadikan kera dan babi. (Di antara mereka ada pula yang) menyembah Tagut.” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah [5]: 60)
Imam At-Thabari Rahimahullah menyebut, Allah mengubah bentuk fisik sebagian orang-orang Yahudi menjadi kera dan babi sebagai ‘iqāb (hukuman) yang menandakan kehinaan.
Mereka menjadi kera dan babi secara fisik selama tiga hari, lalu mereka mati. Setelah itu sifat buruk tersebut diwariskan secara moral dan perilaku kepada keturunan/generasi berikutnya, meskipun fisik mereka normal seperti halnya manusia biasa.
Sifat “kera” dalam ayat tersebut sebagai lambang kehilangan akal sehat, nurani dan harga diri. Sedangkan “babi” melambangkan hilangnya kesucian moral dan rasa malu karena kerakusan dan kesombongan.
Dalam kaitan ini, Prof. Wahbah Az-Zuhaili Rahimahullah menjelaskan, sifat kera berarti suka melakukan perbuatan buruk tanpa pertimbangan, sedangkan sifat babi berarti rakus, menjijikkan, dan tidak mengenal kehormatan, hanya menuruti syahwat.
Kedua sifat dari binatang tersebut rasanya menyatu dalam watak Netanyahu. Ia terbukti tidak memiliki nurani dan harga diri, menghalalkan segala cara, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak ada rasa malu sedikit pun sehingga tidak lagi memiliki kehormatan.
Kejahatan Netanyahu tidak hanya berdampak pada satu generasi saja. Ia menghancurkan masa kini dan berusaha menghapus masa depan rakyat Palestina. Ia menghalangi bantuan kemanusiaan, memutus pasokan air dan listrik, dan membiarkan rumah sakit di Gaza kekurangan obat. Semua itu memupus harapan hidup warga Gaza.
Netanyahu boleh saja merasa kebal hukum, tidak ada yang mampu menyeretnya ke pengadilan kriminal internasional (ICC) saat ini, tetapi setiap nyawa yang ia bunuh akan menjadi saksi di hadapan Allah Ta’ala kelak. Di pengadilan Ilahi, tidak ada kekebalan hukum, perlindungan politik, dan pembelaan dari siapa pun.
Siapa Bisa Menghentikan Kebinatangan Netanyahu?
Bagi umat Islam, menghentikan kejahatan dan kedzaliman bukan sekadar seruan moral, tetapi menjadi panggilan iman dan seruan nabinya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Dr. Yusuf Al-Qaradawi pernah mengingatkan, “Jika kita tidak mampu berperang bersama Bangsa Palestina, maka kita harus berperang dengan suara, pena, harta, dan doa kita.”
Prof. Richard Falk, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, pernah berkata, “Kebisuan komunitas internasional adalah persetujuan diam-diam terhadap kejahatan Israel.” Maka, diamnya seseorang menyaksikan pembantaian berarti mereka ikut memikul beban dosa sejarah.
Tugas masyarakat dunia saat ini adalah menyuarakan kebenaran dan menggugah hati yang tertidur. Diamnya para pemimpin justru bahan bakar bagi kejahatan dan kebiadaban Netanyahu.
Para pemimpin negara, khususnya Dunia Islam seharusnya mampu menghentikan kejahatan Netanyahu, dan memastikan ia tidak lagi bisa mengulang tragedi kemanusiaan yang sama di Gaza dan seluruh Palestina.
Dunia Islam harus berdiri bersama Palestina, tidak hanya dalam doa, tetapi juga dalam langkah nyata. Doa adalah kekuatan spiritual, tetapi tindakan nyata adalah wujud dari keberpihakan, wasilah mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala dan kemenangan.
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata, “Doa tanpa usaha adalah seperti pemanah tanpa busur.” Mengirim bantuan kemanusiaan memang penting, namun akan lebih berarti jika dibarengi dengan menghentikan sumber kejahatan, sehingga rakyat Palestina akan dapat merasakan kedamaian dan kemerdekaan yang mereka dambakan.
Selama Netanyahu masih berkuasa dan selama Zionis Israel masih berada di tanah Palestina, darah akan terus mengalir di sana, dan kita tidak boleh membiarkan diri kita menjadi generasi yang hanya menjadi saksi penderitaan.
Solidaritas bukan pilihan, melainkan kewajiban moral dan syar’i. Umat harus menggerakkan segenap kekuatan: diplomasi, media, dan gerakan massa untuk terus menekan Israel dan sekutu-sekutunya.
Ini bukan hanya perjuangan rakyat Palestina, tetapi perjuangan seluruh umat manusia yang menjunjung martabat dan kemanusiaan. Sebagaimana diungkapkan Nelson Mandela, “Kebebasan Palestina adalah ujian terakhir bagi kemanusiaan dunia.” Ujian itu kini berada di hadapan kita semua.
Hanya dengan menghentikan sumber kejahatan, kita dapat membuka pintu kebebasan bagi rakyat Palestina. Menghentikan kejahatan Netanyahu berarti memutus rantai genosida. Mari bersatu membuka jalan bagi generasi muda Palestina untuk kembali menjalani kehidupan yang layak dan bermartabat, sekaligus mengembalikan seluruh hak mereka yang telah dirampas.
*Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Utama Lembaga Kemanusiaan Aqsa Working Group (AWG).