SINGAPURA, SUDUTPANDANG.ID – Singapore International Mediation Centre (SIMC), organisasi nirlaba di Singapura yang menyediakan layanan penyelesaian sengketa hukum secara profesional, menyatakan dukungannya terhadap langkah Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) untuk mendorong agar Indonesia segera meratifikasi Konvensi Mediasi.
Dalam siaran pers Ketua Umum DePA-RI, TM Luthfi Yazid, yang sedang berada di Singapura pada Jumat (15/8), disebutkan bahwa dukungan dari SIMC disampaikan dalam diskusi bersama jajaran pimpinan SIMC yang berlangsung pada 14 Agustus 2025 di Singapura.
Audiensi dan diskusi antara DePA-RI dan SIMC yang berlangsung di Maxwell Chambers, Singapura, dihadiri oleh pimpinan serta pengurus SIMC, antara lain Benatt Lim dan Fern Cheng.
Sementara itu, Ketua Umum DePA-RI didampingi oleh Wakil Ketua Umum Akhmad Abdul Aziz Zein, Wakil Ketua Umum Wati Shihite, Sekretaris Jenderal Sugeng Aribowo, Bendahara Umum Broto Pramono Istanto, serta beberapa pengurus lainnya, termasuk Bachtiar Marassabessy, Azrina Fradella, Ketua DPD DKI Jakarta Diyah Kunthi Wardani, dan Ketua DPD Jawa Barat Aulia Taswin.
Lebih lanjut, Ketua Umum DePA-RI menjelaskan bahwa Konvensi Mediasi yang dibahas bersama SIMC adalah Singapore Convention on Mediation atau secara resmi dikenal sebagai United Nations Convention on International Settlement Agreements Resulting from Mediation (Konvensi PBB tentang Perjanjian Penyelesaian Internasional yang Dihasilkan dari Mediasi).
Hingga saat ini, sebanyak 18 negara telah meratifikasi konvensi tersebut, termasuk Tiongkok, Amerika Serikat, dan yang terbaru Brasil. Sebagai anggota BRICS, Indonesia dinilai sudah sepatutnya turut meratifikasi konvensi ini. BRICS sendiri merupakan kelompok negara berkembang dengan perekonomian besar di dunia.
SIMC, sebagai organisasi mediasi internasional, juga mendukung DePA-RI dalam pengembangan Divisi Mediasi yang bersifat lintas yurisdiksi dalam tubuh organisasi advokat ini. Hal ini karena tidak semua persengketaan harus diselesaikan melalui pengadilan.
Menurut Luthfi Yazid, banyak kasus perdata bahkan antarnegara tidak harus diselesaikan melalui proses pengadilan yang memerlukan biaya besar, waktu lama, dan berisiko merusak hubungan antarpihak. Oleh karena itu, mediasi perlu dikembangkan lebih luas di Indonesia.
Luthfi Yazid, yang juga anggota Kelompok Kerja Mahkamah Agung RI terkait PERMA Mediasi, menyambut baik ajakan SIMC. Ia menilai bahwa Indonesia memiliki budaya musyawarah yang sangat mendukung penyelesaian sengketa melalui mediasi. Masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia juga memiliki mekanisme penyelesaian sengketa sendiri yang pada prinsipnya serupa dengan musyawarah.
Ia mengenang awal keterlibatannya dalam bidang mediasi ketika mengikuti pelatihan mediasi dan Alternative Dispute Resolution di Center for Dispute Resolution (CDR), Boulder, Colorado, Amerika Serikat, pada 1995 silam. Saat itu, ia mengikuti pelatihan bersama Prof. Dr. Takdir Rahmadi, (yang belum lama ini purna tugas sebagai Hakim Agung).
Sebagai trainer of trainers mediasi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, Luthfi Yazid juga pernah menjadi visiting professor di Gakushuin University, Tokyo, dalam penelitian tentang Wakai dan Chōtei dua mekanisme penyelesaian sengketa khas Jepang.
Terkait mediasi, ia juga pernah menjadi editor buku Wakai karya begawan mediasi Jepang, Prof. Yoshiro Kusano, seorang mantan hakim tinggi di Hiroshima sekaligus guru besar di Gakushuin University.
Pengacara senior yang juga pernah menjadi anggota Panitia Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi tahun 2008 di Dewan Pertimbangan Presiden ini turut menjadi kontributor dalam salah satu buku tentang mediasi yang diterbitkan di Jepang.(PR/01)