“Kami berharap komunitas internasional bisa mendukung Taiwan untuk berpartisipasi secara cepat, adil, dan bermakna.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Taiwan siap bekerja sama dengan mitra internasional untuk bersama-sama mencapai transisi nol bersih, memobilisasi aksi iklim global, dan memastikan lingkungan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Pernyataan itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup Republic of China (Taiwan) Chang Tzi-chin, dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Chang Tzi-chin mengatakan, sebagai ekonomi terbesar ke-21 di dunia, Taiwan memiliki pengaruh penting terhadap kemakmuran dan stabilitas ekonomi di kawasan Indo-Pasifik.
“Secara khusus, industri semikonduktor Taiwan menempati posisi penting dalam rantai pasokan internasional. Sektor industri ini secara aktif mengurangi penggunaan sumber daya energi dalam proses produksi dengan mengembangkan teknologi dan metode baru,” ujarnya.
Ia menyebutkan inovasi semikonduktor yang terus berkembang di Taiwan telah menawarkan banyak aplikasi pintar melalui perangkat elektronik dan mempromosikan penghematan energi global.
“Taiwan sedang melakukan upaya iklim yang substansial dan dengan giat memajukan transisi energi. Hingga Mei 2022, kapasitas energi terbarukan secara kumulatif telah mencapai 12,3 GW, peningkatan signifikan sebesar 60 persen dari tahun 2016,” terangnya.
“Dari tahun 2005 hingga 2020, PDB (produk domestik bruto) Taiwan tumbuh sebesar 79 persen. Dalam periode yang sama, intensitas emisi gas rumah kaca turun 45 persen, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah terpisahkan dari emisi gas rumah kaca,” sambung Chang Tzi-chin.
Ia mengungkapkan, saat Hari Bumi pada 22 April 2021 lalu, Presiden Tsai Ing-wen mengumumkan, Taiwan bertujuan untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050. Pada Maret 2022, pemerintah menerbitkan pedoman “Langkah Taiwan Menuju Emisi Nol Bersih pada Tahun 2050”.
Menurutnya, pedoman tersebut menguraikan empat strategi transisi utama di sektor energi, industri, gaya hidup, dan masyarakat, berdasar pada dua tata kelola dari “penelitian dan pengembangan teknologi (research and development/R&D)” dan “undang-undang iklim”.
“Strategi tersebut dilengkapi dengan 12 sub strategi utama, yaitu tenaga angin dan matahari, hidrogen, energi inovatif, sistem tenaga dan penyimpanan energi, konservasi dan efisiensi energi, penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon, kendaraan bebas karbon dan listrik, daur ulang sumber daya dan nol limbah, penyerap karbon alami, gaya hidup hijau, keuangan hijau, dan transisi keadilan,” paparnya.
Ia menyatakan dengan mengintegrasikan sumber daya antarpemerintah, Taiwan akan mengembangkan rencana langkah demi langkah untuk mencapai targetnya.
“Dalam membangun fondasi R&D teknologi yang diperlukan untuk mencapai transisi nol bersih, Taiwan akan fokus pada lima bidang, yaitu energi berkelanjutan, rendah karbon, sirkularitas, negativitas karbon, dan pengetahuan sosial,” ujarnya.
“Undang-Undang Pengurangan dan Pengelolaan Gas Rumah Kaca sedang diamandemen dan akan diganti namanya menjadi Undang-Undang Penanganan Perubahan Iklim,” lanjut Chang Tzi-chin.
Ia juga berpandangan, amandemen tersebut akan menjadikan emisi nol bersih pada tahun 2050 sebagai target nasional jangka panjang. Dapat meningkatkan efektivitas tata kelola iklim, meningkatkan adaptasi perubahan iklim, memperkuat keterbukaan informasi dan partisipasi publik. Selain itu dapat memperkenalkan mekanisme penetapan harga karbon.
“Undang-undang tersebut akan memberikan insentif ekonomi untuk mengurangi emisi, memandu pertumbuhan hijau rendah karbon, dan berkontribusi dalam menyelesaikan undang-undang tata kelola iklim nasional,” katanya.
Visi Jangka Panjang
Chang Tzi-chin menuturkan, visi jangka panjang Taiwan untuk tahun 2050 adalah menjadikan transisi ke emisi nol bersih sebagai kekuatan baru pembangunan nasional.
“Dengan menciptakan strategi transisi dan tata kelola pemerintahan yang kompetitif, sirkular, berkelanjutan, tangguh, dan aman, Taiwan akan merangsang pertumbuhan ekonomi, mendorong investasi swasta, menciptakan lapangan kerja ramah lingkungan, mempromosikan kemandirian energi, dan meningkatkan kesejahteraan sosial,” terangnya.
Namun, karena faktor politik, Taiwan dikeluarkan dari organisasi internasional dan tidak dapat berpartisipasi secara substantif dalam diskusi tentang isu-isu iklim global. Sulit bagi Taiwan untuk tetap mengikuti perkembangan saat ini dan melaksanakan tugas terkait dengan benar. Hal ini akan menciptakan kesenjangan dalam tata kelola iklim global.
“Taiwan memiliki sumber energi mandiri yang terbatas dan sistem ekonomi yang berorientasi pada perdagangan luar negeri. Jika tidak dapat terhubung dengan mulus dengan mekanisme kerja sama internasional di bawah Perjanjian Paris, ini tidak hanya akan mempengaruhi proses industri hijau Taiwan, tetapi juga akan merusak stabilitas rantai pasokan internasional,” ungkapnya.
Chang Tzi-chin mengatakan, di bawah ancaman langkah penyesuaian pembatasan karbon, daya saing Taiwan secara keseluruhan akan sangat terpukul jika tidak dapat berpartisipasi secara adil dalam mekanisme pengurangan emisi internasional. Hal ini juga akan melemahkan efektivitas kerja sama internasional dan melemahkan perekonomian global.
“Upaya transisi ke emisi nol bersih adalah tanggung jawab bersama generasi ini yang tak terhindarkan. Target ini hanya mungkin tercapai jika masyarakat internasional bekerja sama. Dengan semangat pragmatis dan profesional, Taiwan bersedia memberikan kontribusi nyata untuk mengatasi perubahan iklim global,” katanya.
Pandemi COVID-19, kata Chang Tzi-chin, telah menunjukkan bahwa apa pun situasinya, Taiwan memiliki potensi besar untuk berkontribusi kepada dunia dengan cara yang sangat membantu. Taiwan harus diberi kesempatan yang sama untuk bergabung dengan mekanisme kerja sama internasional dalam menanggapi perubahan iklim.
“Kami berharap komunitas internasional bisa mendukung Taiwan untuk berpartisipasi secara cepat, adil, dan bermakna,” harapnya.(PR/01)