M Nasir Asnawi: Emosi Pemijat Meledak

Pemijat
Foto: Emosi Pemijat Meledak

“Ada yang usul menggerebek rumah warga itu ketika memanggil juru pemijat, ada yang usul warga yang bersangkutan diajak bicara saja dan diberi tahu kalau menggunakan jasa pijat berlainan jenis kelamin jangan pada malam hari”

Oleh M Nasir Asnawi

Stasiun Tangerang Kota. Para penumpangnya yang tinggal sedikit bergegas turun dan menyebar ke berbagai arah. Penjual sate, nasi goreng sudah tidak terlihat di pinggir jalan. Pintu-pintu rumah di kompleks perumahan rata-rata sudah tertutup rapat. Semua warga seperti sudah nyenyak di tempat peraduan. Sepi.

Tengah malam yang dingin disertai angin mulai menyapa kulit muka. Ketua Rukun Tetangga (RT) Maman yang mengenakan jaket loreng Korea dan kupluk, malam itu di bulan Mei, sedang mengontrol pos keamanan.

Pos keamanan berada di pintu gerbang masuk Taman Mawar Indah, salah satu perumahan dari ratusan kompleks perumahan yang tumbuh bak jamur di musim hujan di kawasan Tangerang

Kota Tangerang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta Barat yang terkenal subur dengan panti pemijat di kawasan Mangga Besar yang sering disebut Mabes.

Kota Tangerang berpenduduk hampir dua juta orang pada 2025 telah lama menjadi penyangga keruwetan Jakarta dalam pelayanan penduduknya

Sebagian warga setelah bekerja di Jakarta pulang ke Tangerang. Kota ini dianggap tempat mereka tidur. Menikmati kumpul keluarga sambil mendengarkan badan yang kadang menjerit-jerit kelelahan.

Maman yang dikenal dengan panggilan Pak RT malam itu sedang patroli lingkungan. Singgah di pos keamanan. ”Ayo ngopi-ngopi. Kita ngopi,” kata Pak RT tanpa mengucap ”Selamat malam”.

Dia ingin tidak terkesan formal di depan para anggota satuan pengamanan (satpam) yang kerap ia temui berdiri tegap sambil memberi hormat, angkat tangan sampai pelipis dan berucap, ”Siap, selamat malam. Siap perintah”.

Kadang-kadang itu dilakukan satpam sambil bercanda. Entah itu anjuran dari mana, satpam itu tentara bukan, polisi juga bukan.

Pak RT kemudian ngobrol ke sana kemari dengan satpam di pos jaga. Maman benar-benar malam itu singgah di pos satpam, seperti yang ia sampaikan kepada Desi, istrinya, saat pamit keluar rumah

Maman, seperti pria Betawi pada umumnya, setia pada aturan yang tidak tertulis. Setiap keluar rumah mesti pamit istri. Malam itu ia pamit akan cari tahu informasi keadaan lingkungan lewat pos satpam.

Di pos satpam ia mengambil kursi dan ditaruh di sudut pos supaya bisa nyaman ngobrol dengan satpam. Maman bertanya dengan gaya melingkar, seperti intel, tidak langsung. Sedikit-sedikit info tergali

Dia mengorek informasi dari satpam yang tidak selalu melaporkan setiap kejadian di perumahan. Bagi satpam, info dari perumahan terlalu banyak. Mulai yang remeh-temeh sampai yang besar, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Yang kecil-kecil seperti yang diceritakan beberapa perempuan pembantu bahwa ada majikan pria yang suka godain mereka. Cerita macam itu tidak dilaporkan ke mana-mana oleh satpam. Itu hanya untuk obrolan gosip saja.

Maman rupanya kepo juga. Ia bertanya soal pembantu rumah tangga yang suka main ke pos keamanan sampai bertanya bocoran kelakuan warga dari pembantu.

Malam semakin dingin. Pertanyaan semakin seru. ”Ada anggota kita yang pacaran dengan pembantu yang suka main kemari? Katanya ada?” tanya Maman setengah menuduh sebagai pancingan dan pemanis obrolan

Belum sempat dijawab. Maman mengatakan, ”Jangan main HP saja. Youtube pertengkaran Dedi Mulyadi dan Hercules saja ditonton. Dedi itu Gubernur Jawa Barat. Kita orang Banten, gubernurnya lain. Sudah pagi ini, jam 02.00, ayo giliran siapa patroli,” kata Maman yang menyindir salah seorang satpam yang terlihat main HP (handphone) melulu.

