“Batasan usia capres dan cawapres yang termaktub dalam UU Pemilu pada dasarnya bukan kewenangan atau ranah MK, tetapi wewenang pemerintah dan DPR selaku pembuat UU.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Praktisi hukum senior Stefanus Gunawan angkat bicara soal dikabulkannya permohonan batasan usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Stefanus Gunawan menyebut putusan MK tersebut patut diduga melanggar UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman).
“Putusan MK yang mengacu pada Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu patut diduga bertentangan, atau melanggar Pasal 17 ayat (4), (5) dan (6) UU Kehakiman,” kata Stefanus Gunawan dalam keterangan tertulis, Rabu (18/10/2023).
Menurut peraih Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, berdasarkan Pasal 17 UU Kehakiman, atau secara hukum, putusan MK tersebut tidak sah.
“Terlebih lagi, masalah usia capres maupun cawapres, termasuk anggota dewan, bukan merupakan obyek dalam perkara MK. Tapi ranah pembentuk UU, yakni, pemerintah dan DPR,” kata Stefanus.
“Kenapa tidak sah?. Karena dalam Pasal 17 UU Kehakiman yang terdiri dari tujuh ayat, cukup jelas dipaparkan kewajiban bagi seorang hakim. Artinya, hakim tidak dapat semena-mena dalam memutus suatu perkara,” sambung advokat senior yang menjabat Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi-SAI) Jakarta Barat itu.
Dalam Pasal 17 ayat (6) UU Kehakiman, lanjutnya, disebutkan bahwa dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Stefanus menerangkan, pada ayat (7) menyebutkan bahwa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
“Intinya, dalam hal upaya penegakan hukum tidak boleh ada kepentingan politik. Bahkan harus dipisahkan dengan kepentingan politik,” tegas Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Jabodetabek itu.
Ia menegaskan hukum harus jadi panglima untuk kepentingan rakyat demo menegakan hukum dan keadilan.
Batasan usia capres dan cawapres yang termaktub dalam UU Pemilu pada dasarnya bukan kewenangan atau ranah MK, tetapi wewenang pemerintah dan DPR selaku pembuat UU.
“Jadi, uji materi batasan usia Capres dan Cawapres yang diajukan mahasiswa, partai dan beberapa kepala daerah ke MK, salah alamat. Seharusnya hal ini disadari oleh para pemohon tersebut, dan hakim MK pun semestinya menolak secara keseluruhan, karena memang bukan ranah hukumnya, dan bukan isu konstitusional,” kata Stefanus yang juga Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia.
Ia pun menyarankan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar merevisi Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU (Peraturan KPU) No. 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Revisi tersebut sebagai solusi terus pasca putusan MK
“Begitu pula dengan poin 16 di dalam Pasal 169 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, sebaiknya diperbaiki sesuai syarat calon legislatif, yaitu 21 tahun. Atau disetarakan dengan syarat usia pemilih. Ini saran saya,” terang Stefanus Gunawan yang Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia.
Seperti diketahui, MK mengabulkan uji materi soal batas usia capres-cawapres yang diajukan Almas Tsaqibburri Re A, Mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa).
Dalam putusannya MK menyatakan batas-batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).(Um/01)