Opini  

Tata Kelola Kesehatan Indonesia: Saat Suara Guru Besar Diabaikan

Perlawanan Kolegium Kesehatan Mandiri. Kesehatan Indonesia
Prof. Otto Cornelis Kaligis.(Foto:Dok.SP)

“Kami mengingatkan bahwa kebijakan kesehatan harus berbasis cara berpikir ilmiah dalam ilmu kedokteran dan kesehatan, berbasis bukti, etika dan kolaborasi.”

Oleh: Prof. Otto Cornelis Kaligis

Kisruh dalam dunia kesehatan Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Di tengah harapan akan perbaikan sistem layanan dan pendidikan medis, justru muncul kebijakan-kebijakan kontroversial yang dinilai mengabaikan prinsip ilmiah, etika, dan kolaborasi.

Suara-suara kritis dari akademisi, termasuk ratusan guru besar kedokteran, tak mendapatkan ruang yang semestinya dalam pengambilan keputusan. Alih-alih memperkuat sistem, kebijakan yang diambil justru berpotensi melemahkan mutu pendidikan dan layanan kesehatan nasional.

Sudah berulang kali harian Kompas memuat berita terkait isu kesehatan. Pada edisi hari ini, Senin, 26 Mei 2025, di halaman 7 rubrik Opini, Kompas memuat tulisan berjudul “Soal Teknis dan Etis Uji Klinis Vaksin TBC” karya Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara, Anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI, serta Pendiri dan Penasihat Nalar Institut.

Berikut catatan dari Pendiri dan Penasihat Nalar Institut:

1. “Jadi, tanpa uji lokal, efektivitas vaksin bisa overestimated atau underestimated jika hanya mengandalkan data populasi lain.”

2. “Namun, manfaat itu dalam hal vaksin TBC tak otomatis: hanya bisa didapat jika Indonesia mendapatkan hak penuh atas akses data, kebebasan analisis ilmiah, dan ruang untuk mengintegrasikannya ke dalam kebijakan kesehatan nasional.”

3. “Tanpa jaminan itu, kita hanya jadi lokasi riset yang mendistribusikan risiko, tanpa kontrol atas hasil.”

BACA JUGA  Catatan Hendry Ch Bangun: Tiket ke Surga di Tanah Abang 

4. “Sejarah menunjukkan, dalam banyak kasus uji coba klinis global, negara tempat uji tak selalu dapat bagian dalam hasil intelektual atau hak produksi dari teknologi yang dikembangkan.”

5. “Bahkan, sering kali data uji tidak dikembalikan secara terbuka atau dipublikasikan tanpa kolaborasi yang berarti dengan ilmuwan lokal.”

6. “Disinilah pentingnya negosiasi yang cermat dan kerangka hukum nasional yang tidak miopik; melindungi kepentingan jangka panjang, bukan sekedar mengejar manfaat jangka pendek.”

7. “Oleh karena itu, kalau Indonesia bersedia jadi lokasi uji, pemerintah mesti punya sistim proteksi ketat : kerangka hukum informed consent yang kuat, mekanisme etik independen, pengawasan terhadap uji klinis oleh otoritas nasional yang kompeten, dan skema kompensasi yang adil bagi subyek uji terdampak“.

8. “Tanpa semua itu, keterlibatan Indonesia justru akan mereproduksi relasi eksploitatif, seperti dikritik kolonialisme biomedis.”

9. ”Partisipasi yang sehat hanya mungkin terjadi jika dibangun atas dasar kesetaraan, bukan kepatuhan.”

10. “Kita mesti ingat : “rakyat Indonesia bukan sekedar angka statistik atau tubuh tubuh anonim dalam jurnal akademik, Mereka warga negara yang hak haknya harus dilindungi, bukan dikorbankan atas nama kemajuan.”

11. Dari Harian Kompas tanggal 23 Mei 2025 “26 Dekan Fakultas Kedokteran Tolak Penuhi Undangan Kemenkes (hal. 5 Kolom Humaniora)”.

12. Penolakan tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk menjaga integritas akademik.

13. Ketua Umum Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Budi Santoso tanggal 22 Mei 2025 mengatakan 26 Dekan Fakultas Kedokteran telah sepakat tidak menghadiri undangan dari Kemenkes. Ketidak-hadiran ini menjadi bentuk tanggung jawab moral untuk menjaga integritas institusi akademik.

BACA JUGA  Insentif Pajak dan Adopsi Kendaraan Listrik di Jakarta: Hubungan yang Saling Menguntungkan?

14. “Kami bukan tidak menghargai undangan tersebut, melainkan belajar dari pengalaman yang ada, hasil diskusi tidak pernah digunakan sebagai rujukan untuk mengambil keputusan. Keputusan yang diambil tetap pada keputusan yang disiapkan sebelumnya.”

15. Bahkan di running text CNN tanggal 27 Mei 2025 terdapat pernyataan/peringatan DPR-RI kepada Menteri Kesehatan, agar tidak membuat pernyataan pernyataan yang meresahkan.

16. 365 Guru Besar Kedokteran mengeluarkan Pernyataan Keprihatinan terhadap Arah Kebijakan dan Tata Kelola Kesehatan Nasional.

17. Alih-alih memperkuat mutu layanan dan pendidikan, kebijakan yang ada justru berpotensi menurunkan kwalitas pendidikan dokter dan dokter spesialis, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Berikut surat Pernyataan Keprihatinan.:

18. “Kami mengingatkan bahwa kebijakan kesehatan harus berbasis cara berpikir ilmiah dalam ilmu kedokteran dan kesehatan, berbasis bukti, etika dan kolaborasi.”

19. “Kami menolak kebijakan yang mengabaikan mutu dan prinsip ilmiah, legacy, dan tradisi keilmuan dan pendidikan tenaga medis.”

20. “Kami menolak keputusan birokratis yang melemahkan rumah sakit, pendidikan, kelembagaan, dan sisitim kesehatan akademik”.

21. “Kami prihatin terhadap narasi publik yang menyudutkan tenaga medis dan institusi pendidikan.”

22. “Kami dengan tegas menolak pengambil-alihan Kolegium Specialis yang telah selama 50 tahun membina dan mengembangkan berbagai cabang spesialis Kedokteran.”

BACA JUGA  Kenapa Advokat Terkesan Banyak dari Suku Batak?

23. “Pembentukan kolegium baru yang dilakukan secara tidak transparan serta tanpa melibatkan perhimpunan dokter spesialis dan institusi pendidikan terkait, mengakibatkan kolegium tersebut kehilangan independensinya.”

24. “Hal ini berpotensi menimbulkan pengaruh politik dan birokrasi yang mengancam kedaulatan ilmu kedokteran.”

25. “Narasi yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan kepada publik juga tidak mencerminkan penghormatan terhadap prinsip demokrasi yang terbuka dan bebas dalam proses tersebut.”

26. Berita terhadap Menteri Kesehatan, juga telah dibaca oleh Pengusaha Pengusaha Asing di Indonesia, karena harian The Jakarta Post, Mei 2025 telah memuat berita berjudul ”Health Minister faces fresh backlash over his policies”

27. Atas berita media tersebut, seyogianya, masukan itu menjadi peringatan bagi Menteri Kesehatan, untuk bertindak lebih arif, demi kesehatan yang pro rakyat.

*Penulis Prof. Otto Cornelis Kaligis adalah advokat senior yang sampai saat ini masih aktif menulis buku tentang hukum

Catatan Redaksi: Opini ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan media