JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menerima laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, terkait dugaan penjualan senjata yang dilakukan pemerintah Indonesia kepada Junta Militer Myanmar, Selasa (17/10).
Koalisi sipil memberikan laporan kepada Ombudsman terkait peran tiga BUMN, yakni PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia dalam dugaan pengiriman senjata ke Myanmar.
Ketua ORI Mokhammad Najih memastikan, pihaknya akan mengkaji serta berkoordinasi dengan koalisi masyarakat sipil terkait laporan tersebut. ORI juga bakal berkoordinasi dengan Komnas HAM terkait permasalahan suplai senjata.
“Bahwa jika secara formal pemerintah benar-benar melakukan seperti apa yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil tadi tentu akan sangat bertentangan dengan Konstitusi,” kata Najih di kantor ORI, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (17/10).
“Ombudsman akan bekerja sesuai dengan domain wilayah kerjanya dan jika ada irisan dengan lembaga lembaga lain tentu juga akan bekerja sama dengan lembaga terkait,” sambungnya.
Najih memastikan, Ombudsman akan bekerja sesuai kewenangan, tugas dan fungsi yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang clean government dan clean governance.
“Ombudsman sebagai lembaga negara yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik akan mendalami dan menelaah sejauh apa itu kemudian menjadi kewenangan Ombudsman di dalam menindak lanjuti, memeriksa dan menelaah dugaan malaadministrasi yang disampaikan Koalisi,” ungkap Najih.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, mengatakan pihaknya telah meminta Ombudsman RI untuk turun langsung memeriksa dan memonitor pemeriksaan dugaan malaadministrasi dalam penjualan senjata ini.
Julius menduga, tiga BUMN di bidang pertahanan tersebut sepenuhnya mendapat pengawasan Pemerintah, di bawah perusahaan holding Defend ID. Mereka tentu hanya bisa bertindak dengan arahan dan persetujuan dari Presiden, Kementerian Pertahanan dan Kementerian BUMN yang tergabung dalam Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
“Artinya, ada tanggung jawab Pemerintah atas pelanggaran HAM berat di Myanmar. Padahal Indonesia telah membentuk berbagai instrumen hukum nasional tentang Hak Asasi Manusia,” ucap Julius.
Berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, lanjut Julius, kewenangan Ombudsman untuk memeriksa dugaan malaadministrasi yang dilakukan oleh Presiden, Menteri Pertahanan dan Menteri BUMN, tiga Perusahaan BUMN Industri Pertahanan, yang diduga kuat melanggar banyak instrumen peraturan perundang-undangan nasional tentang HAM.
“Presiden, Menteri Pertahanan, dan Menteri BUMN yang telah mengetahui situasi Myanmar, terlebih lagi sering mengirim Menteri Luar Negeri ke Myanmar dan telah menerima resolusi PBB. Sehingga harus mempertanggungjawabkan aliran pajak rakyat melalui APBN yang berujung pada dugaan suplai ilegal senjata dan amunisi untuk mendukung pelanggaran HAM berat di Myanmar,” tegas Julius.
Sebelumnya mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman bersama Myanmar Accountability Project dan Chin Za Uk Ling (Pegiat HAM) melaporkan ke Komnas HAM terkait dugaan penjualan ilegal senapan serbu, pistol, amunisi, kendaraan tempur dan peralatan militer lainnya kepada Junta Militer Myanmar di bawah Jenderal Min Aung Hlain, selama terjadinya pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Berdasarkan laporan Marzuki dkk. dugaan pasokan senjata itu berbalut kerja sama di bawah MoU oleh PT. Pindad melalui perusahaan broker senjata yang berbasis di Myanmar, True North Co. Ltd., yang dimiliki oleh Htoo Shein Oo yang adalah putra kandung dari Menteri Perencanaan dan Keuangan Junta Militer Myanmar, Win Shein.(03/JP)