Setiap tahun, pada tanggal 17 Agustus, kita selalu merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sudah pasti, kita selalu mengingat jasa para pahlawan kemerdekaan. Begitu pula penulis, yang senantiasa mengenang salah satu pejuang yang sangat dibanggakan karena perjuangannya yang heroik dalam mempertahankan kemerdekaan.
Kisah mantan pejuang yang kemudian dipenjarakan pemerintah bukan hanya satu, melainkan banyak. Salah satunya adalah Bung Tomo, tokoh yang dalam Perang Surabaya dikenal sebagai orator ulung yang membakar semangat rakyat untuk melawan Inggris dan sekutunya. Namun, beliau justru dijebloskan ke penjara oleh pemerintahan Presiden Soeharto.
Pada April 1978, Soetomo atau Bung Tomo ditahan di Rumah Tahanan Inrehab Nirbaya, Jakarta. Rezim Orde Baru menahan tokoh Pertempuran Surabaya itu dengan tuduhan melakukan subversi (berusaha menjatuhkan kekuasaan) dan menghasut mahasiswa.
“Pada awal 1970-an, Mas Tom banyak berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Dia mengkritik keras program-program Presiden Soeharto,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawanannya.
Padahal, lanjut Sulistina, pada Pemilihan Umum 1977, namanya sempat disebut-sebut akan dicalonkan sebagai anggota DPR oleh Ketua DPP Golongan Karya (Golkar), Amir Moertono. “Namun, entah mengapa gaungnya kemudian lenyap begitu saja, hingga dia ditahan,” tutur Sulistina.
Sebelumnya, pada masa Orde Lama, Bung Tomo pernah mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PRI) yang ikut serta dalam Pemilu 1955. PRI mendapat dua kursi DPR, salah satunya untuk Bung Tomo.
Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan mencatat bahwa ketika Orde Baru berkuasa, Bung Tomo kerap mengkritik kebijakan pemerintah. Bung Tomo menilai pemerintah Orde Baru korup dan menyalahgunakan kekuasaan. Pernyataannya yang lantang dalam berbagai kesempatan dianggap menghasut mahasiswa, yang pada 1978 melakukan demonstrasi besar-besaran. Ia juga mengecam kongkalikong antara penguasa dan pengusaha, serta antara sipil dan militer.
“Berbagai kritik yang dipandang mengganggu stabilitas nasional yang mantap dan dinamis itu membawa Bung Tomo ke penjara pada 11 April 1978,” tulis Yudi.
Bung Tomo tidak memandang penjara sebagai penderitaan. Tidak heran, saat keluar dari tahanan tubuhnya justru tampak lebih gemuk. “Habis, di sini makan melulu. Lagi pula ada larangan dokter untuk senam,” ujar Bung Tomo dikutip Tempo, 14 April 1979.
Namun, hikmah terbesar yang ia peroleh selama dipenjara adalah merasakan kedekatan dengan Tuhan. “Sembahyang di Nirbaya rasanya lebih tenang dan mantap,” katanya.
Penghuni Nirbaya menganggap Bung Tomo aneh. Ia dikira cengeng karena kerap menangis, terutama ketika bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Nirbaya pada peringatan 17 Agustus 1978. “Bendera itu bikinan istri saya sendiri,” kata Bung Tomo. Sejak saat itu, setiap kali bendera dikerek, ia selalu mengambil sikap hormat dari kamar tahanannya.
Bersama Bung Tomo, dua tokoh lain yang dipenjara adalah Prof. Dr. Ismail Sunny, ahli hukum tata negara sekaligus rektor Universitas Muhammadiyah, serta Mahbub Djunaidi, tokoh pers, kolumnis, penerjemah, politisi NU, dan wakil Sekjen PPP. Mahbub bahkan harus berbaring selama sebelas bulan di RS Gatot Subroto karena sakit darah tinggi.
“Ketiganya dituduh subversi dan ditahan setahun. Belakangan, menurut seorang pejabat tinggi Hankam (Pertahanan dan Keamanan), mereka dituduh menghasut mahasiswa,” tulis Tempo.
Mahbub dituduh subversi bukan karena tulisannya, melainkan ucapannya dalam seminar, diskusi, serta kampanye PPP. Selama ditahan, Mahbub sempat menulis novel dan menerjemahkan buku The Road to Ramadhan karya wartawan Mesir Hassanain Heikal.
Jaksa Agung Ali Said menyatakan bahwa setelah pemeriksaan sementara, tidak ada alasan lagi menahan ketiganya. Mereka akhirnya dibebaskan tanpa syarat pada 9 April 1979.
Bung Tomo, Mahbub, dan Ismail Sunny dibawa ke Kejaksaan Agung untuk menerima surat pembebasan. “Sebagai ahli hukum, saya sudah tahu sebelumnya tentang pembebasan ini. Penahanan perkara subversi paling lama kan setahun,” kata Sunny.
Bung Tomo menepati nazarnya: jika bebas, ia akan membopong istrinya. Begitu istrinya datang ke Kejaksaan Agung, ia langsung menggendongnya. “Dialah yang begitu tabah setiap hari menengok dan mengirim makanan ke Nirbaya,” ujar Bung Tomo.
Dari Kejaksaan Agung, mereka dibawa kembali ke Nirbaya. Siang itu juga, Mahbub dan Sunny pulang, sementara Bung Tomo dijemput istri dan anaknya menjelang Isya.
Bung Tomo wafat saat menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, sehari sebelum Iduladha. Jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia pada 1982 setelah melalui proses panjang. Ia tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, melainkan di TPU Ngagel, Surabaya.
“Banyak anak muda yang menyangka Mas Tom itu Pahlawan Nasional… Aku menghargai sekali orang-orang yang ingin mengajukannya agar diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Itu terserah mereka. Bagiku, diangkat atau tidak bukan soal, karena itu urusan duniawi. Aku menganggap Mas Tom sudah dianugerahi Allah dengan meninggal di Arafah. Itu penghargaan yang sangat tinggi,” kata Sulistina, istrinya.
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Dewan Penasihat LKBH PWI Pusat Dewan Penasihat AMKI Pusat
Disclaimer: Opini ini sepenuhnya pandangan penulis dan tidak mewakili sikap redaksi.