”Siap Pak RT, sekarang giliran saya kontrol lingkungan,” kata satpam Sanip sambil bangkit dari potongan kayu yang dijadikan tempat duduk.

BACA JUGA  In Memoriam Azyumardi Azra: Lebih Lembut dari Cak Nur

Sanip sebelum berangkat berbisik-bisik kepada Pak RT bahwa baru saja ada laporan dari warga yang merasa keberatan ada perempun pemijat sedang berada di rumah warga.

”Tadi pemijat panggilan masuk kemari dua jam yang lalu. KTP-nya saya minta ditinggal di pos,” kata Sanip yang diperkuat satpam yang lain, Sofyan.

”Ya Pak betul. Tapi tetangga-tetangganya keberatan. Dalam seminggu tiga kali warga yang tinggal di blok B itu memanggil pemijat perempuan,” kata Sofyan

”Coba lihat KTP-nya,” pinta Maman. Sofyan bergegas melangkah ke meja, mengambil KTP juru pijat dan menyerahkannya kepada Pak RT.

”Cantik juga ini orang. Terus kita harus gimana masak orang memanggil tukang pijat tidak boleh. Ya boleh saja. Tapi kalau sampai tetangganya keberatan ini masalah serius juga. Jangan sampai warga bertindak sendiri. Tapi harus dicari tahu pijat beneran enggak?” kata RT yang mulai ragu

”Kalau pijat beneran atau tidak saya tidak tahu Pak. Tetangganya sudah menyampaikan laporan keberatan lewat telepon. Kami catat. Ini kejadian sudah berkali-kali. Mereka (warga tetangganya) malam-malam mendengar suara laki-laki dan perempuan tertawa cekikikan,” kata Sanip meyakinkan adanya keberatan warga.

Sanip berangkat dengan sepeda ke arah blok B. ”Keratak….” bunyi rantai ketika kaki Sanip memancal pedal sepeda.

Tetapi sampai Blok B, Sanip tidak berani masuk rumah, hanya melihat dari jarak dua rumah.

Sanip tidak mendekat ke rumah warga yang di dalamnya ada juru pijat. Dia takut kalau ditanya harus berkata apa

Sanip kemudian berputar-putar menyusuri jalan-jalan di perumahan, terus kembali ke pos. Saat Sanip kembali, Pak RT masih ada di pos.

Pak RT bertanya pada Sanip, ”Aman? Bagaimana itu tukang pijat? Sudah jam 03.00 belum pulang juga. Saya ingin tahu juga, rupanya seperti apa sih itu bocah,” kata Maman setengah bergurau.

”Wah aman sih aman. Saya tidak tahu soal itu. Saya tidak berani masuk rumahnya, kecuali ada perintah dari Pak RT,” jawab Sanip.

Ketua RT terdiam. Bola penyelesaian di tangannya. Maman seperti menahan napas, matanya tidak kedip, seperti kebingungan.

”Sanip kalau aku minta kau mengetuk pintu rumah itu berani enggak?” kata Maman dengan suara keras

”Ya berani lah, menggerebek juga berani, apalagi dipimpin Pak RT. Siap,” kata Sanip

Pak RT langsung menyikapi dan meminta jangan ada tindakan apa-apa dulu, perlu rapat dulu dengan pengurus. ”Ini serba salah kalau masalah ini tidak diselesaikan, warga yang merasa terganggu akan bertindak sendiri-sendiri,” tutur Maman dengan nada tinggi

”Tetapi warga yang keberatan mungkin suka pijat juga, tapi mungkin jangan di rumah. Tapi sebenarnya juga tidak ada aturan untuk warga mengundang juru pijat panggilan. Tapi mungkin jangan membuat resah warga,” tutur Maman yang sepertinya belum siap untuk berbicara bagaimana seharusnya.

Keesokan harinya Pak RT mengajak rapat para pengurus RT. Hadir Pak Jaman yang suka mengenakan kopiah putih (wakil ketua RT), ada Pak Budi penasihat RT, dan ada Tantri sekretaris RT.

Pak RT memimpin rapat untuk menyikapi aduan warga yang keberatan tetangganya mengundang juru pijat panggilan.

Usul berseliweran. Ada yang usul menggerebek rumah warga itu ketika memanggil juru pijat, ada yang usul warga yang bersangkutan diajak bicara saja dan diberi tahu kalau menggunakan jasa pijat berlainan jenis kelamin jangan pada malam hari

Tapi ada yang tidak setuju usulan-usulan tersebut karena akan membuat warga yang bersangkutan malu.

