Oleh Ichsanuddin Noorsy
Sejak krisis keuangan global 2008 yang dipicu oleh kekalahan perang dagang AS melawan RRT, menurut berbagai kalangan cendekia, geopolitik global sebenarnya telah berubah.
Dokumen National Security Strategy of USA 2002 dan National Defense Strategy of USA 2008 sendiri menuliskan bahwa AS berhadapan dengan RRT, Rusia, Iran, Korea Utara, Brasil, Venezuela, Afganistan, dan Suriah.
Dua dokumen itu menunjukkan bahwa negara-negara tersebut bukan hanya potensial bangkit melawan, tetapi juga membangun ketahanan dan keseimbangan kekuatan dalam berbagai dimensi geopolitik.
Hasilnya adalah perubahan unipolar menjadi multipolar, bahkan berlanjut ke bipolar sebagaimana dipergelarkan melalui local currency settlement atau bilateral swap. Lalu dalam hitungan 12 – 17 tahun setelah kekalahan perang dagang itu, BRICS mengemuka dan dedolarisasi AS terjadi. Maka AS pun uring-uringan.
BRICS itu sendiri adalah akronim dari: Brazil, Russia, India, China, South Africa. Organisasi antarpemerintah ini terdiri atas Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Etiopia, Uni Emirat Arab, dan Indonesia.
Bersamaan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebagai keunggulan kompetitif AS, kondisi global terhampar dalam bingkai volatile (bergejolak), uncertain (tidak pasti), complex (kompleks), ambiguous (bersegi banyak tak berstruktur), disingkat VUCA. Atau dikenal pula sebagai disrupsi.
Namun, situasi ini membuat AS sendiri patut menoleh ke dalam disebabkan deindustrialisasi sejak 1980-an, diikuti dengan penegakan korporatisme yang membuahkan ketimpangan ekonomi di AS dan ketimpangan rasial dalam posisi kanker stadium empat.
Inilah salah satu sebab kenapa Presiden AS ke-45 dan ke-47 Donald Trump kembali mengibarkan panji peperangan ekonomi. AS bukan hanya ingin mempertahankan pengaruh, dominasi, dan hegemoni globalnya, tetapi juga bersemangat mengubah dari Pax Americana menjadi Pact Americana. Jargonnya adalah MAGA atau America First.
Sementara Indonesia berhasil diterjang dengan revolusi senyap segelintir orang yang dibantu pihak asing sehingga perubahan UUD 1945 naskah asli menjadi UUD NRI 1945, atau kerap disebut UUD 2002, nyaris tanpa hambatan.
Amandemen empat kali sejak 1999 hingga 2002 itu bukan saja menambah norma-norma dasar, bahkan telah mengubah fondasinya. Perubahan itu diduga mencapai 97 persen.
Dengan penggantian itu dapat dipahami simpulan kajian Komisi Konstitusi yang menyatakan, tidak dapat dimungkiri bahwa hasil perubahan UUD 1945 mengandung kontradiksi, baik secara teoretis konseptual maupun praktik ketatanegaraannya. Di samping itu terdapat inkonsistensi substansi baik yuridis maupun teoretis.
Kajian konstitusi tersebut dilaksanakan di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Sri Soemantri yang juga Rektor Universitas Jayabaya.
Kasus bergejolaknya beberapa negara sejak 2021 hingga saat ini seperti menampar harkat dan martabat bangsa Indonesia. Itu karena paham materialisme liberal yang dianut oleh perubahan UUD 2002 hasil amandemen empat kali ternyata tidak membuat nilai kemanusiaan, harkat, dan martabat bangsa dalam pergaulan internasional dan rule of law makin mendekati Pancasila.
Selama satu generasi sejak tahun 2000 peradaban bangsa menjadi materialis liberal, oportunis, dan permisif. Lima kali pemilu sejak 2004 telah menghasilkan bangsa terbelah.
Pancasila semakin ditinggalkan dan Orde Reformasi seakan malu mengakui bahwa bangsa Indonesia telah terperangkap utang secara struktural di tengah sistem perekonomian nasional yang kokoh dalam genggaman korporatisme. Di AS, paham ini telah mengakibatkan situasi ekonomi, sosial, dan politik seperti sekilas diuraikan di atas.
Memang kini Indonesia kembali ke semangat Konferensi Asia Afrika, Dasasila Bandung 1955. Tapi hal ini nyaris menjadi mimpi di siang bolong saat UUD 2002 menjadi pijakan dan norma dasarnya.
Sama seperti kita hendak memadukan demokrasi liberal melalui cara pemilihan langsungnya dengan musyawarah mufakat. Atau sama seperti kita menyerahkan pelaksanaan dan capaian kesejahteraan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ke dalam pelukan kekuasaan korporasi.
Belajar dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri, sambil cermat mempelajari fenomena regional dan global, maka Presidium Konstitusi Kembali ke Pancasila dan UUD 1945 di bawah kepemimpinan Try Sutrisno berpartisipasi menyelenggarakan Simposium Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Kenapa Kembali ke Pancasila dan UUD 1945, Menjawab Tantangan Nasional dan Global.
Pembicara kunci adalah Wakil Presiden RI ke-6 dan Panglima ABRI ke-9 Jenderal (Purn.) Try Sutrisno dan Rektor Universitas Jayabaya Prof. Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H., M.H.
Para pembicara antara lain Jenderal (Purn.) Agustadi Sasongko Purnomo, KSAD 2007-2009, M.S. Ka’ban, Menteri Kehutanan 2004-2009 dan Dr. Mulyadi, M.Si., serta beberapa tokoh lainnya. Acara dilaksanakan pada Selasa, 15 Juli 2025 pukul 10.00 hingga selesai di Universitas Jayabaya, Pulomas, Jakarta Timur.
Di akhir acara, sepanjang masih tersedia, undangan mendapat gratis buku Prahara Bangsa karya Ichsanuddin Noorsy. Salah satu bab buku tersebut mengurai Reformasi Berbuah Prahara Bangsa.
*Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si., adalah Ekonom Senior Indonesia.