BOGOR-JABAR, SUDUTPANDANG.ID – Anggota Dewan Pengawas Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pusat, Hermanus Prihatna menegaskan bahwa fotojurnalistik masih eksis dan tetap menjadi keperluan utama dalam pemberitaan di era digital saat ini.
“Ketika televisi muncul pada tahun 1950-an, Robert Capa, seorang fotografer perang yang cukup ternama serta salah seorang pendiri Kantor Berita Foto Magnum, menyatakan bahwa sejak itulah kiprah fotojurnalistik akan tamat,” katanya di Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/8/2025).
Jurnalis foto senior yang pernah menjabat Kepala Divisi Pemberitaan Foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA itu menyampaikan hal itu usai diselenggarakannya pelatihan jurnalistik kepada angkatan I mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di wilayah Bogor, Jawa Barat di pekan pertama (6/8) Agustus selama empat kali pertemuan.
Pelatihan untuk mahasiswa itu digagas Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bogor Raya dengan menggandeng lembaga pelatihan jurnalistik PT Kreativa Multimedia guna mengenal lebih jauh mengenai foto jurnalistik dan juga dunia kewartawanan secara umum.
Selain Hermanus Prihatna, juga dihadirkan Redaktur Senior ANTARA, Rahmat Nasution yang pernah bertugas sebagai Kepala Biro ANTARA di Canberra, Australia, yang memberikan materi tentang dasar-dasar peliputan berita.
Menurut Hermanus ada pertanyaan mendasar yakni dapatkah seseorang memperkirakan keberadaan fotojurnalistik pada masa mendatang?
Ia mengatakan pertanyaan ini mulai muncul sejak beberapa tahun yang lalu, khususnya terkait prediksi Robert Capa tersebut.
“Ternyata pendapat ini salah,” katanya merujuk pada Ken Kobre dalam bukunya ‘Photojournalism: The Professional Approach (Focal Press, Butterworth-Heinemann)’,” katanya.
“Sementara pendapat lain memperkirakan bahwa fotojurnalistik akan selesai dengan berakhirnya penerbitan majalah mingguan Life ataupun jika ada koran sore yang besar mulai gulung-tikar,” tambahnya.
Ternyata, kata dia, semua perkiraan ini ternyata meleset sama sekali.
Adanya website-website dengan menu utama pemberitaan nasional ataupun internasional, menandakan bahwa fotojurnalistik (berita foto) masih dibutuhkan.
“Jadi, 65 tahun setelah Capa memprediksi bahwa fotojurnalistik akan berakhir, akan tetapi hingga saat ini fotojurnalistik masih eksis dan tetap menjadi keperluan utama dalam pemberitaan,” katanya menegaskan.
Pada kenyataannya, website yang berisi tentang pemberitaan kebanyakan selalu menyertakan foto-foto dalam berita-berita utama apa saja.
Ia memberi contoh bahwa media besar seperti The Washington Post, News Week, New York Times, NBC, CNN, serta di Indonesia seperti detik.com dan kompas.com, yang berbasis web, selalu menyampaikan berita-berita yang paling hangat serta disertai gambar terkini.

“Nose for News”
Sementara itu, dalam pelatihan itu, Rahmat Nasution memberikan pemahaman kepada peserta bahwabBagi seorang wartawan — baik pemula maupun senior –, kepekaan mencari, merangkai dan “mencium berita” (nose for news) adalah hal yang mutlak diperlukan.
“Hal penting dari jurnalistik adalah bagaimana membuat berita, setelah sebelumnya menyusun data-data serta fakta yang ada,” katanya.
Selain itu, juga soal “nilai berita”, di mana dari ragam definsi mengenai berita, ada satu hal penting yang mendasar yakni nilai berita (news value). Dalam nilai berita ini ada unsur:
1. Prominence/Importance: Pentingnya suatu berita diukur dari dampaknya: bagaimana dia mempengaruhi anda. Korban yang meninggal lebih penting ketimbang kerusakan benda.
2. Human Interest: Suatu yang menarik perhatian orang seperti berita tentang selebritas, gosip politik, dan drama yang menceritakan kehidupan manusia.
3. Conflict/Controversy: Konflik biasanya lebih menarik ketimbang keharmonisan.
4. The Usual: Suatu yang tidak biasa atau unik, umumnya menarik, misalnya berita tentang seorang wanita yang melahirkan anak kembar lima, ini adalah berita yang bernilai karena tidak biasa.
5. Timeliness: Berita adalah tepat waktu, artinya unsur kecepatan menyampaikan berita sesuai waktu atau aktual, merupakan hal penting, melewatinya maka berita tersebut bisa disebut berita basi atau kedaluwarsa.
6. Proximity: Kegiatan yang terjadi dekat kita dinilai punya nilai lebih tinggi. Misalnya gempa bumi di Jakarta dan menimbulkan korban jiwa jelas akan lebih bernilai berita bagi publik Indonesia ketimbang kasus atau peristiwa di luar negeri.

Sementara itu Ketua PFI Bogor Raya, Andi M Ridwan menambahkan bahwa pelatihan angkatan I itu diikuti mahasiswa dari Universitas Ibnu Khaldun , Universitas Pakukan (Unpak), Universitas Djuanda (Unida) dan IPB University dan berlangsung selama 4 kali/hari pertemuan, sejak dibuka pada Senin (4/8).
Menurut dia digandengnya PT Kreativa Multimedia untuk pelatihan bagi mahasiswa itu karena lembaga itu didirikan sejumlah praktisi jurnalis dari kantor berita dan media nasional dengan pengalaman puluhan tahun dan unsur praktisi berpengalaman.
Edukasi mengenai fotojurnalistik di kalangan mahasiswa di Bogor, katanya, sangat penting, terlebih ada gejala semakin berkurangnya minat menjadi wartawan foto (foto journalism).
“Ke depannya, kita harapkan akan dilakukan pelatihan lagi untuk angkatan-angkatan lanjutan, tidak saja untuk mahasiswa, namun bagi siapapun yang berminat, seperti sekolah, komunitas, individu, bisa bekerja sama dengan PFI Bogor Raya. Kami terbuka untuk bekerja sama,” demikian Andi M Ridwan. (Red/02)