”Kita tetap melindungi warga pengguna jasa pijat. Kita jangan lekas menuduh itu bukan pijat beneran. Mari kita bijaklah. Jangan sampai lingkungan kita ramai gara-gara itu. Apalagi kalau sampai ada penggerebekan, wah janganlah ya,” tutur Budi yang penasihat RT

BACA JUGA  Amanda Manopo Geram Saat Live Jualan Hijab Disinggung Pelakor

”Bagaimana kalau tetangga pelapor dan warga yang menggunakan jasa pijat dipanggil ke kantor RT semua?” usul Jaman, wakil RT.

”Wah jangan dipanggil, takut nanti jadi ramai. Kasihan warga pemakai jasa pijat. Malu nanti dia. Janganlah,” kata Ketua RT.

Sekretaris RT Tantri yang sejak awal mendengarkan dan mencatat jalannya rapat sudah berkali-kali tahan napas ingin usul

”Silakan Tantri, suara perempuan mungkin ada pandangan yang berbeda,” kata Pak RT.

Tawaran bicara itu langsung disambut Tantri dengan napas terlihat berat. Sepertinya ia menahan emosi

”Begini bapak-bapak dan om-om. Saya melihat rapat ini cenderung memberi tindakan pada Pak Suto yang memanggil juru pijat. Kebetulan pemijatnya perempuan. Apa salahnya dengan perempuan!” kata Tantri yang pernah mendapat kuliah yang membicarakan soal jender.

Tantri usul, pengurus jangan melayani warga-warga yang sok moralis. Di perumahan ini tidak ada standar moral yang ditetapkan bersama. Siapa saja boleh tinggal di sini

”Ustadz, pegawai negeri, buruh pabrik, pemilik perusahaan, atau pekerja di sektor hiburan, semua boleh tinggal di sini, asal mampu membelinya,” kata Tantri berapi-api.

”Biarkan warga kita itu memanggil juru pijat untuk datang ke rumahnya. Mungkin badannya capek setelah seharian bekerja dan pulang malam. Sudah lah itu tidak usah diurusin. Kita jangan buruk sangka seakan-akan kalau mengundang juru pijat perempuan lalu bisa melakukan apa saja. Jangan menuduh orang sembarangan,” kata sekretaris RT yang baru lulus kuliah itu

Kita sendiri pengurus tidak tahu standar moral. Biarlah standar moral itu berada dalam hati masing-masing warga.

Pak RT setelah mendengarkan masukan pengurus memberi saran yang kemudian diterima oleh pengurus yang hadir dalam rapat itu

”Kita tidak perlu bicara standar moral. Takut jadi panjang. Kita sendiri pengurus tidak tahu standar moral. Biarlah standar moral itu berada dalam hati masing-masing warga,” tutur Maman.

Maman kemudian mengambil jalan tengah. Usulannya tidak melibatkan warga, tetapi mengikat bagi para pemijat yang mendapat panggilan warga perumahan

”Begini, pada malam hari para juru pijat panggilan tidak boleh masuk ke lingkungan perumahan. Suruh balik. Tapi kita harus membuat pengumuman untuk warga dulu,” kata Maman.

”Siap laksanakan,” kata satpam Sanip yang selama ini menjadi ketua regu jaga malam. Sanip tidak sempat berpikir panjang apa akibat pengumuman tersebut

Rapat selesai. Maman minta Sekretaris RT Tantri langsung menulis notulen dan pengumuman untuk warga. Notulen yang merekam perdebatan dalam rapat tidak disebarkan ke WA grup warga. Tetapi surat yang berisi larangan juru pijat masuk perumahan wajib disebarkan. ”Siap Pak RT,” kata Tantri.

Rupanya belum semua warga membacanya. Pada hari kedua setelah pengumuman, pada malam hari ada perempuan dengan mengepit tas warna cokelat mendekati pos satpam.

Sanip dari balik kaca jendela pos satpam sudah melihat. ”Wah ada tante-tante mau masuk,” kata Sanip dalam hati.

”Malam Mas, saya juru pijat panggilan. Malam ini saya diminta warga datang memijat,” katanya

”Siapa tante nama warga yang memanggil?”

”Hei kau jangan sembarangan ya panggil nama saya tante. Memangnya tante kamu. Sudahlah jangan ribet-ribet, saya ditunggu untuk memijat warga di Blok B,” kata perempuan itu dengan galak.

Warga yang dimaksud adalah Pak Suto warga blok B yang sebelumnya telah dilaporkan tetangganya dalam urusan pijat.

