“Saya berharap Presiden terpilih, yang terhormat Prabowo Subianto, tidak main-main dengan pengelolaan pendidikan bangsa ini, jika memang serius akan memajukan negeri ini sesuai janji politik bapak saat kampanye lalu.”
Oleh Eko Wahyuanto
Beragam wacana mewarnai perdebatan penyusunan kabinet baru pemerintahan Prabowo Subianto. Salah satunya rencana memisahkan kembali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi tiga kementerian, yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset, lalu Kementerian Kebudayaan.
Mendengar informasi seperti itu, publik bertanya, mengapa bangsa ini seolah tak pernah belajar dari pengalaman masa lalu.
Ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2000 dipisahkan, dunia pendidikan kita terasa “rapuh”, kehilangan jati diri, lepas dari roh tujuan mencerdaskan bangsa, dan kering dari aspek tujuan adiluhung pendidikan yakni pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Sektor pendidikan terjebak dalam sistem “liberasi” dan “kapitalisasi” gaya baru. Hanya berorientasi pada persoalan materialistik, jauh dari substansi mengejar kualitas dan kemajuan pendidikan.
Beruntung akhirnya pemerintah sadar, tahun 2010 mengembalikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dikembalikan pada nomentklaturnya yakni menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Pemisahan nomenklatur seperti itu, pernah dilakukan juga pada pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) dari rumpun pendidikan tinggi juga terjadi tahun 2014 oleh Presiden Jokowi, meski kemudian tahun 2019 akhirnya digabungkan kembali.
Jika benar dalam kabinet baru nanti, sektor pendidikan dipisah menjadi tiga kluster kementerian, bisa jadi dunia pendidikan nasional akan makin terpuruk.
Pemerintahan baru seharusnya paham bahwa posisi pendidikan kita masih jauh ketingalan dari negara lain di Asia Tenggara. Jangan sampai lembaga pendidikan kita justru menjadi ajang bagi-bagi kursi kekuasaan, untuk merealisasikan konsesi politik jatah menteri secara transaksional.
Jika demikian maka sesungguhnya pemerintah sedang menggali lubang yang sama, dan bukan tidak mungkin pendidikan kita akan kembali terperosok didalamnya.
Pertanyaannya, mengapa kita ini sebagai bangsa, tidak pernah belajar dari “sinyal” masa lalu?
Hal runyam lain yang berkembang adalah, rumor bahwa yang akan menjadi menteri pendidikan tinggi nanti bukan dosen dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama, tapi dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Terbayang, apakah menteri itu memiliki keunggulan dalam urusan manajerial bidang pendidikan tinggi?. Apakah dia akan cukup percaya diri berhadapan dengan para rektor senior, para profesor dari PTN terkemuka, seperti UGM, UI, ITB, Airlangga, UNJ dan lain-lain?.
Jika ini benar terjadi, sungguh ironi dan menyedihkan. Pendidikan sebagai “back bone” atau tulang punggung pembangunan bangsa di bidang SDM, hanya dijadikan alat permainan politik praktis, sarat dengan unsur bagi-bagi kue politik dan “klientisme.”
Melalui tulisan ini saya berharap Presiden terpilih yang terhormat Prabowo Subianto, tidak main-main dengan pengelolaan pendidikan bangsa ini, jika memang serius akan memajukan negeri ini sesuai janji politik bapak saat kampanye lalu.
Pendidikan harus terbebas dari kepentingan politik, steril dari segala “patronase” kepentingan, dan tidak memperlakukan pendidikan sebagai “kelinci percobaan”.
Maka, mohon ditunjuk sosok menteri yang berpengalaman dalam pengelolaan pendidikan tinggi dan paripurna dalam segala urusan “manajemen pendidikan” serta memiliki visi jauh ke depan.
Cukuplah ujicoba itu pada Nadiem Makarim saja yang sama sekali tidak punya pengalaman mengelola pendidikan, apalagi paham tentang “karut-marut” problem pendidikan yang beragam.
*Dr. Eko Wahyuanto, MM adalah Dosen Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta, Alumni Program Manajemen Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta.