Kinerja Kepolisian Sudah Pada Titik Nadir Terendah Mahasiswa Tuntut Reformasi

Putusan MKMK tentukan nasib Gibran
Stefanus Gunawan, S.H., M.Hum. (Foto: istimewa)

Oleh Stefanus Gunawan, SH, M.Hum

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID — Demonstrasi ribuan mahasiswa yang tergabung pada Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) di Jakarta, Senin (17/2/2025), mendesak pemerintah melakukan reformasi Kepolisian secara menyeluruh, untuk menghilangkan budaya represif, dan meningkatkan profesionalisme.

Ucapan Sudut Pandang untuk Bupati Pasuruan

Tuntutan mahasiswa merupakan pengejawantahan dari keluhan masyarakat selama ini, bahwa kinerja institusi Kepolisian sudah pada titik nadir terendah. Polisi dianggap bukan lagi mengayomi dan melindungi masyarakat, tapi malah menjadi makhluk yang menakutkan pada satu sisi

Padahal lembaga ini diketahui banyak peroleh penghargaan kelas dunia, salah satunya, bersama TNI, mendapat penghargaan bergengsi Commemorative Medal of Peace pada 2024. Tapi, faktanya, akibat ulah buruk dari sebagian besar oknum polisi, penghargaan itu tidak menjadi kebanggaan.

Penghargaan merupakan bentuk penilaian atas suatu prestasi, secara individu maupun kelompok (institusi). Tapi kenapa, di mata masyarakat lembaga Kepolisian Indonesia dinilai buruk dan amburadul dalam hal pelayanan, serta moral anggotanya. Penilaian ini merupakan fakta, kebenaran atas pengaduan atau keluhan masyarakat, yang ternyata bertolak belakang dengan prestasi yang diperoleh.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mencatat laporan masyarakat terkait kinerja Kepolisian yang masuk sepanjang dua tahun belakangan ini. Pada 2023 tercatat menerima pengaduan sebanyak 1.150 keluhan, dan pada 2024 meningkat jadi 1.364 aduan. Keluhan mayoritas adalah buruknya pelayanan, dan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.

Buruknya pelayanan mendominasi keluhan masyarakat pencari keadilan. Di antaranya, penanganan perkara (justice delay) terkesan lambat atau dilambat-lambatkan, di mana akhirnya masyarakat pencari keadilan, atau pelapor, jadi lambat memperoleh kepastian hukum.

Kebanyakan yang terjadi, progres laporan masyarakat tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan dari penyidikan atau penyelidikan. Terkatung-katung, tidak ada kejelasan. Kondisi ini tentu saja bikin sebal.

Yang lebih menyebalkan, pada saat gelar perkara pelapor tidak diundang, namun kemudian yang terjadi, penyidik menyatakan laporan tidak cukup bukti. Buntutnya, penyelidikan pun dihentikan tanpa diketahui pelapor. Tentu saja tindakan oknum polisi semacam itu amat sangat kurang terpuji, dan merugikan bagi pencari keadilan sekaligus merusak citra Kepolisian. Hal ini banyak dikeluhkan masyarakat.

BACA JUGA  Lag-lagi Soal Novel Baswedan

Tindakan yang paling buruk dilakukan oknum polisi dan cukup populis di mata masyarakat adalah, penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, yakni: pemerasan, suap (korupsi), pungutan liar (pungli), dan arogan atau melakukan kekerasan fisik.

Pemerasan yang dilakukan oknum polisi, sudah menjadi rahasia umum di negeri ini. Celakanya lagi, dilakukan secara berjamaah. Contohnya, dua kasus yang jadi bahan pembicaraan masyarakat belakangan ini adalah, tindakan pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) yang dilakukan 35 anggota Polri, dan pemerasan terhadap dua tersangka kasus pembunuhan berinisial AN dan MBH, pelakunya lima oknum polisi.

Hasil pemerasan itu tidak kepalang tanggung, mencapai puluhan miliar rupiah. Jumlah yang tidak sedikit. Fakta itu memunculkan penilaian miring masyarakat: “Kalau mau kaya, jadilah polisi”. Perolehan kekayaan secara instan itu tentu dijamin cepat kebeli mobil, dan rumah seharga miliaran rupiah.

Modus pemerasan yang terus berkelanjutan, tidak akan pernah hilang dari institusi Kepolisian selama ganjarannya hanya sebatas sanksi etik dari sidang Komisi Kode Etik (KKEP), tanpa proses pidana. Tak ada efek jeranya, sekalipun yang bersangkutan dipecat sebagai anggota Polri secara tidak hormat.

Jika kesalahan anggota Polri tidak diproses secara pidana, tentu akan menimbulkan prasangka buruk masyarakat terhadap Kepolisian. Bukan hanya itu, dikhawatirkan masyarakat akan melakukan aksi pembangkangan, atau menolak diperiksa polisi dalam kasus pidana yang dilakukannya.

