Opini  

Upaya Pembusukan terhadap Keluarga Jokowi

Upaya Pembusukan terhadap Keluarga Pak Jokowi
Foto kolase Sudutpandang.id

“Tidak ada satu pun proses hukum yang boleh dimulai dari media sosial, tanpa melalui prosedur hukum yang sah.”

Oleh: Prof. O. C. Kaligis

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis atas berbagai isu yang berkembang di ruang publik, khususnya terkait tuduhan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya. Melalui sudut pandang hukum, penulis mengajak pembaca menilai secara adil dan proporsional berdasarkan prinsip negara hukum.

Berikut catatannya:

1. Indonesia adalah negara hukum yang diketahui oleh semua orang.

2. Sebagai negara hukum, tentu semua tindakan pidana berpijak pertama-tama pada Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.

3. KUHAP menjadi karya agung karena menerapkan “asas praduga tak bersalah”.

4. Bila mengikuti media sosialnya Roy Suryo, melalui peradilan jalanan, eks Presiden Jokowi telah divonis bersalah oleh Roy Suryo dan kawan-kawan.

5. Yang memulai fitnah terhadap eks Presiden Jokowi dan keluarganya, dimulai dengan sangkaan ijazah palsu, adalah Roy Suryo.

6. Baik dalam perkara pidana maupun gugatan perdata, saat dimulainya pembahasan atau silang pendapat atas kasus itu adalah di saat hakim menyatakan sidang perkara tersebut dibuka dan terbuka untuk umum.

7. Peradilan jalanan sama sekali tidak dikenal dalam KUHAP.

8. Media baru bisa memberitakan kasus ini bila hakim mengetuk palu menyatakan perkara ini dibuka dan terbuka untuk umum.

9. Perkara ini dimulai saat laporan pidana eks Presiden Jokowi dinyatakan lengkap alias P-21.

10. Pada saat itu, penasihat hukum terdakwa, berdasarkan Pasal 72 dan 75 KUHAP, dapat meminta salinan berkas perkara untuk mempersiapkan diri melakukan pembelaan.

11. Untuk perkara pidana, di saat jaksa penuntut umum, setelah kasus tersebut dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, jika kasus ini bermula dengan laporan pidana Pak Jokowi, JPU akan membacakan dakwaannya.

12. Setelah itu, penasihat hukum Roy Suryo atau Roy Suryo sendiri sebagai terdakwa diberi kesempatan mengajukan eksepsi.

13. Dalam pemeriksaan selanjutnya, pelapor, dalam hal ini Jokowi yang diwakili JPU, wajib membuktikan bahwa ijazah Jokowi adalah asli.

14. Sebaliknya, Roy Suryo diberi kesempatan membantah (membuat eksepsi) sesuai Pasal 156 ayat (1) jo. Pasal 144 ayat (2) dan (3) KUHAP, dengan memasukkan bukti-buktinya sesuai Pasal 184 KUHAP.

BACA JUGA  Mengapa HPN 9 Februari?

15. Yang menyebabkan laporan Jokowi dinyatakan lengkap alias P-21 antara lain hasil Labfor, keterangan para guru besar Universitas Gadjah Mada, teman-teman sekelas Jokowi, termasuk teman kerja di Sumatera Utara.

16. Saat pembuktian, hakim akan memperlihatkan ijazah asli, bahkan dalam proses inzage, Roy Suryo atau pengacaranya dapat melihat langsung ijazah Jokowi.

17. Jadi benar bila sekarang eks Presiden Jokowi tidak mau memperlihatkan asli ijazahnya di luar persidangan. Hakim pun pasti akan menolak bila asli ijazah itu diminta oleh Roy Suryo di luar sidang.

18. Yang juga dapat dihadirkan sebagai saksi adalah petinggi partai PDIP yang sejak awal mendukung Jokowi saat kampanye gubernur dan presiden.

19. Mereka pun dapat diajukan sebagai saksi.

20. Inilah proses di mana JPU mewakili korban, dalam hal ini Presiden Jokowi, melawan terdakwa.

21. Mereka saling berargumentasi mengenai keabsahan pembuktian melalui jawaban, replik, duplik, pembuktian termasuk pendapat ahli, hingga tuntutan dan vonis akhir, apakah ijazah Jokowi palsu atau asli.

22. Bahkan dalam pemeriksaan terhadap Roy Suryo dapat pula dipertanyakan apakah sebagai eks Menteri Olahraga, Roy pernah membawa pulang ke rumah alat-alat rumah tangga berupa panci dan piring, sehingga petugas rumah dinas menteri pernah mempertanyakan hal itu kepadanya.

23. Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (6) KUHAP: “Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu.”

24. Harus juga digali mengapa Roy pernah dihukum, termasuk soal panci yang dibawa pulang.

25. Bila ijazahnya benar-benar asli, maka si penyebar fitnah dan pencemaran nama baik, sesuai Pasal 310, 311, 315 KUHP dan Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 1 Tahun 2024, dapat divonis bersalah dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara.