”Maaf, maaf Bu, tidak bisa masuk. Ini ada surat dari Ketua RT. Isi suratnya para pemijat tidak boleh masuk perumahan pada malam hari,” kata Sanip

Saya datang kemari naik kendaraan Grab, dipanggil warga untuk memijat.

”Hai satpam tahu enggak kamu! Saya datang ke mari naik kendaraan Grab, dipanggil warga untuk memijat. Ini nomor WA-nya. Ini panggilannya. Ini minyak urutnya,” kata perempuan itu sambil membanting minyak pelicin di botol yang bertuliskan hand body di atas meja satpam.

BACA JUGA  Perlunya Izin Pembangunan Taman

Sanip tetap bersikeras tidak mengizinkan perempuan itu masuk. ”Ini pengumuman dari Pak RT. Kami hanya menjalankan tugas,” tutur Sanip dengan suara tergagap.

Perempuan itu tidak mampu menahan emosinya. Meledak seperti petasan. Berteriak-teriak, memaki-maki satpam perumahan.

”Baru jadi satpam sudah berlagu. Saya panggilkan Pak Suto yang panggil saya kemari biar kamu dipecat,” kata perempuan yang mengaku bernama Winahati itu.

Cekcok mulut membuat layanan pintu masuk gerbang pos satpam terganggu. Kejadian ini menjadi perhatian warga yang akan melintas masuk perumahan.

Whatsapp warga pun bersaut-sautan secepat kilat ingin tahu apa yang tengah terjadi pos pintu gerbang.

Rupanya juru pijat juga menghubungi Pak Suto yang sedang menunggu di rumah. Datanglah dia ke pos satpam sambil menggebrak meja dan memaksa satpam membolehkan juru pijat masuk.

”Tahu enggak? Dia itu tamu saya. Saya warga di sini pembayar iuran lingkungan. Apa hak kau melarang tamu masuk,” gertak Suto yang mengenakan kaus oblong putih.

”Sudahlah Mas biar mbak pemijat itu masuk. Di rumah kan ada saya dan anak-anak. Saya ini istrinya Pak Suto. Enggak mungkin di rumah dia berbuat macam-macam,” kata seorang ibu mengenakan baju daster di belakang Suto.

”Ya bu saya kenal keluarga ibu. Ini instruksi Pak RT, kami hanya menjalankan tugas. Mohon maaf ini keputusan rapat bersama pengurus RT,” kata Sanip tegas.

Juru pijat pulang setelah bicara pelan dengan Pak Suto. Suto pun kembali ke rumah bersama istrinya sambil menggerutu, ”Sok kuasa.”

Suto sejak itu tidak pernah memanggil juru pijat panggilan. Tetapi dia, kata Ketua RT, tidak pernah lagi kumpul-kumpul dengan warga. Dia tidak mau lagi kerja bakti bersih-bersih lingkungan bersama warga. Dia sepertinya menghindar bertemu warga dan pengurus lingkungan. Kalau keluar, dia tidak pernah lagi buka kaca jendela mobil

Tetangga dekatnya, Pak Puji, pernah dicurhati oleh dia. ”Pak Suto kecewa dengan warga dan pengurus RT karena merasa dicurigai ketika memanggil pemijat panggilan,” kata Puji tetangga sebelah rumahnya.

Bahkan, menurut penuturan tetangganya itu, dia sudah tidak betah tinggal di perumahan itu lantaran tetangganya pada usil. Dia merasa dicurigai berbuat aneh-aneh

Sebenarnya kalau perempuan pemijat tidak teriak-teriak di pos satpam, warga tidak ada yang tahu dan Pak Suto tetap nyaman tinggal di sini.

Sebulan kemudian Pak Suto memasang plang pengumuman, rumahnya dijual. Padahal sebelumnya kepada tetangganya dia mengatakan betah tinggal di perumahan yang sejuk dan dipenuhi pohon pelindung itu

Melihat kenyataan seperti itu, Pak RT sempat menyesali keputusannya yang membuat warganya harus menjual rumahnya. Penyesalan ini terungkap ketika Pak RT menggelar rapat lanjutan dengan pengurus.

Tapi untuk membela keputusannya demi menenangkan hatinya yang merasa bersalah, Pak RT sempat berujar begini, ”Sebenarnya kalau perempuan pemijat tidak teriak-teriak di pos satpam, warga tidak ada yang tahu dan Pak Suto tetap nyaman tinggal di sini.

Jakarta, 14 Juni 2025

*Penulis adalah M Nasir Asnawi, Menulis Non-fiksi, Fiksi, dan Karya Jurnalistik. Pernah Belajar Sastra Inggris dan Filsafat.