Alasannya, polisi yang melakukan tindak pidana tidak diproses hukum, kenapa masyarakat harus diproses. Ini bentuk ketidakadilan. Tentu saja hal ini menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum.

Memprihatinkan, memang. Polisi yang jelas-jelas melanggar hukum, hanya dikenakan sanksi etik, tanpa merasakan jeruji penjara. Sementara masyarakat terpidana harus mendekam di tahanan.

Penyalahgunaan

Yang tidak kalah memprihatinkan adalah, penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang dilakukan oknum polisi. Penyebabnya, lebih cenderung pada arogansi wewenang dan kekuasaan sebagai aparat dan pejabat Kepolisian. Yang dirugikan sudah tentu pencari keadilan.

BACA JUGA  Demi Kedaulatan Ekonomi: Hapuskan Pinjol!

Tindakan ini merupakan penggunaan wewenang dan kekuasaan yang notabene melampaui batas, bertindak sewenang-wenang, dan mencampuradukan wewenang dan kekuasaan. Penyalahgunaan juga kerap dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah, bukan hanya sebatas oknum Kepolisian saja.

Secara harafiah, penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan diartikan sebagai tindakan di luar batas kewajaran dengan cara sewenang-wenang. Bagi penyidik polisi selaku pejabat negara, perbuatan ini diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan). Yakni, melarang untuk melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang atas dasar kekuasaan.

Selain UU Administrasi Pemerintahan, tindakan polisi tersebut juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan penyidik polisi merupakan tindak pidana yang dapat juga dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Kejahatan ini dapat dikategorikan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Contoh tindakan polisi yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan adalah kasus pembunuhan Brigadir Nofriansah Yosua Hutabarat yang dilakukan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo bersama enam anggota Polri lainnya. Penyelidikan kasus ini sempat mandek lantaran beberapa oknum anggota Propam melindungi Ferdy Sambo selaku pimpinan mereka.

Upaya melindungi Ferdy Sambo oleh anggota Propram dari tindakan kejahatan, merupakan penyalahgunaan wewenang atas dasar kekuasaan. Enam polisi yang terlibat kasus tersebut sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dan mendapat sanksi pidana.

Masih banyak kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang dilakukan anggota Polri,yang terungkap maupun yang lolos dari publikasi media massa. Bahwa kejahatan ini amat sangat merusak citra Kepolisian.

Tindakan itu pun tak jarang juga dilakukan polisi terhadap pengacara, atau lebih dikenal dengan sebutan kriminalisasi advokat. Dalam kaitan sesama penegak hukum, sebenarnya ada kesepakatan bersama antara Kepolisian dengan organisasi advokat. Yakni, apabila ada pengacara diduga melanggar hukum, sebelum ditentukan sebagai tersangka, atau dipanggil untuk diperiksa, terlebih dahulu ada pemberitahuan kepada organisasinya. Tidak serta merta diperiksa.

BACA JUGA  Perlindungan Hukum Masyarakat di Tengah-tengah Pandemi Covid-19

Dalam konteks kasus ini, kerap kali advokat dijerat dengan pasal 221 KUHAP, yaitu menghalangi atau merintangi proses penyidikan. Tapi pada bagian lain, tidak jarang pula polisi tak melanjuti laporan pidana masyarakat. Tindakan polisi seperti itu patut dipertanyakan, apakah itu juga bukan merupakan bentuk menghalangi proses penyidikan.

Seharusnya juga sama, penyidik yang tidak menindak lanjuti atau menghambat proses penyidikan laporan masyarakat, oknum yang bersangkutan telah menghalangi proses penyidikan. Mestinya oknum itu juga dikenakan pasal 221 KUHAP.

Artinya, pasal tersebut bukan diperuntukkan bagi advokat saja, tapi juga berlaku untuk oknum penyidik yang tidak menjalankan tugasnya dalam hal penyidikan. Contoh lain, tidak sedikit laporan masyarakat digantung atau dipeti-eskan bertahun-tahun. Setelah ada pihak yang mem-publish, dan jadi viral, baru kemudian diproses.

Perlu diketahui, ketika seorang advokat menjalankan tugas profesinya dengan etikad baik, membela kepentingan hukum klien, seyogianya tidak dapat dipersalahkan secara hukum. Apalagi kemudian ditetapkan sebagai tersangka tanpa sepengetahuan organisasi yang memayunginya. Banyak kasus seperti itu yang dialami advokat.

Banyak kasus dilakukan oknum polisi yang merugikan masyarakat, wajar jika mahasiswa dalam orasi demo mendesak pemerintah melakukan reformasi secara menyeluruh terhadap Kepolisian. Dan, apakah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo peka terhadap tuntutan mahasiswa?

Penulis Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) SAI Jakarta Barat, dan ketua beberapa lembaga bantuan hukum (LBH) di Jakarta