26. Kembali ke kasus ijazah palsu. Bertindak sebagai “hakim agung” dalam peradilan jalanan adalah Roy Suryo. Semua temuan polisi dianggap olehnya tidak benar.

BACA JUGA  Gugat Dewan Pers, OC Kaligis dan Ronny Sompie Siap Bela Hak PWI

27. Pasal 108 KUHAP: “Barang siapa mengetahui terjadinya kejahatan, wajib melaporkan hal itu ke polisi, jaksa, atau penyidik yang ditetapkan menurut undang-undang.”

28. Maksud pasal tersebut adalah agar masyarakat turut serta memerangi kejahatan.

29. Lampiran ijazah Jokowi sudah diajukan ke KPU sejak mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo (2005 – 2012), lanjut ke Pilgub DKI (2012 – 2014), hingga dua kali ke Pilpres (2014 – 2024).

30. Dari wali kota sampai presiden, kelengkapan administrasi pasti telah dipenuhi dan diketahui oleh partai pendukung. Hal yang sama berlaku saat Gibran maju menjadi Wali Kota Solo dengan dukungan PDIP.

31. Bahkan saat Gibran maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo, seluruh dokumen administratif telah lengkap.

32. Mengapa saat itu Roy Suryo dan kawan-kawan tidak melakukan perlawanan hukum? Mengapa laporan soal ijazah palsu baru muncul sekarang, tidak sejak tahun 2005?

33. Bukankah di tahun 2025 ini, laporan tentang dugaan surat palsu oleh Roy Suryo telah kadaluarsa karena sudah lebih dari 12 tahun, sementara proses KPU sangat transparan dan terbuka untuk umum?

34. Semua menyaksikan paparan para kontestan pilpres, termasuk Roy Suryo dan kawan-kawan.

35. Mengapa saat itu mereka tidak melontarkan fitnah soal ijazah palsu, atau menyerang Gibran sebagai calon wakil presiden?

36. Bila saja pasangan Anies – Muhaimin atau Ganjar – Mahfud yang menang, kemungkinan besar isu konspirasi ijazah palsu ini tidak akan muncul.

37. Pasangan Prabowo – Gibran meraih 58 persen suara, kurang lebih 100 juta pemilih sah memilih mereka sebagai presiden dan wakil presiden.

38. Pertanyaannya: mengapa setelah kalah, muncul berbagai konspirasi untuk menjatuhkan Jokowi dan keluarganya dari tuduhan eksplorasi emas dan nikel, hingga desakan agar Gibran mundur sebagai wakil presiden?

39. Keluarga Jokowi seolah menjadi sasaran tembak: dari tuduhan ijazah palsu, serangan ke UGM, pelaporan ke Bareskrim, uji Labfor, hingga fitnah-fitnah di media sosial.

BACA JUGA  Taiwan, Mitra Terpercaya Menuju Masa Depan Emisi Nol Bersih

40. Ketika semua tuduhan itu tidak terbukti, Roy Suryo dan kawan-kawan berkelit dengan mengatakan bahwa itu adalah pendapat ahli, dalam rangka kebebasan berpendapat.

41. Bahkan muncul isu pemakzulan terhadap Gibran tanpa bukti, dan eks petinggi militer mengancam akan menduduki Gedung DPR/MPR jika tidak mendapat jawaban dari pimpinan MPR.

42. Agar peradilan jalanan tidak terus berlanjut di media sosial, sebaiknya kepolisian segera melimpahkan laporan Pak Jokowi ke pengadilan.

43. Kita pernah menyaksikan kasus Ratna Sarumpaet di tahun 2018.

44. Saat itu ia merupakan bagian dari tim sukses Prabowo – Sandi.

45. Ia menyebarkan hoaks soal wajah lebam akibat penganiayaan.

46. Setelah terbukti bahwa itu bohong, dan ia menyebarkan hoaks di media sosial, polisi menangkapnya.

47. Setelah itu, kegaduhan hukum mereda, dan hukum kembali ditegakkan.

48. Akibat hoaks itu, Ratna dikeluarkan dari tim sukses dan menjadi salah satu faktor kekalahan Prabowo-Sandi dari Jokowi-Ma’ruf Amin.

50. Bila saja kasus laporan ijazah palsu Jokowi segera dilimpahkan ke pengadilan, maka simpang siur akan segera terang. Dengan banyaknya saksi dan bukti yang mendukung Jokowi, publik akan melihat kebenaran.

51. Melalui proses pengadilan yang sah, penegak hukum akan bekerja berdasarkan fakta dan tidak terpengaruh oleh peradilan jalanan.

Minggu, 6 Juli 2025

*Penulis, Prof. Otto Cornelis Kaligis, adalah advokat senior dan pemerhati hukum yang sampai saat ini masih aktif menulis buku-buku tentang hukum

——————————————————————————————————————–

Disclaimer

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi. Seluruh isi, opini, dan analisis disampaikan semata-mata untuk tujuan edukatif dan diskusi ilmiah, tanpa bermaksud membenarkan tindakan yang melanggar hukum.